Selang dua hari aku mendapat sift malam bersama Pak Herman, dia senior yang pernah lancang menyentuhku sebelumnya. Sebenarnya aku takut, tapi mau bagaimana lagi. Aku hanya anak magang yang harus patuh dengan aturan hotel.
Aku mengambil beberapa sprai dan handuk untuk beberapa kamar. Mengganti satu persatu yang sudah kotor. Aku pun sangat menjaga jarak karena takut kecolongan lagi.
Ternyata, dugaanku benar terjadi, dia mulai berani mendekat dan menyentuh pantatku ketika aku lengah sebentar. Aku menjauh dan lari keluar kamar, tetapi aku kalah cepat, dia menarik baju belakangku.
“Nggak usah takut, Van. Bapak nggak kasar kok. Santai aja, di sini juga tidak ada CCTV, jadi aman. Ha ha ha." Dia tertawa sambil menyunggingkan bibirnya yang sangat menjijikkan.
Aku terjatuh karena tak bisa menjaga keseimbangan dengan sepatuku yang lumayan tinggi.
Dia menyingkap rok pendek hitam yang kukenakan dan menyentuh pahaku. Beruntung aku masih mengenakan celana pendek ketat di dalamnya.
“Pak ... jangan!” Aku menangis memohon, kudorong badannya yang semakin mendekat.
Aku berhasil berdiri dan keluar kamar. Secepat mungkin aku kabur berlari karena dia mengejarku, akhirnya aku memutuskan untuk bersembunyi di balik tangga.
Kuambil ponselku di saku dan segera menelepon Mas Sony, aku lega dia cepat mengangkat telepon dariku.
Bukan karena kebetulan aku satu sift dengan Mas Sony, tetapi dialah yang selalu memantau jadwalku.
Setiap kali aku mendapat sift malam, dia tak pernah bosan untuk bertukar sift dengan temannya agar bisa menemaniku tugas dilantai atas dari kamar ke kamar supaya aku tak ketakutan.
Namun, kali ini aku yang salah karena aku tak berpamitan padanya sebelum aku bertugas di atas.
“Mas, tolong aku dilantai empat. Cepetan Mas!”
ucapku berbisik pelan.
Tak sempat aku mendengarkan jawaban Mas Sony karena suara sepatu Pak Herman sudah mendekat, aku pun mundur perlahan tanpa mematikan panggilan telepon, hingga akhirnya ponselku terjatuh karena gugup, tanganku yang gemetar tak mampi menahan ponsel dalam genggamanku.
Tak ada jalan lain, aku harus menuruni tangga darurat di belakangku yang minim penerangan.
Dia semakin mendekat seakan tahu aku menuruni tangga. Ya, bodohnya aku meninggalkan sepatu di dekat tangga karena aku tak fokus yang kupikirkan saat ini adalah menjauh dari Pak Herman.
Tak mungkin juga aku paksakan memakai sepatu yang akan membuatku semakin celaka. Aku hanya berharap Mas Sony cepat datang menolongku. Aku benar-benar ketakutan sekarang.
“Sudahlah Van tidak usah lari-larian, percuma," ucapnya yang hanya berjarak tiga anak tangga di belakangku.
"Kamu tahu, Van, saya sudah lama menginginkanmu tubuh mulusmu itu, dari awal kamu sudah berani menolakku. Bahkan kamu meminta bantuan Sony untuk menghindariku, Sekarang kita hanya berdua di sini, jadi kita manfaatkan kesempatan ini, ya, hahaha."
Aku menoleh, melihat dia sudah di belakangku hanya berjarak sekitar satu meter. Aku menangis ketakutan, aku berlari menuruni tangga, tetapi lagi-lagi aku terjatuh. Kakiku terkilir hingga aku tak bisa berdiri.
Dia semakin mendekat ke arahku. Sekencang apa pun aku berteriak tak akan ada orang yang mendengar karena dilantai empat kosong, semua tamu baru saja chek out siang tadi.
AUTHOR POV
“Halo ... Dek!” sahut Sony saat ia mengangkat telepon dari Vania.
"Mas tolong aku di lantai empat, cepatan Mas!"
“Halo. Kenapa, Dek, ada apa? Halo ....” Mendengar Vania tak menjawab, Sony mulai mencurigai sesuatu.
Kenapa suaranya seperti ketakutan dan sangat pelan?
“Apa yang terjadi pada Vania?” Ia berfikir sejenak sambil terus mendengarkan suara Vania yang berteriak di ponselnya.
“SIAL! Pak Herman!”
Seketika dia teringat waktu di kantin sore tadi Vania sempat bercerita kalau dia sedang bekerja satu shift dengan Pak Herman.
Sony langsung bergegas lari dengan wajah panik, ia menuju lift menekan tombol empat.
“ Ya Allah tolong lindungi Vania ... tolong selamatkan dia ....” ucapnya lirih.
Lift berhenti tepat di lantai empat, Sony mencari keberadaan mereka tapi nihil, semua kamar terkunci dan tak ada suara apa pun, dia mulai gelisah dan kebingungan. Sony terus berjalan menyusuri semua koridor. Akhirnya ....
Suara samar terdengar di ujung koridor, secepat mungkin Sony menuju ke arah tangga dan menemukan sepatu Vania tergeletak di dekatnya.
Sementara itu di tangga bagian tengah....
POV 1 (VANIA)
“Pak, saya mohon jangan! Tolong lepaskan saya." Buliran air mata mengalir deras mulai membasahi pipiku.
Dia membuka kancing bajuku dengan paksa, rokku tersingkap, dan celana pendekku pun juga ditarik kasar olehnya, bibir kotornya sudah mulai mencium leher dan dadaku. Aku sangat jijik. Nafasku seperti sesak menahan amarah, tenggorokanku seperti tercekat. Lidahku pun juga kelu, ingin berteriak, tetapi tidak bisa.
Aku hanya bisa menangis sejadi-jadinya, aku lemas tak berdaya menahan sakit cengkraman tangannya dilenganku hingga aku tak bisa mendorong badannya yang kini menindihku. Tenaganya terlalu kuat untuk aku lawan. Tenagaku yabg tak seberaoa ini membuatku kualahan. Kenapa nasibku malang sekali. Batinku seperti meronta tak karuan.
Aku sangat ketakutan. Detak jantungku yang tadi memompa kencang rasanya sudah mulai lemas, aku lelah menangis dan berteriak yang bahkan tak mampu mengeluarkan suara.
Ya Allah tolong ... Selamatkan hamba ..., batinku terus merintih kesakitan.
“PAK HERMAN!!"
Teriak Mas Sony, dia berlari menghampiri aku dan Pak Herman. Namun, aku hanya terkulai lemas. Aku lihat Mas Sony menarik baju belakang Pak Herman.
BUGGHH...BUUGHHH...!
Dua pukulan tepat mengenai wajah dan perutnya lelaki jahanam itu.
“Apa yang anda lakukan?! Bisa-bisanya melecehkan Vania. Ini area hotel! Apa anda sudah gila, hah!" Suara Mas Sony berteriak memenuhi tangga.
"Saya tidak akan tinggal diam atas perlakuan Anda terhadap Vania!” bentak Mas Sony dengan penuh amarah.
"Mas ...." panggilku dengan suara lemah. Mataku terpejam sambil beringsut mundur ke sudut tangga.
Mas Sony sadar mendengar suaraku, ia lalu melepaskan Pak Herman dan menghampiriku.
Pak Herman berlalu pergi tanpa sepatah katapun, mungkin dia malu atau takut karena ulahnya tertangkap basah.
Aku duduk mendekap tubuhku. Bulir-bulir bening membasahi seluruh wajahku. Aku menunduk tak berani memandang netra Mas Sony.
Aku malu, aku sakit, aku jijik dengan tubuhku yang sudah disentuh lelaki bejat seperti Pak Herman.
“Dek, kamu tidak apa-apa, kan? Apa ada yang sakit? Maafkan Mas, Maaf ...," ucap Mas Sony sambil meraih tubuhku ke pelukannya. Dia memelukku erat walaupun posisiku sedang meringkuk, dan kepalaku bertumpu pada lutut.
Mas Sony lalu melepaskan seragam biru gelapnya dan menutupkannya ketubuhku yang sudah tak karuan bentuknya, nyaris hampir telanjang setengah badan. Namun, Mas Sony masih mengenakan kaos hitam polos di dalamnya.
Tangannya yang hangat menyentuh pipiku dan menatap dalam, kulihat matanya yang iba terhadapku, seakan dia ikut merasakan perih yang kurasakan. Jarinya mengusap air mataku. Tangisku tak berhenti, berkatapun rasanya tak sanggup, nafasku juga sudah tak beraturan.
Dadaku sangat sesak, aku tak menyangka kenapa hal seperti ini bisa terjadi padaku.
Di kembali memelukku cukup lama agar aku tenang. Dan baru kali ini aku merasakan kehangatan, aku merasa sangat aman didekatnya.
Terimakasih sudah melindungiku Mas, terimakasih sudah menolongku.
Emmuachh....
Setelah melepaskan pelukannya, kini bibir lembut itu menyentuh keningku dan menatapku penuh makna.
Ya, untuk pertama kalinya Mas Sony menciumku, dan aku sama sekali tak menolaknya. Justru kecupan itu yang membuatku sangat tenang.
“Dek, jangan takut lagi ya, jangan sedih, Mas di sini.” Dia menangkupkan kedua tangannya ke pipiku.
“Sekarang kita turun, ya. Mas antar kamu ke kantor HK.”
"Aku tidak mau, Mas,... dia pasti ada di sana. Aku tidak mau bertemu dengannya.” Aku menolak dan tak berhenti menangis.
“Ya sudah, kalo begitu kamu ikut sama Mas aja, ya, e Pos Security dua, di sana tak begitu ramai orang. Jangan menangis lagi, Dek. Mas sedih lihat kamu seperti ini.” Ujar Mas Sony.
“Iya, Mas." Aku mengangguk pelan.
Ya Allah kenapa air mata ini susah sekali untuk berhenti mengalir. Aku tidak bisa berpikir apa-apa, yang aku ingin saat ini hanya bersamanya.
Aku mencoba berdiri berpegangan tangan Mas Sony. Tapi tak sanggup. “Auuwwhh ...!” Aku hampir terjatuh, dan dia dengan sigap menangkap tubuhku dipelukannya.
“Kenapa, Dek? Apa yang sakit? Apa dia tadi sudah sempat ...? Maafkan Mas, Dek, maaf Mas terlambat,” ucapnya sayu menahan rasa bersalah dan memelukku erat, lagi.
Mungkin dia berpikir mahkotaku sudah direnggut oleh lelaki itu karena aku merintih kesakitan.
Beruntung Mas Sony cepat datang, terlambat sedikit saja pasti duniaku akan hancur. Kehilangan keperawananku ditangan lelaki brengsek.
“Enggak, Mas! Bukan, bukan itu, aku masih ...!” sahutku tak meneruskan kalimatku.
“Kakiku cuma terkilir sewaktu lari menuruni tangga tadi," jelasku.
“Ya Allah... “ Mas Sony menatapku kasihan. Namun ia seperti lega mendengar keteranganku.
Tanpa berkata dia langssung mengangkatku ala bridal style.
“Mas, aku bisa jalan sendiri, turunkan saja," pintaku.
“Sudah, kamu diam saja, Dek. Mas tidak tega lihat kamu kesakitan.”
Tak lupa dia mengambil celana pendek, sepatu dan ponselku yang sudah bercecer.
Mas Sony berjalan menuju lift belakang yang sepi karyawan, tetapi masih ada beberapa orang yang bertanya 'kenapa'. Mas Sony hanya berkata 'tidak apa-apa' dan tersenyum.
Badannya yang gagah dan berotot sama sekali tak terlihat terbebani ketika menggendong tubuhku yang kecil berisi.
Dari tangga hingga Pos Security lantai dasar banyak orang melihatnya penuh dengan tanda tanya, tak jarang mereka membisikkan kata-kata hinaan yang jelas terdengar ditelingaku. Aku yang sedari tadi membenamkan wajahku di dada Mas Sony merasa sangat malu dan terus meneteskan air mata.
“Tidak usah di dengar, Dek, mereka tidak tahu apa yang terjadi," ucapnya menenangkanku,
Aku hanya teerdiam...
Sesampainya di dalam Pos Security, dia menurunkanku di kursi panjang bagian dalam.
"Di minum dulu Dek, pelan-pelan." Mas Sony memberiku segelas air dan menemaniku duduk sebentar.
"Kakinya yang sakit mana, Dek? Biar Mas olesi krim
"Yang ini, Mas," ucapku sambil menunjuk mata kaki sebelah kiri yang sakit.
"Coba sini," dia berjongkok melepas kaos kakiku.
"Mas, aku bisa sendiri." Aku bergeser agak menjauhkan posisiku denvan Mas Sony.
"Nggak apa-apa, Dek," dengan tlatennya ia mengolesi krim pereda nyeri di kakiku.
"Sudah, Dek," ujjar Mad Sony. Ia beranjak berdiri. Namun, matanya masih terfokus padaku
"Sekarang istirahat, ya? Kamu di sini sendirian nggak apa-apa, kan? Mas mau jaga di depan situ aja kok, Dek. nggak enak kalau nanti di lihat orang berduaan di sini." menunjuk pintu keluar di halaman hotel.
“Iya Mas, nggak masalah kok.” Kuraih tangannya untuk sekadar menggenggamnya agar aku lebih tenang
“Terima kasih, ya, Mas, sudah menolongku, terima kasih juga sudah selalu ada, ketika aku membutuhkan pertolongan.” Aku membeberanikan diri menatapnya...
Mas Sony mengangguk tersenyum kecil. “Sama-sama, Dek, selama aku di sampingmu, Mas akan berusaha menjaga dan melindungimu, Mas janji.” Mas Sony menepuk pelan punggung tanganku.
Ucapannya seketika membuatku berpikir, apa sebenarnya perasaan yang dimiliki Mas Sony terhadapku?
bersambung.....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Bunda Naa
Untung aja Mamas Sony datang tepat waktu😍😍 , kalau tidak adek bakal sedih😢😢
2021-05-17
1
anonymous
❤️
2021-04-16
1