Part. 15

Hari ini aku bete deh sama Mama, masa Mama pergi liburan berdua saja sama Papa. Padahal aku sudah bilang, liburannya nanti saja pas aku selesai mid semester. Mana mereka ke Belanda lagi, negeri kincir angin yang sejak dulu pengen banget aku kunjungi.

Dari Mama bilang mau liburan, beli tiket, packing baju, sampai hari ini Mama dan Papa sudah mau berangkat, aku tetap Keukeh tidak mau bicara pada mereka. Aku mogok bicara dan juga mogok makan.

"Zi, jangan kayak anak kecil dong sayang. Kamu itu sudah SMA. Mama dan Papa pergi ke Belanda bukan cuma untuk liburan dan bersenang-senang semata. Ada hal yang harus kami urus dan itu tidak boleh diundur lagi waktunya." Bujuk Mama.

"..." Aku diam seribu bahasa. Juga tidak mau menoleh ke arah Mama bicara.

"Ngambeknya jangan lama-lama," ucap Mama seraya mengelus puncak kepalaku dan--

Cup! Sebuah kecupan mendarat di kedua pipiku.

"Zi, Papa dan Mama pergi dulu ya. Kamu baik-baik di rumah. Ingat kamu sekolah, jangan absen-absen selama kami pergi."

Akhirnya kuangkat kepalaku, melihat mereka keluar dari kamarku. Punggung kedua orangtuaku telah hilang dari balik pintu. Aku bergerak cepat turun dari tempat tidur, membuka pintu kamar dan Brukk! Aku memeluk Mama dan Papa dari belakang.

"Maafin Zi sudah bersikap kekanakan. Mama sama Papa jangan lama-lama ya. Nanti Zi kangen gimana?"

"Nggak sayang, hanya satu Minggu." Jawab Mama.

"Zi, anak kesayangan Papa, jangan ngambek lagi ya. Nanti saat libur semester, kamu bebas mau pilih liburan ke negara mana. Terserah kamu."

"Serius Pa?" Jawabku dengan mata berbinar.

Akhirnya kulepas Mama dan Papa dengan pelukan hangat. Ah, kalian hati-hati ya, jangan sampai terluka selama di perjalanan. Kalian tahu kan, bagaimana aku tanpa kalian. Mama, Papa, nikmatilah liburan kalian.

***

Kebetulan karena hari ini hari Minggu, yang artinya libur sekolah. Aku di rumah sendirian saja, eh tidak ada Bibi dan Mang Udin. Cuma hitungannya tetap saja aku sendiri. Gak mungkin kan ngajakin si Bibi ngobrol tentang BTS, Drama Korea atau drama China. Mana mengerti si Bibi, apalagi Mang Udin. Hhh, keduanya sama payahnya.

Akhirnya karena tingkat ke-bete-an ku semakin bergejolak. Aku ambil laptop dan membuka sosial media. Kumasukkan nama akun beserta sandi Facebook-ku. Melirik sebentar ke kotak masuk, melihat siapa saja yang sudah menguhubungiku. Tidak ada yang terlalu penting. Kulewatkan pesan-pesan itu begitu saja.

Aku mencari nama Dena. Setelah ketemu, aku melihat dia masih aktif. Segera kukirimkan pesan untuknya.

Percakapan Via Messenger

Z : Den, jalan yuk! Bete nih****.

Tak lama kemudian Dena membalas.

D : Ke mana?

**Z : Kemana saja. Kamu pilih tempat, aku ikut.

D : Oke. Bersiaplah, aku jemput setengah jam lagi. Revo ikut?

Z : Gak. Aku gak bilang dia. Sudah biarin saja. Aku mau have fun hari ini.

D : Oke. Tunggu aku baby**.

Aku menutup kembali akun tersebut, mematikan laptop dan mandi. Segera bersiap karena mungkin sebentar lagi Dena sudah datang.

Guyuran air terasa sejuk di kepala hingga seluruh tubuhku. Tapi kok aku ngerasa ada suara aneh ya? Dari mana datangnya? Seperti suara orang berbisik atau sedang melakukan sesuatu dan takut ketahuan. Intinya semacam itu.

Tapi kan aku di kamar mandi. Kamar aku kunci. Gak mungkin suara itu dari kamar aku kan? Ah mungkin aku hanya berhalusinasi. Lagian mana ada suara seperti itu.

Sehabis mandi aku bergegas berpakaian. Aku mendengar suara klakson mobil di bawah. Dena tentunya.

Aku memakai setelan rok jeans selutut dan kaos berwarna putih motif panda Hitam di tengah kaos bagian depan. Sepatu kets dan topi rimba ala-ala anak millenial. Gak lupa tas selempang kecil yang hanya berisi dompet.

"Bi, aku keluar bersama Dena ya. Jaga rumah baik-baik!" Ucapku pada Bibi yang saat itu sudah mengantarku hingga ke depan pintu.

"Baik Non. Hati-hati di jalan. Non Dena, jangan ngebut nyetirnya."

"Beres Bi." Jawab Dena.

Mobil melaju pelan di jalanan beraspal. Lalu lalang kendaraan semakin ramai di sore hari. Macet tak dapat dihindari. Wajar, karena waktunya para pekerja pulang ke rumah masing-masing.

Dena serius menyetir. Aku memandang keluar ke arah jalan. Betapa sibuknya dunia jalanan ini. Mungkin tidak ada habisnya roda berputar menapaki jalan lalu lintas ini. Terkadang aku mikir, bagaimana mereka semua menjalani hidupnya ya?

Mataku tertumbuk pada seorang kakek-kakek di pinggir jalan yang sedang menjajakan jajanan anak kecil yang terkenal manis itu. Apalagi kalau bukan gulali, sering juga disebut kembang gula.

Wajahnya terlihat sangat lelah, keriput tulang pipinya sangat jelas terlihat. Aku terenyuh mana kala melihat pemandangan itu. Mungkin saja sedari tadi sang kakek belum juga mendapatkan pembeli. Seperti ada yang nyeri di dalam dada.

"Den, menepi sebentar boleh tidak?"

"Ada apa?"

"Itu!" Tunjukku ke arah kakek tadi berjualan.

"Kenapa?"

"Aku mau mampir sebentar beli gulali itu."

"Astaga Zi, kamu itu sudah gede loh. Kamu ini bukan anak-anak lagi. Masa iya makan gulali."

"Bukan masalah itu Den. Lihat baik-baik raut wajah kakek itu."

Dena ikut tersentuh melihatnya. Dia menepikan mobilnya. Apalagi memang masih suasana macet. Dena sengaja mengambil jalur kiri untuk berhenti.

Setelah mobil benar-benar berhenti, aku turun dari mobil. Menghampiri kakek itu.

"Kem, dua ya." ucapku.

"Neng beli? Serius Neng mau beli?"

"Memangnya kenapa Kek?"

"Puji syukur padaMu Tuhan. Hari ini telah kau kirimkan seorang anak berhati mulia yang mau membeli dagangan ini."

Bukannya menjawab pertanyaanku, si kakek malah menengadah ke atas. Bikin hatiku semakin basah.

"Sudah laku berapa hari ini Kek?"

"Baru ini Neng. Sepi."

"Kek, sehari-hari jualan di sini?"

"Sebenarnya pindah-pindah Neng, tapi kaki kakek sudah capek untuk berjalan jauh lagi. Ya sudah Kakek mangkal di sini saja."

Dena tenang mendengar cerita si Kakek. Aku tersentuh dengan ucapannya. Setua ini harus berjualan keliling, kakinya sudah bengkak karena sakit. Dipaksa berjalan dan meniti kerasnya hidup.

Alangkah pelitnya aku bersyukur selama ini. Padahal aku nyaris memiliki apa yang setiap orang ingin miliki.

"Kakek tinggal sama siapa?" Tanya Dena yang kali ini ikut penasaran sama si kakek.

"Sama isteri. Dia sedang terbaring sakit. Sudah seminggu batuk tak berhenti. Dadanya sesak dan seringkali berbunyi tiap kali dia menarik nafas. Kakek ingin bawa ke rumah sakit, tapi Kakek tak punya biaya. Ini saja seharian jualan, baru Neng yang beli."

Astaga! Jeritku dalam hati. Teriris rasanya. Aku menatap Dena. Dena juga ikut berempati. Gulali sudah selesai dibuat Kakek. Harganya lima ribu katanya. Berarti seharian jalan, si kakek baru dapat sepuluh ribu. hhh.

Menetes juga akhirnya. Aku mengusap mataku yang berkaca-kaca. Ah, kenapa aku jadi cengeng begini sih. Aku ingat, di dalam tasku ada uang yang dititipkan Mama. Uang jajan selama seminggu. Aku mengambil uang itu, kuberi pada kakek.

"Untuk berobat Nenek. Kakek pulang saja. Mungkin nenek membutuhkan kakek. Tidak banyak tapi ambillah, untuk nenek berobat."

Kakek itu menangis dan bahkan sujud syukur. Aku tak kuasa melihatnya. Kuangkat bahunya berdua dengan Dena. Lalu akhirnya Dena mengucapkan kata-kata yang berikutnya bikin aku bangga punya teman seperti dia.

"Kek, di mana rumah kakek? Naiklah, kami antar kakek pulang. Sekalian besok aku ke tempat kakek lagi untuk bawa nenek berobat."

Aku mengangguk tersenyum ke arah kakek. Meyakinkan dia dan memberinya harapan besar. Tuhan maafkan aku yang selalu tak pandai bersyukur.

Terpopuler

Comments

Pattabola Irwan

Pattabola Irwan

sedih hiks

2020-05-12

4

siti rohmah

siti rohmah

baik bngt zi, denaa

2020-03-30

5

Iras Gnalu

Iras Gnalu

sedih dah

2020-03-05

6

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!