Part. 9

"Huaaahhhhh, hari ini benar-benar indah. Tidak ada kekacauan yang terjadi." Seru Dena riang.

"Maksudnya?"

"Ya ampun Zi, tidakkah kamu menyadari, hari ini adalah hari paling tenang untukku. Ayo kita jalan berdua sepulang sekolah nanti."

"Memangnya apa yang terjadi? Dan jalan-jalan? Kenapa mendadak sekali?"

"Hari ini akhirnya kita bisa menikmati hari para cewek setelah sekian lama."

"De, kenapa jadi berbelit-belit begini? Ayo katakan apa maksudnya?"

"Zi, kamu ini pintar. Tapi sayangnya gak pintar membaca suasana. Jelaslah aku senang dan ingin jalan-jalan, soalnya pacar kamu yang posesif itu tidak akan mengganggu kita karena dia absen hari ini. Terus, sekelas kita yang mengejar-ngejar kamu juga tidak masuk. Ah kebetulan yang sangat indah."

"Bahaahha... Kok bisa aku tidak menyadari yah? Kalau begitu, ayo kita habiskan hari ini berdua dengan jalan-jalan ke Mall, belanja dan makan eskrim. Eh tapi, walaupun dia posesif dan menyebalkan, entah kenapa aku juga kangen kalau dia gak ada ya?"

"Hahaha, lupakan dulu. Biar kita nikmati hari ini, setelah itu kamu bisa jenguk dia dengan bawain buah atau semacamnya."

"Ide bagus. Mungkin akan kubawakan beberapa buah dan juga sesuatu yang disukainya seperti Bak Mie mungkin."

"Serius makanan Favorit dia Bak Mie?"

"Hu um, dia benar-benar suka. Kalau begitu, bawakan dia lebih banyak. Haha..."

Tawa kami berakhir begitu guru mata pelajaran di jam terakhir sudah berada di kelas. Terasa gerah karena di luar cuaca cukup ekstrem. Berkali-kali aku hanya bisa mengipas wajah memakai buku tulis karena kepanasan.

"Eskrim, aku membayangkan eskrim." Ucap Dena sembari membayangkan sedang memakan Eksrim. Yang sontak membuatku melambai ke arah wajahnya yang sedang Halu menikmati semangkuk eskrim.

"Sadar De, sadar! Tahan sebentar lagi. Haha..."

Dena menghalau tanganku dan cemberut kesal karena aku mengacaukan apa yang tengah dibayangkannya.

Tak lama kemudian bel pulang berbunyi. Segera aku dan Dena mengemasi tas dan buku, lalu ke parkiran. Walau di bawah umur, ternyata Dena masih nekad juga membawa mobil ke sekolah. Seolah semua sudah direncanakan olehnya.

"Masuk Zi, cepet!"

Aku segera masuk dan mobil meluncur ke arah cafe eskrim yang sering kami kunjungi. Sebelumnya aku sudah meminjam ponsel Dena untuk menghubungi Mama. Meminta izin padanya bahwa aku pulang sedikit telat karena harus menemani Dena. Mama setuju dan tidak keberatan jika aku pergi bersama Dena.

Oh iya, aku memang belum diberi ponsel oleh Mama. Meski begitu aku juga tidak terlalu menuntut. Di saat teman-teman yang lain sudah memiliki ponsel mereka masing-masing, tapi aku berbeda. Sama halnya dengan Revo, dia juga tak memiliki ponsel. Cara orangtua mendidik dan membatasi tentang penggunaan teknologi memang berbeda. Tapi aku memahami hal itu sebagai bagian dari proses yang aku harus jalani.

Aku juga tidak pernah protes, lagi pula aku merasa tidak terlalu membutuhkannya. Sampai terkadang Dena gemas karena saat ingin menghubungiku dia tidak tahu harus menghubungi ke mana. Terpaksa jalan satu-satunya adalah dengan menghubungi nomor Mama yang sudah tersimpan apik di ponsel Dena.

"Orang tua kamu tuh aneh Zi."

"Aneh gimana maksud kamu De?"

"Ya aneh saja. Masa kamu sudah SMA dan sudah kelas dua pula tapi masih dilarang memakai ponsel? Bukankah itu kejam sekali."

"Tidak juga. Aku santai kok. Lagipula aku belum terlalu membutuhkannya."

"Kamu juga aneh."

"Aneh?"

"Ya iyalah, mana ada coba seorang remaja di zaman serba canggih begini, sampai tidak membutuhkan ponsel."

"Bagiku tidak aneh. Memangnya apa yang aneh?"

"Ah sudah-sudah. Kalian ini sekeluarga termasuk spesies yang unik di jagad bumi ini. Padahal kamu tuh bisa saja membeli ponsel hingga puluhan unit sekalipun. Keluarga kamu gak kekurangan soal uang. Tapi kenapa kalian begitu aneh, dengan segala peraturan yang jika itu berlaku bagiku mungkin sudah lama aku kabur."

"Haha, kamu berlebihan De."

"Ishh, kamu tuh yang sangat sederhana."

Akhirnya karena kesal, Dena tidak pernah lagi protes mengenai segala peraturan yang Mama dan Papa buat untukku. Lagi pula aku merasa nyaman, tidak merasa terbebani dengan segala aturan itu. Aku percaya sepenuhnya pada pendidikan yang tengah diajarkan Mama dan Papa kepadaku. Aku yakin mereka melakukan itu semata-mata untuk kebaikan aku di masa depan kelak.

***

Seharian aku dan Dena benar-benar bersenang-senang. Makan eskrim, jalan-jalan ke Mall dan nasib banyak lagi tempat yang kita kunjungi. Bahkan ada satu kejadian, di mana Dena harus ketemu mantan pacarnya yang katanya mereka pacaran saat masih SD kelas 4. Bagaimana bisa? Pikirku. Yah tapi itulah Dena dengan segala kejutan yang baru aku tahu.

"Serius kamu sudah pacaran sejak kelas 4 SD? Bagaimana bisa?"

"Ya bisa saja. Sam mengatakan dia menyukaiku dan bertanya apakah aku mau jadi pacarnya, lalu aku bilang 'yes'. Saat itu juga kita sudah pacaran."

"Wow, luar biasa!"

"Apanya yang luar biasa?"

"Ya itu pengalaman yang luar biasa."

"Biasa saja menurutku. Lagi pula kita pacaran tidak seperti yang kamu bayangkan. Kami pacaran waktu itu ya hanya sekedar main bersama, kerja PR sama-sama, berbagi makanan cilok dan hal lainnya. Tak ada sesuatu yang spesial."

"Lalu bagaimana kalian bisa putus?"

"Sam pindah sekolah. Dan walau dia terlihat sedih, tapi aku tetap biasa saja. Walau pada akhirnya aku juga kehilangan teman yang selalu bersama-sama. Tapi bagiku itu tak masalah, suatu saat aku akan menemukan teman main lainnya dan tidak perlu terlalu sedih."

"Jadi saat itu yang bilang putus siapa?"

"Tidak ada."

"Lalu?"

"Ya kita putus karena jarak dan waktu yang sudah tidak membuat kita bersama-sama lagi. Sesimpel itu. Memang apa lagi?"

"Haha, lucu yah. Aku bahkan tidak pernah kepikiran untuk pacaran. Sekarang walaupun aku pacaran, tapi aku merasa ini adalah hal luar biasa. Karena pengalaman pertama."

"Serius Revo pacar pertama kamu?"

"Iyah. Memang siapa lagi?"

"Wah, kamu sepertinya tiper perempuan setia."

"Memangnya kamu tidak setia?"

"Entahlah! Haha..."

Hari ini aku dan Dena sangat puas. Puas bersenang-senang karena tidak perlu direcoki oleh kehadiran Revo. Tapi kok aku merindukan dia ya?

Saat tiba di rumah, aku langsung masuk kamar. Mandi dan berganti pakaian. Aku membuka laptop dan masuk ke dalam aku. Facebook milikku. Aku melakukan video call dengan Revo tapi dia malah menolak. Aneh sekali. Padahal sebelumnya dia tak pernah melakukannya.

Akhirnya aku mengetik pesan untuknya.

Me: Kenapa ditolak?

**Him: Jangan video call dulu, wajah aku masih bengkak.

Me: Oh karena itu. 😅

Him: Memangnya apa lagi? ******** pengganggu itu ke sekolah tidak?

Me: Maksud kamu Danu? Dia gak masuk.

Him: Siapa yang ngizinin kamu nyebut nama dia? Jangan sebut! 😏

Me: Dih, kenapa?

Him: Kamu tidak boleh nyebut nama dia. Nama yang hanya boleh ada dalam pikiran kamu adalah namaku. Revo.

Me: Iya Iyah. Bagaimana kondisi kamu? Besok kamu sekolah?

Him: Dilihat besoklah. Kalau mendinga, aku pergi. Lagian mana bisa aku membiarkan kamu diganggu oleh ******** pengganggu itu. Tidak sudi. 😏😠

Me: Baiklah kamu istirahat.

Him: Kamu seharian ngapain saja? Merindukan aku tidak?

Me: Aku jalan-jalan sama Dena. (Astaga bagaimana bisa aku kecoplosan sih)

Him: ??????

Me: Maksud aku tadi Dena nganterin aku pulang setelah aku sama dia mampir sebentar untuk makan eskrim.

Him: Oh begitu. Jadi apa kamu merindukan aku?

(Bertanya atau memaksa sih ini? Tapi jujur sih aku juga merindukan dia, hanya aku kadang gengsi untuk mengakui)

Me: Iya aku rindu kamu. Sekarang kamu istirahat, aku juga mau tidur.

Him: Hhh baiklah. Sampai ketemu besok, aku jemput kamu**.

****

Terpopuler

Comments

Pattabola Irwan

Pattabola Irwan

sukses semangat

2020-05-12

4

Miss Ve

Miss Ve

Revo mau tidak jadi pacar singa?

2020-05-06

5

Alya Nadifa

Alya Nadifa

suka sm reno

2020-03-29

5

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!