Cain bingung harus bereaksi seperti apa setelah mendengar suara Felix untuk pertama kalinya. Ia berusaha menenangkan Felix tapi kaget saat menyentuh tangan Felix yang begitu dingin seperti es. Ia panik meminta tolong dan saat berteriak akhirnya sadar asap yang keluar dari jendela ada dilantai dua. Setelah menyadari hal itu Cain mengambil batu dan melemparnya kelantai dua.
"Hey, siapa itu?" 3 orang anak laki-laki mengeluarkan kepalanya ke luar jendela mencari asal dari batu itu. Tapi saat hendak marah mereka kaget melihat Felix sudah jatuh pingsan di atas rumput.
Cain yang ingin marah-marah juga malah memanggil 3 anak lelaki itu untuk membantunya.
Dokter Mari yang baru saja dari kota bergegas menuju panti asuhan untuk mengecek keadaan Felix.
"Sudah kuduga, kita seharusnya mempekerjakan seseorang berdasarkan keahlian," kata Bu Corliss penuh sinis ke Dokter Mari.
"Felix itu anak yang kuat, trauma ini hanya akan bersifat sementara untuknya," Dokter Mari sambil berpangku tangan.
"Sudah kuduga pasti saat ujian masuk universitas dia hanya beruntung saja asal jawab," Daisy dengan nada mengejek nya.
"Kalau kalian seperti ini aku akan berhenti dari sini! Dimana kalian mau mencari psikiater yang gratis dan selalu memberikan sumbangan tiap bulannya," kata Dokter Mari sombong.
"Kamu dengar sesuatu, Liss?"
"Kalau kita berbuat baik harusnya tidak perlu diumbar, Sissy..." Bu Corliss menerima candaan Daisy
Corliss dan Daisy mencoba menggoda Mari.
Tan, Teo, Tom dan Cain menunggu diluar disapa oleh Luna yang ingin masuk ruangan tapi berhenti ketika mendengar Dokter Mari, bu Corliss dan Daisy bertengkar.
"Jangan masuk kak, nanti saja... terjadi perang saudara didalam," kata Tom diakhiri dengan tawa.
"Kalau mereka bertiga bertemu, Dokter Mari yang berpendidikan pun akan lupa kalau dia adalah dokter," kata Teo.
"Sebenarnya kalian sedang apa disana tadi? tidak mungkin merokok juga. Jadi asap apa itu tadi?" Tanya Cain.
"Kami sedang memasak mie instan, dan tahu tidak apa yang telah kamu lakukan?" Teo dengan tatapan tajamnya ke Cain.
"Memangnya apa?"
"Batu yang kau lempar itu langsung masuk ke panci, tau"
Teo dan Tom memukul belakang kepala Cain tetapi Cain membalas lebih keras lagi.
"Kalian ini tidak tahu malu ya, gara-gara kalian Felix jadi begitu..."
"Tapi karena itu juga Felix bisa bicara kan..."
Luna tertawa sekaligus iri melihat mereka.
Dokter Mari yang bisa lulus masuk universitas terbaik dan menjadi psikiater, Bu Corliss yang akan jadi kepala panti asuhan Arbor nantinya, Daisy yang kini bekerja sebagai penyiar berita di stasiun tv nasional. Mereka bertiga adalah sahabat saat tinggal di panti ini.
Saat tinggal di panti dan kemudian mendapatkan pekerjaan masing-masing tapi tetap menjalin persahabatan membuat Luna iri karena teman yang seumuran dengannya setelah keluar dari panti semuanya memutus kontak dan hanya dia sendiri yang sering datang ke panti.
Tan, Teo, Tom si kembar tiga yang ditinggal oleh orang tuanya karena tidak mampu menafkahi tiga anak sekaligus tetapi masih tetap dikirimkan hadiah tiap tahunnya oleh orangtua kandungnya.
"Pasti mereka tidak akan kesepian saat keluar dari panti nanti," kata Luna dalam hati.
***
Felix yang sudah bangun kemudian berjalan menuju kamarnya bersama Cain yang kini mereka berdua merupakan teman sekamar.
Cain tidak menceritakan apa yang sebenarnya dia lihat tadi karena dia tahu Felix punya harga diri yang tinggi. Mengatakan hal itu akan membuatnya malu.
Felix tidak mau berbicara lagi saat ditanya oleh Dokter Mari, akhirnya hanya menyuruh mereka untuk kembali ke kamar untuk beristirahat.
Jam tengah malam berbunyi dan mereka berdua berjalan di lorong yang sudah dimatikan lampunya.
"Kamu tidak takut, Felix?"
Felix hanya menoleh kearah Cain dan Menggeleng kepalanya.
"Tadi pertama kalinya aku dengar suara kamu tapi karena panik aku jadi lupa bagaimana suara kamu tadi..." Cain memulai triknya.
Saat Felix menarik napas dalam, ia pikir Felix akan mulai berbicara tapi tidak, akhirnya dia kesal sendiri dan ikut menghembuskan napasnya kasar.
Waktu menaiki tangga... Teo, Tom menakuti mereka berdua dengan kain sprei putih. Cain hampir jatuh karena kaget tapi Felix hanya melanjutkan menaiki tangga dengan santai dan melewati si kembar.
"Kalian ini tidak tahu malu yah!"
"Katanya jangan minta maaf supaya Felix tidak tahu apa yang terjadi," Tom menjadikan sprei tadi seperti handuk.
"Kami merasa bersalah tapi dilarang minta maaf jadi setidaknya mau menghibur Felix," Teo memasang sprei seperti syal dilehernya.
Hanya Teo dan Tom saja yang seperti itu, walau kembar tiga tapi Tan punya kepribadian yang berbeda dengan mereka berdua.
***
Keesokan paginya Felix bangun jam 5 subuh, mendengar suara pintu dibuka. Cain pun ikut bangun juga.
"Kau mau kemana?" tanya Cain.
"Aku mau lari pagi, kau mau ikut?" jawab Felix.
"Sepagi ini mau lari pagi..." Cain tercekat saat akan melanjutkan kalimatnya, "Kau baru saja berbicara?"
Felix hanya berbalik membelakangi Cain dan tersenyum meninggalkan kamar. Cain masih dengan wajah bengong nya bahkan belum sepenuhnya membuka mata langsung lompat turun dari tempat tidur susun yang berada di atas.
"Felix!" Cain meneriaki dari atas tangga.
"Kalau mau ikutan cepat," dengan suara menggema dari bawah tangga.
Cain yang sangat senang mau berteriak tapi ditahannya dan hanya lompat kegirangan tanpa suara.
Mereka berdua pun lari mengelilingi lapangan dan Cain begitu asyik bertanya karena ingin terus mendengar suara Felix hingga ia tidak sadar sudah mengelilingi lapangan lebih dari 30x tanpa merasa lelah sedikitpun.
Felix kemudian bertemu dengan Dokter Mari, "Apa kabar Felix?"
"Tidak buruk."
Dokter Mari tersenyum mendengar suara Felix, "Aku tidak tahu kau punya suara yang mempesona begini."
Felix yang menundukkan kepala tidak menjawab dan hanya langsung mendongakkan kepalanya menatap Dokter Mari.
"Kalau boleh tahu apa alasannya sudah mau berbicara lagi?"
"Kenapa dokter tiba-tiba berbicara sopan sekali?"
"Iyya juga yah, setelah mendengar suara Felix... Rasanya seperti bertemu orang baru."
"Saat melihat asap saja saya ketakutan sekali jadi saya rasa harus mulai memberanikan diri... setidaknya... apa nanti saya akan selalu seperti ini?"
Dokter Mari merasakan ada perubahan pada Felix, baru saja ia mengenal anak yang menyebalkan kemarin tapi sekarang dihadapannya kini adalah Felix yang dewasa, "Keinginan untuk berbicara memang adalah sepenuhnya pilihan kamu tapi untuk mengatasi trauma kamu perlu bantuan dari orang lain. Sekarang kamu tidak bisa lagi hanya ingin hidup sendiri tanpa mau berteman seperti dulu karena kamu butuh seseorang untuk menarik kamu keluar dari ruangan trauma, yang sebenarnya kamu yang buat ruangan itu sendiri."
Felix hanya terdiam.
Dokter Mari hanya mengamati. Untuk anak seumuran Felix dengan trauma seperti itu sebenarnya sangat rentan saat dewasa akan melahirkan kepribadian buruk nantinya.
"Bagaimana saya bisa mengatasinya dokter?"
"Saat kamu sudah siap menceritakan apa yang terjadi malam itu..."
Tak ada kata lagi yang keluar, Felix kemudian meninggalkan ruangan.
***
Panti saat ini sangat ramai karena ada acara ulang tahun.
"Sebenarnya mengadakan acara ulang tahun di panti asuhan tidak baik untuk mental para anak yang ada di panti," kata Dokter Mari jutek.
"Kamu diam saja!" Daisy menyenggolnya.
"Mau gimana lagi, dengan begini kan anak-anak juga dapat makanan gratis dan kalau beruntung bisa dapat donasi juga," bu Corliss berbicara dengan gigi yang terkatup.
Aula tempat makan dipenuhi oleh anak-anak yang mulai menyanyikan lagu ulang tahun.
Sang ayah kemudian membagikan amplop berisi uang kepada anak-anak dan sang ibu mulai memotong kue ulang tahun yang besar itu untuk dibagikan.
"Kenapa kamu tidak ke aula, Felix?" tanya Luna.
"Sedang tidak ingin saja."
"Senang mendengar suaramu."
Felix menoleh dan memandang ke arah Luna dan melihatnya tersenyum membuat Felix merasa aneh akhirnya pergi meninggalkannya.
Luna ingin mengejar Felix tapi terhenti ketika ada seorang anak perempuan yang berteriak memanggil nama Felix.
"Hai Felix!" sapa anak perempuan itu.
"Kamu yang ulang tahun?"
"Iyya," jawab Dea malu-malu.
"Karena sekarang Helianthus tidak ada jadi sekarang kamu pindah kesini untuk merayakan ulang tahun."
"Aku dengar kamu ngalamin trauma tapi ternyata kamu masih saja seperti biasa..."
"Aku penasaran, apa orang tua kamu yang mau kamu untuk merayakan ulang tahun di panti asuhan?"
"Tidak, aku yang mau..."
"Kamu kan punya banyak teman, kenapa bukan dengan mereka saja?"
"Aku juga ngerayain ulang tahun di rumah kok dengan teman sekolah."
"Kamu ini benar-benar..."
"Kenapa?"
"Kamu bertanya karena benar tidak tahu?"
"Emmm... kenapa?"
"Kamu itu menyebalkan!"
"Menyebalkan?"
"Ngadain pesta ulang tahun di panti asuhan itu membuat kami yang anak yatim piatu terlihat sangat menyedihkan tahu!"
"Menyedihkan? maksud kamu apa?"
"Mulai lagi pertanyaan sok polosnya," kata Felix dalam hati.
***
Felix mulai kembali ikut bersekolah tapi bukan di sekolah yang lamanya. Ia pindah ke sekolah yang sama dengan Cain, Tan, Teo dan Tom.
Jarak sekolahnya cukup jauh, mereka berlima harus bangun pagi dan berjalan sekitar 30 menit untuk sampai ke halte bus. Dan perjalanan bus ke sekolah butuh 25 menit. Jadi untuk tidak terlambat mereka harus bangun pagi untuk bersiap-siap.
Mereka berlima yang berkeringat dengan matahari yang masih belum terbit karena harus berlari ke halte bus.
Kursi belakang bus ditempati oleh mereka berlima.
Saat sampai di sekolah mereka tidak langsung masuk ke sekolah tapi ke tempat toserba untuk membeli sarapan pagi. Karena terburu-buru mereka melewatkan sarapan pagi.
"Kita makan bekal saja daripada harus membelanjakan uang," kata Felix.
"Kalau makan bekal sekarang, saat makan siang nanti kita akan malu kalau sisa bekal tinggal sedikit," Tan menepuk bahu Felix.
"Lagipula disini ada roti beli 1 gratis 1 kok," Tom dengan nada riang.
***
Felix masuk di ruang guru setelah diantar oleh Cain.
"Dia anak yang dari panti asuhan Helianthus itu kan," terdengar ada guru yang berbisik.
"Dia akan pindah bersekolah disini?"
Felix pura-pura tidak dengar dan menuju ke meja guru yang ditunjukkan oleh Cain tadi dari luar jendela ruangan.
Cain dengan wajah polosnya gembira saat melihat Felix masuk kedalam kelasnya.
"Perkenalkan, ini teman baru kalian... Ayo perkenalkan diri kamu," Pak Egan wali kelas 3-7.
"Nama saya Felix."
Teman sekelas hanya terdiam, hanya Cain yang merespon dengan bertepuk tangan.
Cain menaikkan jarinya, "Pak, Felix bisa duduk di samping saya."
"Baiklah untuk jam pertama kalian belajar sendiri dahulu karena Bu Farrin sedang cuti."
Barulah seisi kelas berteriak senang, Felix yang mendengarnya merasa kesal.
***
Walau hari pertama Felix di sekolah baru terasa menyebalkan ia tetap harus berjalan lagi di malam hari untuk pulang. Jalan menuju panti dari halte bus kebanyakan hanya hutan, jauh dari pemukiman warga. Karena itulah harga tanah di sana murah jadi bisa dibangun panti asuhan yang besar.
Cain yang menyadari suasana hati Felix pun mengeluarkan bola dari dalam tasnya dan mulai menendang bola diikuti oleh Teo dan Tom yang ikut bermain. Akhirnya mereka berlima bermain bola sampai didepan gerbang panti.
Setelah membersihkan diri, mereka akhirnya ke ruang makan. Hanya mereka berlima saja di sana karena waktu makan malam sudah lewat.
Felix yang mulai mengantuk tapi juga lapar karena masih belum terbiasa. Sedangkan Cain, Tan, Teo dan Tom masih segar sambil menyantap makanannya.
"Kau terlihat lelah, Felix?"
"Apa kak Luna dipecat dari rumah sakit?"
"Kau ini... bertanya baik-baik malah..."
"Dulu cuma tiap akhir pekan datang, sekarang hampir tiap hari."
Luna hanya tersenyum kecut, "Bukan urusan kamu tahu, mau akhir pekan, mau tiap hari..."
Setelah mereka selesai makan, Luna memberikan susu coklat, "Wah, terimakasih kak," Cain, Tan, Teo, Tom bersamaan.
Cain kemudian menyenggol Felix tapi ia hanya berjalan pergi, "Hahaha... dia hanya capek kak. Maafin yah, susu coklat Felix biar saya yang bawain."
"Kamu menyesal kan ngambek, jadi malu ngambil susu coklat ini," teriak Luna.
Felix hanya berjalan lurus dan akhirnya menghilang dari pintu.
***
Keesokan paginya aktivitas kembali seperti semula. Felix yang masih belum terbiasa terlihat sangat lelah.
Pelajaran olahraga, anak laki-laki bermain sepak bola dan anak perempuan kebanyakan hanya berteduh dibawah pohon karena kepanasan.
Walau sebenarnya Felix merasa sangat mengantuk tadinya, sekarang ia bersemangat karena bermain bola.
Setelah pelajaran olahraga selesai, Felix dan Cain kembali ke kelas setelah mengganti bajunya.
Sesampainya dikelas terlihat ada anak perempuan yang duduk dilantai dikelilingi oleh 5 orang anak perempuan.
Felix dan Cain yang melihat itu tidak jadi masuk kedalam kelas. Bukannya mereka tidak mau menolong tapi sebagian besar sumbangan berasal dari orangtua anak yang membully itu.
Mereka berdua tidak berbicara apapun, mereka hanya sama-sama diam dan berjalan menuju tempat lain.
Saat akan kelapangan ada si kembar tiga yang memanggilnya dari atap sekolah. Mereka berlima akhirnya makan bekal masing-masing di sana.
"Wah kalau ada kak Luna pasti makanannya enak-enak," Teo dengan suapan besar.
"Terutama sosis ini!" Tom mengambil sosis dari kotak makan siang Tan.
Tan hanya diam seakan itu adalah hal yang wajar.
Menyadari Felix dan Cain yang hanya diam, Tan pun mulai bertanya, "Apa ada masalah?"
"Kalian bertengkar?" tambah Tom.
"Kalau bertengkar masa mereka bisa jalan berdua tadi," Teo memukulnya dengan sendok, Tom yang sadar telah dipukul menatap tajam Teo. Teo yang menyadari hal itu langsung berlari menyelamatkan dirinya.
"Ada apa?" Tan bertanya lagi.
...-BERSAMBUNG-...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 570 Episodes
Comments
Kᵝ⃟ᴸ🤡
masih membaca
2022-08-13
1
тαуσηg
wah belum tentu juga dental pikiranmu desy,,,, siapa tau dia emang anak yang genius Jangan asal bicaralah
2022-08-13
0
𝕸y💞Terlupakan ŔẰ᭄👏
Up
2022-08-12
2