Kondisi nenek semakin hari semakin membaik. Bedah rumah juga berlangsung lancar. Bisa dibilang tak ada halangan yang berarti. Sekarang tinggal pemasangan tegel, setelah itu, kakek dan nenek bisa menempati rumahnya dengan layak.
Hari Sabtu siang rencana Nenek sudah boleh pulang. Tentu saja kakek sangat bersyukur, karena isteri yang sangat dicintainya itu telah sembuh. Dia sempat khawatir saat itu, bagaimana jika keadaan nenek terus memburuk dan dia harus kehilangan belahan jiwanya. Kakek sempat bercerita bahwa tak ada harta yang paling berharga di dunia ini yang dia miliki kecuali nenek. Aku terharu mendengarnya.
"Aku menikahi nenek penuh perjuangan. Dulu orangtuanya tak setuju. Tapi aku membuktikan bahwa aku layak berada di sampingnya." Begitu cerita Kakek.
"Lalu apakah Kakek dan Nenek punya anak?" Aku menanyakan itu sangat hati-hati takut mengusik perasaan kakek.
"Pernah sempat punya anak, tapi belum lahir sudah pergi duluan. Itu karena penyakit kista yang menggerogoti tubuhnya. Walau dia terus hamil, anak itu tak akan pernah selamat. Sehingga aku pasrah, aku bilang ke dia, sudahlah kita punya anak atau tidak, aku tetap sayang sama kamu dan akan menjaga kamu, menemani kamu sampai sisa umurku."
Aku melihat ketulusan di dalam mata kakek yang sangat tulus untuk nenek. Matanya sedikit berkaca-kaca waktu dia menceritakan bahwa pernah suatu kali nenek ingin mempertahankan kandungannya tapi resikonya dia harus kehilangan nyawanya.
"Aku tidak mau dia melakukan itu, dia keukeh tapi aku bersikeras melarangnya. Aku memang ingin anak, tapi aku juga tidak rela jika harus kehilangan isteri yang bahkan menjadi seorang Ibu saja belum dia nikmati. Waktu itu dia sedih, karena sangat ingin melahirkan bayi yang ada di dalam kandungannya. Namun aku terus membujuknya, aku bilang jika kamu pergi, aku sama siapa? Aku harus bagaimana mengatakan pada anak kita tentang Ibunya? Kumohon kamu tidak boleh pergi semudah itu, aku membiarkan harga diriku diinjak-injak, aku tidak masalah, asal aku bisa bersamamu selamanya. Jika kamu pergi, apa aku juga harus pergi? Lagi pula resikonya sangat besar. Bisa jadi dua-duanya, bayi dan ibu tidak selamat. Itu sebabnya aku melarangnya."
Aku memegang tangan kakek yang keriput dan legam menghitam. Terasa kasar namun itulah bukti bahwa selama ini dia menjalani hidup dengan berusaha membahagiakan nenek yang jadi isterinya. Aku menyemangatinya.
"Sekarang, kakek tidak perlu risau. Kakek dan nenek punya aku, punya Dena yang bisa kakek dan nenek anggap anak atau cucu. Kami akan merawat kalian berdua sebisa kami."
Kakek menangis mendengar ucapanku. Dia menatapku bergantian dengan Dena.
"Terimakasih, kalian sudah sangat baik. Sekali lagi terimakasih. Tuhan sangat baik padaku, mengirimkan dua malaikat kecil seperti kalian."
Kakek mengelus puncak kepala kita berdua dan menyeka air matanya.
"Nek, apa nenek sudah bangun?" Sapa Dena yang kini tengah berada di samping nenek.
"Sudah. Nenek senang, selang infusnya sudah dilepas. Apa itu artinya nenek sudah boleh pulang?"
"Iyah Nek, besok siang nenek pulang. Senang tidak?"
"Senang. Nenek sudah rindu rumah dan ternak-ternak nenek yang tak terurus."
Oh jadi unggas-unggas itu milik nenek? Syukurlah kemarin, kawanan unggas itu masih terlihat.
"Tenang Nek, unggas peliharaan nenek sehat-sehat. Haha." Jawabku tertawa.
Terselip senyum nenek di sana. Aku merasa dadaku mengembang karena rasa haru yang muncul tiba-tiba. Ah, kenapa selama ini aku tak pernah melihat wajah kakek dan nenekku ya?
***
"Den, apa sebaiknya, kita beliin perabot rumah juga buat kakek dan nenek? Aku lihat lemari pakaian miliknya sangat tidak layak. Juga rak piring di dapurnya yang bahkan tak bisa disebut rak. Bagaimana kakek dan nenek menjalani hidup selama ini ya?"
"Iyah ide yang bagus. Aku juga tidak habis pikir, mereka hanya tinggal berdua. Saling mengurus satu sama lain. Jika mereka sakit dua-duanya bagaimana? Hhh, tidak, tidak! Aku tidak boleh membayangkan hal yang buruk seperti itu. Sebaiknya kita beli aja sekarang, belum terlalu sore."
"Baiklah."
Aku dan Dena berangkat ke salah satu pusat perbelanjaan untuk membelikan kakek perabot rumah. Kali ini aku dan Dena habis-habisan, bahkan Mama dan Papa tidak tahu apa yang sudah kulakukan di luar sana. Aku juga tidak meminta bantuan apa-apa dari mereka. Aku merasa uang tabunganku selama ini sudah cukup.
Setelah selesai berbelanja, aku dan Dena hanya meminta ke pemilik toko agar mengantarkan perabot rumah itu besok pagi ke alamat yang sudah kukasih.
Semua urusan selesai, aku dan Dena pulang. Tak sabar menunggu besok siang saat Kakek dan Nenek tiba di rumah dan melihat rumah baru mereka. Hatiku menghangat membayangkannya. Tak kusangka, aku dan Dena bisa sejauh ini membantu kakek dan nenek.
Mama dan Papa sudah di rumah saat aku pulang.
"Sore amat sayang? Ada tugas sekolah?" Tanya Mama.
"Tidak Ma, aku habis dari pusat perbelanjaan, beli perabot rumah." Jawabku yang kemudian kusesali karena keceplosan.
"Perabot rumah? Apakah isi rumah ini kurang? Apa yang kamu beli?"
Akhirnya aku memutuskan untuk jujur saja pada Mama dan Papa. Aku tidak mau nanti terjadi kesalahpahaman. Papa terlihat tenang di tempatnya yang sedang membaca majalah olahraga.
"Bukan Ma, bukan rumah kita. Ceritanya panjang, tapi aku ceritakan detil saja. Jadi, aku sama Dena ketemu sama seorang kakek penjual gulali di jalan. Gak sengaja. Aku lihat terus karena macet, kok jadi pingin gulali. Aku turun dari mobil. Abis itu nanya-nanya, ngobrol dan akhirnya ke rumah si Kakek. Soalnya katanya istrinya sakit di rumah dan butuh pengobatan. Singkat cerita, bertemu isterinya yang sakit, dan mirisnya rumahnya gak layak disebut rumah Ma. Aku sedih banget lihatnya."
Mama mendengarkan dengan seksama, tampaknya Papa juga mulai tertarik. Karena itu dia meletakkan majalahnya dan mulai mendengar dengan serius.
"Terus?" Tanya Papa tak sabar.
"Besoknya aku sama Dena bawa nenek ke rumah sakit untuk dirawat. Sekarang nenek masih di rumah sakit. Nah kesempatan itu tidak kita sia-siakan. Aku sama Dena inisiatif untuk bedah rumah si kakek biar lebih layak ditinggali. Semua uang tabunganku, beserta tabungan Dena habis untuk bedah rumah dan bayar tukang bedah rumah. Besok nenek keluar dari rumah sakit, kita pengennya saat mereka pulang, mereka bisa hidup dengan layak di rumah barunya. Tadinya Dena pengen ajak tinggal di rumah dia, tapi Kakek menolak alasannya nanti merepotkan."
"Lalu?"
"Ya lalu perabotan tadi ya untuk isi rumah kakek. Dari lemari sampai peralatan dapur. Intinya terlihat lebih layak disebut rumahlah. Nah besok nenek pulang, kita mau kasih kejutan."
"Duh sayang, kamu buat mama terharu dan bangga. Ah kamu ini sudah besar aja si. Mama sayang kamu, sini peluk dulu."
Aku pun mendekat ke arah Mama dan Mama merangkulku ke dalam pelukannya. Terasa nyaman dan menenangkan.
"Apa yang bisa Papa bantu?" Papa akhirnya bersuara. Membuat hatiku lega.
"Papa bayar biaya rumah sakit ya? Sepertinya uang kita gak cukup. Hehe."
"Aman."
Aku memeluk Papa dan berterimakasih karena dia mau membantu.
"Ada lagi Pa, Ma."
"Apa itu?"
"Mama sama Papa ikut besok yah? Aku mau mengenalkan kalian ke kakek dan nenek."
"Siap. Mama bangga sekali sama kamu sayang. Sudah masuk kamar, mandi dan ganti baju. Mama tunggu kamu untuk makan malam."
"Baik Mama sayang."
***
Terimakasih sudah mendukung novel ini, author tunggu komen, kritik, saran, like dan votenya ya. hehe.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
siti rohmah
bahasanya manis sekali thor, ku sukaaa 😍
2020-03-30
4