Nadine terpaku melihat kemarahan Evan. Dia pernah melihat hal seperti ini saat mereka masih duduk di bangku SMA dulu dan Nadine tahu cowok itu tak bisa di ajak bicara jika sudah marah.
Nadine melirik ke arah Ria yang sepertinya ketakutan. Namun dia seolah masih ingin beradu argumen dengan Evan.
Cepat-cepat Nadine memegang tangan Ria saat cewek itu akan bicara lagi.
"Cukup. Sebaiknya kamu pergi dulu sekarang." bisik Nadine.
"Gak usah ikut.."
Nadine kini mengencangkan pegangannya di tangan Ria.
(Nih cewek bego atau emang gak peka sih?!)
"Ini demi kebaikan lo. Pergi sekarang."
Tatapan mengintimidasi dari Nadine membuat Ria mengurungkan niatnya lalu pergi meninggalkan tempat itu.
Setelah kepergian Ria, Evan tertunduk. Sedih, malu, marah, semua menjadi satu.
Ria telah membangkitkan harimau yang tengah tertidur dalam diri Evan dan sayangnya Nadine melihat hal itu.
Nadine adalah satu-satunya orang yang tak dikehendaki oleh Evan untuk melihat nya saat marah.
Cowok itu tak bisa berkata-kata. Dalam hati dia menyayangkan tindakan Ria yang frontal pada Nadine padahal bukan dia penyebab masalah yang terjadi dalam hubungan mereka.
"Nih."
Evan mengangkat kepalanya. Terlihat Nadine menyodorkan sebotol air mineral dingin sambil tersenyum. Evan menerima pemberian itu, namun masih enggan meminumnya. Dia bahkan belum sanggup menatap mata Nadine.
"So.. latihan kamu udah selesai kan? Bisa gak kita geser ke tempat yang teduh? Kayaknya mau hujan.."
Evan baru menyadari cuaca berubah mendung. Dia lalu mengajak Nadine ke cafe yang masih berada dalam area sirkuit.
**
"Jadi.. kamu ngundang aku ke sini buat latihan meditasi?"
"Hah?"
"Iya.. kan dari tadi kamu cuma diem aja." Nadine kembali memperlihatkan lesung pipi yang indahnya di setiap senyum yang dia tunjukkan.
"Sorry.."
"Buat?"
"Semuanya. Tentang Ria tadi juga.. tentang perlakuanku ke kamu di masa lalu."
Nadine menatap Evan sambil bertopang dagu. Dia tak menyela sedikitpun saat Evan bicara. Cowok itu lalu menyadari Nadine menatapnya dan diapun balik menatap Nadine.
Entah mengapa perasaan aneh menyerangnya. Mata Nadine membuat dia merasa tenang, namun hatinya tidak.
Dia merasa dadanya sesak saat melihat cewek itu. Sungguh perasaan yang dia sendiri tak tahu bagaimana untuk menjelaskannya.
"Kamu masih marah sama aku?"
"Enggak." jawab Nadine tanpa ragu.
Evan tersenyum kecut. Jawaban Nadine semakin membuat cowok itu merasa bersalah. Mungkin jika Nadine marah atau bahkan memukulnya justru cowok itu akan lebih lega.
"Kenapa kamu gak marah aja ke aku Nad? Kamu gak kesel?"
"Kesel, tapi pas waktu itu aja."
"Kalau sekarang?"
"Enggak."
Bagaimana Evan menggambarkan apa yang dirasakannya. Cewek cantik yang dulu pernah dia permainkan justru tak marah padanya.
Hal inilah yang membuat perasaan aneh lainnya tumbuh di hati Evan. Perasaan yang orang lain bilang disebut sebagai cinta. Perasaan yang Evan sendiri tahu bahwa Nadine tak akan menerimanya dengan mudah.
Berkali-kali melakukan petualangan dengan banyak cewek, Evan tahu Nadine tak akan membuka hatinya begitu saja untuk Evan walau senyum selalu menghiasi bibirnya yang mungil.
Dia memutuskan akan melakukan segala cara agar Nadine membalas perasaannya yang mulai tumbuh subur di hatinya saat ini.
"Tunggu bentar."
Evan beranjak dari kursi. Dia pun kembali dengan sekantong penuh es batu.
"Nih."
"Buat apa?"
"Kamu ini lupa atau terlalu kuat sih? Tuh pipi udah kayak pallet lukisan gitu masak gak kerasa?"
Nadine pun baru ingat soal tamparan di pipinya. Dia lalu mengusap pipinya yang memerah karena Ria sambil masih mendapat tatapan hangat dari Evan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 139 Episodes
Comments