"Hei si mata hijau!"
Felix berbalik...
Cain yang memanggil jadi tertawa terbahak-bahak karena tak menyangka Felix akan menerima panggilan itu.
"Apa? mata hijau?" Felix dengan nada kesal.
Padahal Felix masih terganggu dengan sebutan nama itu tapi Cain malah menambah lagi dengan memberinya beban tas untuk dibawa, "Aku bukan kurir tas mu tahu."
"Wah, impian yang bagus ... kurir! aku dukung ... semangat!" Cain berlari meninggalkannya menuju halte bus.
Si pirang itu berlari dengan santainya seperti akan terbang saja karena tanpa beban sama sekali.
"Anak ini bawa apa sih, bawa batu ya?" Felix memeriksa isi tas Cain yang dipenuhi banyak buku.
"Hai Felix!" sapa Dea.
"Tadi si Mery itu ngajak bicara apa di lapangan?" tanya Dea.
"Mertie!!!" Felix memperbaiki.
"Ah, iya Mertie ya ... jadi kamu bicarain apa sama dia?" walau sebenarnya Dea tahu nama Mertie tapi sengaja melakukan itu.
"Bukan urusanmu!" kata Felix terlihat terganggu dengan kehadiran Dea.
"Aku kan temanmu ... Jad ...." tidak selesai kalimat Dea.
"Iya teman, bukan berarti aku harus melaporkan semua aktivitas ku padamu!" Felix yang langsung menghentikan perkataan Dea.
Dea terdiam dan Felix berjalan menjauh dari posisi Dea berada, "Teman? KAU BILANG KITA TEMAN KAN FELIX? FELIX???" teriak Dea senang.
"Dasar bodoh!" kata Felix sambil terus berjalan.
***
Mendengar perkataan Felix tentang dilempari batu dari dalam hutan mengingatkan Mertie pada rumah pohonnya. Walau saat itu mengira Felix hanya bercanda dan meladeni candaan itu, Mertie mulai berpikir lagi bahwa tidak mungkin Felix bercanda seperti itu.
Saat malam sudah mulai tiba, Mertie bergegas untuk ke rumah pohonnya yang dibuatkan oleh ayahnya itu.
Setibanya di depan pohon setinggi 15 meter itu ada sebuah tangga yang kini sudah mulai tertutup dedaunan.
"Sudah kuduga pasti Felix langsung menyelidiki ke dalam hutan dan menemukan rumah pohon ini ... tapi sepertinya gagal ya?" Mertie tertawa kecil.
Akhirnya dia membuka sebuah lipatan lumut pada pohon dan muncullah sebuah tali. Saat Mertie menarik tali itu turunlah sebuah lift kayu dari depan rumah pohon.
"Ow, kau sudah datang!" sambut Felix ketika Mertie tiba diatas rumah pohon.
"Fel ... Fe ... lix?" Mertie yang kaget menjatuhkan talinya dan lift kayu itu merongsot turun, "Kau berhasil naik?" lanjutnya setelah mulai tenang dan kembali naik.
"Kuakui aku memang gagal waktu percobaan pertama memanjat dengan tali waktu itu tapi untungnya aku gagal berhadiah hahaha ...." kata Felix dengan santainya duduk berpangku tangan.
"Gagal berhadiah?" Mertie mengikat tali lift kayunya.
"Saat aku akan terjatuh kulihat ada katrol jadi ...." Felix mulai berdiri dari tempatnya duduk.
"Tapi katrolnya mustahil untuk dilihat karena aku tutupi dengan banyak daun ...." Mertie begitu yakin kalau rahasia rumah pohonnya tidak mungkin diketahui.
"Kau selalu saja meremehkan hal kecil makanya kau selalu gagal ... jangan meremehkan tubuh yang dalam keadaan bahaya karena saat itu indera manusia akan jauh lebih meningkat dari biasanya," kata Felix.
Mertie yang agak kesal pun akhirnya menyiapkan untuk menyalakan lampu di rumah pohonnya.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Felix.
Mertie mulai mengedip-ngedipkan senter kecil bentuk pulpen dan dalam beberapa saat kemudian banyak kunang-kunang yang datang dan Mertie memasukkannya kedalam botol. Rumah pohon itu langsung terang benderang oleh cahaya kunang-kunang.
"Bagaimana bisa?" Felix takjub.
"Kunang-kunang betina biasanya tertarik oleh kedipan cahaya kunang-kunang jantan jadi aku hanya meniru kedipan cahaya nya ...." jawab Mertie.
"Licik sekali!" kata Felix yang masih tidak berhenti melihat kunang-kunang yang ada di dalam botol.
"Licik?" Mertie merasa tersinggung dan menyingkirkan botol yang berisi kunang-kunang itu karena Felix hanya memperhatikan itu.
"Penipu!" akhirnya Felix mengatai Mertie dengan menatapnya.
"Penipu?" Mertie tidak habis pikir dan mulai tertawa.
"Ini namanya penculikan ...." Felix dengan menunjuk kunang-kunang yang terperangkap di dalam botol.
"Kalau begitu silahkan laporkan ke polisi kunang-kunang!" Mertie pun mulai meneteskan madu ke dalam toples yang berisi kunang-kunang itu, "Ada gitu ya penculik yang memberi makan?" Mertie dengan nada kesal.
Felix yang masih kagum dengan cahaya kunang-kunang itu mulai sadar dengan isi dari rumah pohon itu.
Banyak buku yang tersusun rapi dan di dinding tertempel banyak surat kabar dan artikel berita, "Sekolah Gallagher menerima bantuan sebanyak 974 miliar dari kumpulan berbagai donatur tanpa nama."
"6 panti asuhan yang mengalami kebakaran dan menewaskan ratusan jiwa."
"Hilangnya beberapa keluarga terkaya yang masih menjadi misteri."
"Misteri hantu merah muda di sekolah Gallagher."
Mertie tertawa ketika mendengar Felix membaca berita itu.
"Meninggalnya presiden Yardley yang ke 9 diikuti banyak menteri dan keluarga ternama yang menghilang tanpa jejak."
Felix mulai merasa Mertie menyelidiki sesuatu yang terlalu besar, "Mungkinkah ... tidak kan?"
"Ya ... ini misinya kapten! sebenarnya aku masih mau menyelidikimu tapi dengan kamu yang sudah bisa naik ke rumah pohon ini sudah menjadi bukti ... rasanya tidak perlu diragukan lagi ...." Mertie menjawab.
"Ini masalah negara, bocah!" Felix menjentik kepala Mertie.
Felix mulai berjalan ke lift untuk turun.
"Keluargaku berpindah-pindah kesana-kemari karena mereka adalah saksi dari kejadian besar yang melanda negeri ini!" teriak Mertie.
"Maaf, sepertinya kau salah paham ... aku bukanlah orang sebaik itu!" Felix menjawab tanpa berbalik.
"Pelaku pembakaran panti Helianthus kau tidak penasaran?" teriak Mertie saat Felix mulai menurunkan lift.
Tangan Felix langsung berhenti, begitupun lift kayu itu langsung berhenti ditengah pohon.
"Dia melamun lagi?" kata Mertie dalam hati.
Mertie mengambil kesempatan itu dan menarik Felix kembali ke atas.
"Bukankah mereka keluargamu? apa kau tidak berniat menangkap pelakunya dengan tanganmu sendiri? dengan begitu mereka bisa beristirahat dengan tenang."
"KAU TAHU APA TENTANGKU?!" teriak Felix mengagetkan Mertie.
Felix mendorong paksa Mertie hingga akhirnya ia berhasil turun dari rumah pohon itu.
***
Cain yang khawatir karena Felix tiba-tiba menghilang daritadi berdiri di depan gerbang panti menunggu, "Kau darimana saja?"
Felix yang baru datang dari arah hutan sambil berlari tidak menghiraukan Cain.
"Felix?" teriak Cain sambil berlari mengejar, "Kau me ... na ... ngis?"
Felix segera menghapus air matanya saat Luna mendekat. Cain menarik Felix dan memeluknya untuk menyembunyikan harga diri sahabatnya itu.
"Aku tahu ... aku tahu ... makan malam ini memang tidak enak!" Cain sambil menepuk-nepuk punggung Felix bersandiwara.
"Oh jadi karena itu kau melewatkan makan? Oke ... kalian tidak usah makan saja!" Luna jadi kesal dengan drama yang dibuat Cain itu.
Sementara itu si kembar tiga datang sambil bercerita tentang menu makan malam ini sangatlah enak.
"Kalian aku kasih bonus cemilan nanti!" kata Luna.
"Yeeeeey ... Eng? kok tiba-tiba?" Teo dan Tom kebingungan.
"Dan kalian jangan mau berteman sama dua orang itu lagi, seleranya terhadap makanan ... tidak! mereka sama sekali tidak menghargai makanan!" Luna pergi dengan kesal.
"Kak Luna kenapa sih?" tanya Tom.
Mereka bertiga pun mendatangi Felix dan Cain.
"Wah matanya Felix berubah warna ... dari hijau menjadi merah!" kata Teo lebay.
"Kau habis menangis?" tanya Tan.
"Menangis? siapa? Felix?" Teo dan Tom saling menyambung tidak percaya.
***
"Jadi kau tidak mau cerita?" Cain sambil menurunkan kepalanya dari lantai dua tempat tidurnya.
"Kau jadi kayak hantu, tahu!" Felix melemparinya bantal.
"haaaaatchhiiiim ...."
"Kau ini jadi penyebar wabah saja!" keluh Felix.
"Sepertinya aku akan flu!" sahut Cain.
Felix jadi merasa bersalah karena Cain begitu karena dia juga yang ikut-ikutan menemani kebiasaanya berjalan-jalan malam.
"Mau kemana lagi kau?" teriak Cain ketika Felix hendak keluar kamar.
"Mau mencari obat!" sahut Felix.
"Ah ... untukku ya? terimakasih ibu ku tersayang!" kata Cain dengan nada usil.
Karena jijik mendengar itu, Felix langsung membanting pintu.
"Obat flu?" tanya Dokter Mari.
"Obat mau flu!" jawab Felix memperbaiki.
"Sana buat teh hangat!" petintah Dokter Mari.
"Minta obat malah disuruh buat teh, apa-apaan?" kata Felix bingung.
"Menghirup uap air panas dan minum minuman yang hangat obat paling manjur untuk orang yang mau flu ... pasti langsung tidak jadi!" kata Dokter Mari.
Felix pun kembali ke kamar dengan membawa teh panas dan air hangat untuk Cain.
"Katanya mau cari obat?" tanya Cain yang bingung melihat minuman yang dibawa Felix.
Felix berdecak kesal dan menjelaskan apa yang dikatakan Dokter Mari barusan.
"huuuuuum ... fwaaaaahhh ..." Cain menghirup uap panas.
"Akhir-akhir ini kau suka melamun?" tanya Cain.
Felix teringat perkataan Mertie saat di rumah pohon .... "Tadi apa maksudmu yang katanya aku lempar batu dari dalam hutan?" tanya Mertie.
"Kau jadi pura-pura lupa ya?" Felix balik bertanya.
"Serius! aku tidak pernah melempari mu dengan batu!" jawab Mertie dengan wajah serius.
"Bukannya kau yang mengikuti ku, hari saat kau memberiku surat peringatan?" Felix mulai mengamati wajah Mertie yang kelihatan tidak berbohong.
"Mengikuti?" Mertie bingung.
"Iya ... saat kau melempar batu ...." Felix mulai menyadari.
"Ngapain aku lakuin itu ... hanya akan membuat rumah pohon ku jadi terlihat!" kata Mertie yang benar-benar meyakinkan.
"Jadi benar bukan kamu?" tanya Felix dengan ekspresi serasa tertipu.
"Lagipula melempar batu bisa melukai tahu!" kata Mertie.
"Jadi siapa?" tanya Felix dalam hati saat berhenti mengingat dan mulai melihat Cain yang tidak berhenti menghirup uap panas.
...-BERSAMBUNG-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 570 Episodes
Comments
Iniaku
penuh teka teki ya jdi penasaran
2022-08-12
3
Manami Slyterin🌹Nami Chan🔱🎻
tekateki apa lg nih
2022-05-20
1
R⃟•D•I👏OFF
penuh teka teki.. greget iiiihhhh😬😬😬gegel nih thor wkwk
2022-04-23
5