“Nduk, sudah selesai belum? Kita pindah kamar sebelah kalau sudah," ucap Pak Adi yang tak begitu kudengarkan karena sudah tidak bisa fokus mengerjakan apa pun.
“Vania cah ayu ....“ Pak Adi mendekat dan memanggilku.
“Eh iya Pak. Kenapa?” sahutku kaget.
“Kamu kenapa sih, Nduk, cah ayu ... kok melamun terus. Ada masalah apa? Coba cerita sama Bapak.”
“Tidak ada apa-apa kok, Pak. Hanya saja tadi Mas Kris lewat dan aku kepikiran terus dengan kata-katanya.”
“Memangnya dia bilang apa nduk sama kamu?” tanya Pak Adi penasaran.
“Dia bilang kalau aku 'TO' Pak, aku nggak tahu 'TO' itu apa. Dan kenapa harus aku? Maksudnya bagaimana, sedangkan dia tidak menjelaskan apa-apa.”
“ 'TO' itu Target Operasi nduk, coba bapak tanyakan ke Kris dulu, ya,” Pak Adi langsung menuju ke meja telepon dan menekan nomor tujuh, terhubung ke pos security.
Target Operasi? Kenapa? Apa kejadian malam itu sudah ada yang tahu? Aku bergumam dalam hati.
“Halo, bisa bicara dengan Kristanto?”
"Iya, Pak. Ada apa?" Suara Kris terdengar samar ditelingaku.
“Kris, tadi kamu apakan anakku? Bilang apa kamu sama Vania sampai dia tidak konsentrasi bekerja?” tanya Pak Adi sambil sedikit tertawa.
[“Ha ha ha ... tidak apa-apa, Pak, cuma iseng saja kok. Ingin menggoda Vania.” Lagi-lagi aku mendengar suara Kris meskioun kirih, aku masih bisa mendengarnya. Dia seperti mengejekku.
“Kenapa kok Vania di 'TO', Kris? Memangnya ada masalah apa?“ Pak Adi dengan serius menanyakan apa yang sebenarnya terjadi kepadaku.
“Coba tanya sama Vania langsung, Pak, saya juga kurang paham permasalahannya, yang jelas Vania sama Sony lagi rame, jadi bahan pembicaraan semua orang.”
“Benarkah?! Ya sudah kalau begitu nanti saya tanyakan langsung ke Vania. Terima kasih ya atas informasinya.”
“Siap Pak.” Kris menutup teleponnya. Tanganku mulai basah karena keringat dingin, aku begitu cemas setelah mendengar ucapan Kris.
“Nduk, memangnya kamu lagi ada masalah apa? Apa yang terjadi?” tanya Pak Adi yang begitu peduli kepadaku.
Seketika aku teringat kejadian malam itu, malam yang bagiku sangat mengerikan. Namun, aku tidak bisa begitu saja menceritakan hal seperti ini kepada Pak Adi. Bagaimanapun juga, ini adalah hal yang sangat memalukan dan aku juga belum siap jika akhirnya semua orang akan tahu kalau aku hampir diperkosa oleh Pak Herman.
“Pak, waktu itu memang terjadi sesuatu. Tapi maaf aku belum siap untuk bercerita ke Bapak. Mungkin kalau saya sudah siap, saya akan menceritakan semuanya ke Pak," jawabku dengan mata yang berkaca-kaca, menahan agar bulir air mata tidak jatuh di depan Pak Adi.
“Nduk, kalau mau menangis, menangislah! Jangan ditahan. Itu akan membuatmu tambah sedih dan terbebani. Tidak apa-apa jika tidak mau bercerita sekarang, tapi kamu harus ingat ya Vania ... kapan pun Bapak di sini akan selalu siap mendengarkan keluh kesah kamu. Dan apa pun masalahnya, Vania harus kuat, harus tegar, jangan terus menerus larut dalam kesedihan, setiap masalah pasti akan ada jalan keluarnya. Jadi kamu tidak usah takut ya nduk, berdoa terus sama yang di atas supaya kamu di mudahkan dalam urusan apa pun.”
“Iya Pak, terima kasih sudah selalu baik dan perhatian sama Vania dan sekarang perasaanku sedikit lebih tenang Pak.” Aku tidak menyangka Oak Adi sebegitu pedulinya padaku.
“Ya sudah sekarang kamu turun duluan, ya, sudah jam dua belas. Salat dulu, baru makan. Biar ada tenaga, jangan lemes , yang semangat! Jelek tahu nduk cemberut terus begitu, senyum dong!”
“Oke Pak, siap! Terima kasih.” Aku mengangguk pelan lalu keluar dari kamar terakhir yang aku kerjakan dengan Pak Adi. Kulangkahkan kaki menuruni tangga dan seketika aku teringat kejadian malam itu . Kuusap air mataku sambil satu persatu kakiku melangkah dengan berat.
Di kantor HK ada beberapa karyawan dan anak magang beristirahat sejenak sambil mengobrol dan bercanda sebelum mereka bergegas pergi ke kantin atau mushola. Aku ikut bergabung bersama mereka. Meskipun banyak yang kupikirkan, aku berusaha membuatnya santai dan seolah tidak terjadi apa-apa.
Tok ... Tok ... Tok ... suara ketukan pintu membuat semua orang di dalam ruangan terpaku dan serempak menoleh ke arah pintu kantor.
“Selamat siang, mau mencari Dek Vania ada Pak?”
Aku terdiam mendengar suara Mas Sony mencariku, aku kaget dan bingung apa yang harus kulakukan. Kenapa Mas Sony mencariku terang-terangan di depan umum begini? Harusnya akan ada rasa senang bercampur malu karena di datangi lelaki pujaan. Namun, kali ini aku benar-benar ketakutan, aku mematung dengan wajah pucat. Pasti ini yang di maksud Kris tadi. Ya, aku menjadi Target Operasi, istilah yang biasa digunakan untuk menargetkan seseorang kemudian memroses sebuah kasus atau kesalahan besar yang dilakukan seorang karyawan di suatu perusahaan.
Semua orang di dalam ruangan langsung menggodaku, termasuk para senior yang sebagian tahu kalau aku memang dekat dengan Mas Sony.
“Cieee ... tuh Van di samperin Masnya. Duh senangnya di perhatikan, mau makan saja dijemput dulu. Ha ha ha ...” goda Bu Endang dilanjutkan dengan tawa lantang teman-temanku.
Meskipun di hotel ada larangan keras untuk menjalin hubungan, tetapi hal seperti ini bukan sesuatu yang dipermasalahkan untuk para karyawan. Yang terpenting tidak sampai ke telinga atasan, apalagi HRD. Bisa-bisa salah satu akan di pindah tugaskan di cabang hotel lain.
“Iya, Mas, ada apa?” aku mendatangi Mas Sony dengan tatapan sayu, ketakutan dan penuh pertanyaan.
“Ikut Mas sebentar ya, Dek, kamu sudah sembuh? kamu tidak usah khawatir, ya, tenang saja. Nanti kalau kamu ditanya apa pun jawab saja dengan jujur, apa adanya. Jangan ditambahi atau dikurangi, ya.”
“Ini kita mau ke mana sih, Mas?” tanyaku sambil berjalan mengikuti langkahnya.
“Kita ke Pos Pusat dulu Dek menemui manager security, setelah itu kita ke HRD."
“Haa?!” Bat apa Mas? Kenapa kita harus menemui Pak Anton dan ke HRD juga? Takut, Mas.” Aku mendadak menghentikan langkahku setelah mendengar jawaban Mas Sony, kakimu seperti enggan melangkah.
“Tidak perlu takut Dek, kita tidak bersalah. Jadi nanti Adik harus jelas ya bicaranya, agar tidak terjadi salah paham," ucap Mas Sony.
Aku berjalan di samping Mas Sony yang sedang memegang payung, karena saat itu sedang hujan, jarak kantor HK ke pos pusat security memang lumayan jauh dari koridor belakang hingga halaman depan. Jadi tak heran jika beberapa orang memperhatikan kami yang dengan bebasnya berjalan berdampingan di bawah payung. Mereka tidak tahu saja saat ini aku sedang menghadapi masalah besar dan jantung sepertinya akan roboh.
“Selamat siang, Pak," ucap Mas Sony memasuki pos security, di dalam sana bukan hanya ada manajer saja. Namun, juga ada beberapa security lain juga sedang berkumpul mengobrol karena masih jam istirahat.
“Masuk Son! Bawa Vania masuk juga.” Perintah Pak Anton.
“Baik Pak.”
“Vania ... langsung saja, ya. Ini saya berbicara sebagai teman kok, bukan manajer. Paham ya? Jadi kamu santai saja, jangan gerogi begitu. Ha ha ha ...”
“Iya Pak.” jawabku singkat
Mau Bapak bilang sebagai teman atau apa pun itu, tetap saja statusnya manajer. Bagaimana aku tidak boleh takut dan gerogi, sedangkan di sini aku perempuan sendiri, empat security dan satu manajer. Kenapa harus banyak orang di sini, apa mereka tidak bisa pergi dari sini?
“Van, kemarin Sony sudah menjelaskan semuanya ke saya, sekarang saya mau dengar langsung versi kamu. Tolong jelaskan dengan jujur, ya. Nanti saya akan membantu kalian."
Penjelasan? Penjelasan apa yang dimaksud Pak Anton, apa yang harus kukatakan? Aku masih terdiam bingung seperti orang bodoh ditambah lagi para lelaki ini melihatku seenaknya dari atas sampai bawah, entah apa yang mereka pikirkan saat ini.
“Maaf Pak, apa saya harus menjelaskan di depan orang banyak seperti ini?” jawabku ragu takut salah bicara.
“Ha ha ha ... baiklah kalian keluar dulu semuanya! Vania tidak bisa bicara kalau kalian di sini," perintah Pak Anton kepada beberapa security, dan mereka bergegas keluar, kecuali Mas Sony. Dia masih tetap menemaniku di dalam.
“Terima kasih, Pak, jadi saya harus mulai dari mana Pak? Terus terang saya bingung mau menjelaskan bagaimana.”
“Ceritakan semuanya dari awal, Dek, ketika kamu memintaku untuk datang ke lantai empat,” ucap Mas Sony.
“Oh baiklah, jadi begini, Pak, hari rabu malam saya ditugaskan membersihkan kamar dengan Pak Herman, dan sa--saya mengalami pelecehan di dalam kamar yang terkunci. Pada saat itu saya berusaha melawan, tak lama saya berhasil membuka pintu kamar lalu berlari ke arah tangga. Segera saya mengambil ponsel dan telepon Mas Sony meminta pertolongan. Namun, sayangnya Pak Herman berhasil menemukan saya dan mengejar sampai di tangga tengah, sa--saya sudah tidak bisa menghindar dan ....”
Aku mulai terbata-bata meneruskan kata-kataku, terlalu berat dan sangat memalukan jika aku harus bercerita secara mendetail. Air mata sudah tidak bisa ditahan, terus menetes membasahi pipiku, kejadian itu benar-benar membuatku trauma.
“Oke, Setelah kejadian itu, apa benar Sony membawamu ke Pos Van?” tanya Pak Anton.
“Betul Pak, Mas Sony menggendong saya, karena kaki saya terkilir waktu lari di tangga dan susah untuk berjalan.” Aku mengusap pipiku yang basah.
“Lalu, apa yang kalian lakukan di Pos?”
“Kami tidak melakukan apa pun, Pak. Mas Sony hanya mengantarku untuk duduk di dalam Pos dan menenangkan saya, setelah itu Mas Sony lanjut bekerja karena malam itu banyak mobil tamu yang keluar masuk, jadi Mas Sony harus mengaturnya,” jawabku dengan penuh keyakinan, semoga Pak Anton tidak berpikir aneh-aneh terhadap kami.
“Baiklah Van, saya sudah mengerti dan sangat paham setelah kalian bercerita dan saya juga sudah melihatnya buktinya."
.
.
.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments