“Son, mereka sudah om pecat dan ini hari terakhir mereka bekerja.” Pak Irawan menulis pesan singkat yang dikirim ke Mas Sony.
[“Benarkan? Terima kasih om. Maaf sudah merepotkan.”] balasan pesan Mas Sony dan melamun sejenak.
Apa aku terlalu jahat membuat mereka dipecat dan memutus rezekinya? Sebenarnya kasihan juga mereka kehilangan pekerjaan, tapi bagaimana lagi, mereka harus mendapat hukumannya.
Lagi pula aku tidak tega melihat Vania dihantui ketakutan terus. Kasihan kamu Dek. Batin Sony dalam hati.
“Nanti malam makan di rumah ya. Sudah lama kamu tidak menginap. Om mau ngobrol banyak sama kamu.” Balasnya.
[“Oke om, Insyaallah nanti habis isya aku ke sana.”]
Jam tak berhenti berjalan, setelah hampir seharian bekerja akhirnya mereka mulai bersiap untuk pulang.
Aku merasa ada yang kurang karena hari ini, tidak biasanya Mas Sony menghilang. Sebenarnya sempat bertemu pagi tadi ketika di Pos.
Tetapi itu pertemuan yang singkat. Sering kali Mas Sony mengajakku makan siang dan sholat bareng. Ah begini saja aku sudah galau.
Aku menyimpan kartu ke tempatnya setelah memasukkannya ke mesin untuk absen jam pulang. Dengan langkah berat aku berjalan menuju Pos security dan mulai meletakkan tasku di meja untuk dilakukan pemeriksaan sebelum meninggalkan area hotel. Kali ini aku pulang sendirian. Tidak masalah bagiku, sore begini mana ada orang jahat.
“Van, bareng yuk.” Menyentuh pundakku dari belakang.
Aku menoleh ke belakang. Hah Kris? Kenapa sih dia selalu menggangguku. Sempet-sempetnya dia berlari mengikutiku. Males banget lihat wajahnya. Kenapa bukan Mas Sony saja. Huh.
“Nggak usah Mas, terima kasih.” Tolakku tak berhenti berjalan keluar halaman hotel.
“Aku serius nih Van, santai aja. Nggak merepotkan kok.” Menggoda, menggerakkan alisnya, terlihat sangat menjijikkan.
“Oke deh, ambil motornya dulu. Aku tunggu di sini.” Jawabku memberi kesempatan untuk pergi.
“Siap Sayang, tunggu yaa ...” berlari ke parkiran.
Dipanggil sayang, diiihh gelayyy ...
Aku segera berlari secepat mungkin ke dalam halaman dan bersembunyi di taman dekat kolam renang.
Tak lama Kris datang dengan motornya dan mencari keberadaanku, aku mengintipnya seperti tak punya dosa. Mengerjai orang yang lebih tua, hahaha. Salah sendiri siapa suruh keganjenan. Setelah dia pergi melajukam motornya keluar area hotel. Aku kembali berjalan dengan santai.
Mas Sony ke mana ya seharian tidak melihatnya bahkan tidak mengirim pesan sama sekali.
Akhirnya kuberanikan diri untuk mengiriminya pesan singkat, menanyakan keberadaannya. Belum sempat kukirim, tiba-tiba,
“Ayok Dek, naik. Maaf ya Mas telat menemuimu.” Seperti biasa Mas Sony mengejutkanku dari belakang dengan suara motornya yang khas terdengar di telingaku.
Cukup mengangguk tersenyum, bersikaplah sewajarnya Van. Jangan perlihatkan kalau kamu bahagia bisa pulang bareng Mas Sony.
“Dek, nanti Mas boleh mampir sebentar? Ada yang mau Mas bicarakan sama kamu.”
“Boleh kok Mas, memangnya mau membahas apa?” tanyaku penasaran.
“Soal Pak Herman dan Bu Anita Dek. Nanti saja Mas jelaskan.”
“Oke Mas.”
Skip di jalanan
Aku mempersilahkan Mas Sony masuk. Kebetulan hanya ada beberapa orang dan tidak terlalu ramai. Yang terpenting tidak ada Widya yang menggangguku.
“Mas, aku buatkan minum dulu ya. Mau panas atau dingin?” tanyaku setelah menaruh tas di kursi ruang santai.
“Tidak perlu repot-repot Dek, Mas cuma sebentar kok.”
“Mas harus minum, pasti haus. Aku buatkan es teh saja ya, eh tapi nggak ada es.” Memutar bola mata mengingat isi kulkas sesekali memainkan rambut panjangku.
“Oh, tapi ada teh kotak Mas! Aku ambilkan ya, mau kan? Harus mau dong, sebentar.” Ucapku memaksa lalu berdiri dengan semangat menuju dapur umum yang tak jauh dari ruang santai.
“Terserah kamu saja Dek.” Tersenyum melihat tingkahku yang seperti bocah.
“Ini Mas, di minum ya, o iya tadi Mas mau cerita apa?” meletakkan minuman lalu duduk di kursi berhadapan.
“Dek, Pak Herman sama Bu Anita sudah dipecat. Dan ini hari terakhir mereka bekerja.”
“Apa Mas? Kenapa dipecat? Apa karena masalahku kemarin? Tapi kok bisa secepat itu ya, dan Bu Anita kenapa harus dipecat juga. Aku sama sekali tidak paham.”
“Iya Dek, masalah Pak Herman dan Bu Anita juga melindunginya terus, tidak bijak dalam menjalankan aturan Hotel. Ditambah lagi dia dijadikan selingkuhannya Pak Herman.” Yang memecat Owner hotel langsung Dek.” Jelas Mas Sony.
“Loh kok bisa sih Mas? Maksudku, darimana Pak Irawan tahu? Sepertinya beliau jarang sekali ke Hotel kalau tidak ada kepentingan.” Tanyaku keheranan.
“Mas juga kurang tahu Dek Pak Irawan tahu darimana. Tapi yang jelas sekarang Adik sudah aman. Alhamdulillah sudah tidak ada yang mengganggumu lagi.”
Maaf ya Dek Mas harus bohong, Mas tidak mau kamu tahu kalau sebenarnya Mas masih ada hubungan keluarga dengan Om Irawan. Tapi Mas janji suatu saat nanti kalau sudah waktunya, Mas akan cerita semuanya. Termasuk status Mas sekarang.
“Iya sih Mas, tapi kasihan juga ya mereka kehilangan pekerjaan, gara-gara aku lagi Mas! Coba aja kalau kita anggap selesai masalah ini. Mungkin akan baik-baik saja Mas.” Ucapku sambil menyenderkan kepalaku diujung senderan kursi dengan pandangan kosong.
“Baik-baik saja bagaimana maksudmu Dek? Kamu masih saja memikirkan mereka, sedangkan hati dan pikiran Adik saja belum sembuh dari trauma. Dan kalau dia tidak diberi sanki, pasti akan mencoba terus, banyak korban.” Kata Mas Sony tegas.
“Ya aku memang masih sangat ketakutan sih Mas ketika aku melihat tangga darurat, dan perasaan waspada terhadap senior ketika bekerja. Tapi balik lagi, Pak Herman juga punya anak. Pasti kebingungan Mas gimana nanti cari kerjaannya. Kalau Bu Anita sih single. Jadi aku tidak terlalu kasihan.” Jelasku.
“Hati kamu terbuat dari apa sih Dek? Masih sempat-sempatnya kamu memikirkan orang yang hampir membuatmu celaka. Mas nggak habis pikir.” Sahut Mas Sony.
“Ya sudahlah Mas, semoga mereka cepat mendapatkan pekerjaan baru.”
“Iya Dek,” Nggak salah Mas memilihmu untukku Dek, kamu begitu baik.
melirik kecil, sambil meminum teh kotak dingin yang lumayan menghilangkan dahaga dan tenggorokan kering, hehe ...
“Mas, tadi seharian ke mana aja sih, kenapa nggak ada kabar sama sekali?!” tanyaku sedikit mengeraskan suara tanpa basi-basi dan terlihat seperti ngambek memonyongkan bibir.
Uhuk, uhuk,
“Astaghfirullah Dek,. Bisa pelan-pelan tanyanya? “ memandangku intens tanpa berkedip dan melemparkan senyumnya yang juga menahan tawa. Ahh itu sangat memabukkanku, tak tahulah kenapa dia begitu mempesona. Huaaa ....
Aku malu dan langsung membungkam mulutku dengan jariku, “ Maaf Mas keceplosan. hehe,”
Kenapa aku sangat agresif saat bertanya. Harusnya kan bisa agak kalem. Ya ampun ...
“Kenapa ngambek begitu? Maaf ya tadi Mas sibuk banget Dek, banyak yang harus diurus.”
“Enggak ngambek Mas aku tuh ,,, Cuma tanya kok. Tumben aja seharian nggak kelihatan, di mushola, di kantin, di lantai atas. Biasanya kan sering bareng. Mas juga sering kasih kabar meskipun lewat pesan singkat.” Jelasku mendetail.
“Iya,, Mas minta maaf ya... Sebegitu kangennya ya Dek sama Mas?” memandangku fokus, seketika aku aku menunduk malu. sabar sekali dia, berapa kali coba mengucap kata maaf.
“Bukan Mas, enggak! Bukan kangen. Kan Cuma tanya. Memangnya nggak boleh ya?” tanyaku yang masih menunduk. Untuk menghilangkan nervous , aku mengeluarkan ponsel dari saku dan membukanya. Pura-pura sok serius.
“Dek, lihat Mas!.” Perintahnya.
“Hah?!” bergegas kaget, aku mendongakkan kepalaku dan melihatnya. “Kenapa Mas?”
“Nggak apa-apa. Pengen lihat wajah Adik saja. Lagi lucu soalnya kalo ngambek begitu. Imut banget Dek. Hahaha.” Menertawakanku puas.
“Mas, kebiasaan deh. Jangan suka melihatku seperti itu. Aku malu Mas. Apalagi make-up ku sudah luntur. Hehe ...” ucapku menahan malu yang sebenarnya. Perempuan mana yang tidak nervous kalau dilihat lelaki tampan yang mulus putih tanpa noda seperti Mas Sony. Dobel insecure sudah pasti.
“Mau make-up atau nggak, tetap saja namanya Vania kan?. Dan Mas suka kok, bagaimanapun keadaannya insyaalllah tidak akan berubah. Mas akan terus seperti ini.” Kata-kata Mas Sony yang begitu menusuk jantungku. Lama-lama aku bisa pingsan di dekatnya. Cukuplah Mas tolong jangan membuat bunga di hatiku semakin mekar.
“Mas, sudah dong jangan terus berkata seperti itu, a—aku ,,, aku bingung” Menahan malu, pipi merah sudah pasti terlihat.
“Bingung kenapa Dek, Mas kan cuma bilang apa yang Mas rasakan, jadi Adik tidak perlu mencari kata-kata yang indah atau jawaban. Mas juga tidak berharap kok.” Lagi-lagi tersenyum.. murah sekali sih dia mengumbar senyumnya. Semoga hanya buatku. Hahaha
“Iya Mas,” bodoh banget sih Van kamu. Kenapa tidak bisa bersikap dewasa sedikit saja. Tak henginya aku mengutuki diriku yang terlalu bodoh ini. Maklum saja. Merasakan kasmaran juga baru pertama kali ini. Sebelumnya tidak disebut kasmaran kan, Ega saja tak terlihat di hatiku kok.
“Dek, Mas pulang dulu boleh? Sudah jam empat.” Tanya Mas Sony sambil melihat jam warna hitam ditangannya.
“Iya Mas, boleh. Yuk aku antar ke depan.” Ucapku berdiri bersamaan dengan Mas Sony.
“Ya sudah, Mas balik dulu ya Dek. Kamu cepat mandi terus sholat.” Berjalan keluar pintu utama.
“Oke Mas, siap.”
“Assalammualaikum.”ucapnya sambil menaiki motornya.
“Wa’alaikumsalam...” imamku yang ganteng. Hahaha
Bersambung,,,,
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Miranti Munawir
semngat Thor.. critnya sy suka semoga ttp sehat yah thor
2021-04-28
3