“Dek, maafin Mas, ya, karena belum bisa menyelesaikan masalah ini. Tapi Mas janji, Mas akan pastikan Pak Herman menerima balasannya," ujar Mas Sony sambil menekan tombol nomor satu di lift.
“Mas, aku rasa ini semua tidak perlu. Aku merasa aku sudah menyusahkan banyak orang termasuk Mas Sony. Aku tidak mau menjadi beban untuk siapa pun Mas. Dan aku juga capek memikirkan masalah ini, sedangkan aku sendiri belum bisa melupakan peristiwa itu. Aku lelah Mas.” Pandanganku kosong , aku menyenderkan tubuhku di pojok lift hingga tak terasa bulir air mataku jatuh.
“Dek, Jangan sedih, ya, kamu yang sabar. Mas lakukan ini semua karena Mas tidak mau kamu dilecehkan lagi. Supaya Pak Herman juga jera. Ya, meskipun belum berhasil meyakinkan Bu Anita, tapi Mas akan berusaha terus, Dek. Mas benar-benar tidak rela kamu disentuh tangan kotornya, kalau sampai dia lolos begitu saja dan memang tidak mendapat sanksi dari sini, Mas yang akan turun tangan sendiri.”
“Tapi Mas, apa kata-kata Mas Sony tadi serius?”
“Kata-kata yang mana, Dek?” penasaran.
“Mas bilang, Mas akan mengundurkan diri dan berhenti bekerja kalau Pak Herman juga di berhentikan. Apa itu benar?” Aku berharap ini tidak akan terjadi.
“Ya tentu saja, Dek, sekali Mas berkata sesuatu, insyaallah Mas pasti akan lakukan," terang Mas Sony.
Lagi-lagi air mataku menetes tak bisa kubayangkan jika Mas Sony benar- benar resign.
“Mas, bisakah Mas jangan bicara seperti itu? Jujur aku tidak mau Mas Sony pergi. Kita akhiri saja masalah ini, Mas, seperti kata Bu Anita tadi. Kita anggap selesai semuanya seolah tak terjadi apa-apa," pintaku sendu menahan tangis.
“Dek, percayalah di mana pun Mas berada kamu pasti akan baik-baik saja. Mas akan tetap melindungi kamu. Jadi kamu tidak usah khawatir. Mas tidak perlu ada di sampingmu dua puluh empat jam untuk memastikan kamu aman. Oke? Jadi jangan pernah berpikir Mas akan pergi dan membiarkanmu begitu saja. Itu tidak akan terjadi," jelas Mas Sony sambil mengusap air mataku.
Lift terbuka, aku berjalan tanpa sepatah kata pun. Tenggorokanku terasa tercekat tak bisa berkata apa pun. Mas Sony mengantarku kembali ke kantor HK, dan disambut beberapa orang di dalamnya yang kaget melihatku dengan mata basa memerah.
“Kenapa Van?” tanya Dina.
Aku hanya menggelengkan kepala tanpa menjawab pertanyaan Dina. Mungkin semua yang berada di kantor sangat penasaran dengan apa yang sebenarnya terjadi. Aku memilih diam dan duduk di kursi paling ujung.
Ya Allah apa yang harus aku lakukan, di sisi lain aku takut dengan Pak Herman jika dia tidak diberi efek jera, pasti akan sangat menyakitkan kalau sewaktu-waktu bertemu, tapi aku juga tidak ingin berlarut-larut dalam masalah ini apalagi Mas Sony rela berkorban kehilangan pekerjaannya demi aku.
***
Aku melepas sepatu hak tinggi berwarna hitam yang melekat di kakiku dan menaruhnya di rak sepatu depan pintu kamar, dan juga menggantung sling bag tepat di dekat meja rias yang berada di pojok kamar.
Aku merebahkan tubuhku di tepi kasur kecil yang menghadap ke jendela. Aku lelah, setelah seharian bergelut dengan segala masalah, aku meratapi semua kejadian yang terjadi akhir-akhir ini. Mulai dari Pak Herman, Ega, dan sekarang Bu Anita. Rasanya seperti ingin pergi jauh dari semua ini. Namun aku harus meneruskan hidup, sekarang ini aku masih bergantung pada orang tua. Apa mungkin aku akan seenaknya mengecewakan mereka. Apa yang harus aku lakukan? Aku benar-benar buntu.
" Halo assalammualaikum ... " sapaku ketika mengangkat telepon dari Mas Sony.
"Waalaikumsalam, Mas ganggu nggak, Dek? Lagi ngapain?"
"Gak kok, Mas, lagi rebahan aja, ada apa?"
"Mas cuma mau memastikan, kamu baik-baik aja, kan? Jangan murung terus seperti tadi, ya. Sedih itu boleh, Dek, tapi tidak boleh berlarut-larut, nggak baik. Biasanya Mas lihat kamu tersenyum, ceria. Tapi hari ini Mas sama sekali tidak melihat senyummu, bahkan untuk berbicara saja rasanya seperti enggan."
"Aku nggak apa-apa, Mas, hanya saja aku sedikit pusing memikirkan masalah yang bertubi-tubi. Rasanya ingin pergi jauh saja." Aku mendudukkan diriku di tepi kasur.
"Tidak boleh seperti itu, Dek, Allah memberikan kita masalah karena Allah yakin kita bisa menghadapinya. Dan Allah juga pasti akan memberi jalan keluar, tinggal bagaimana kita mencari jalannya. Kamu harus kuat, dan bersikaplah seperti biasa, Dek. Tunjukkan ke semua orang kalau kamu wanita yang kuat, bukan wanita yang lemah."
"Iya, Mas, aku akan berusaha. Tapi apa yang harus aku lakukan, Mas? Aku benar-benar buntu dan tidak bisa berpikir," ucapku sambil berjalan menuju ke arah jendela, dan memandangi alam yang begitu damai.
"Sekarang kamu mandi, Dek, salat. Terus, Mas akan jemput kamu jam setengah lima, ya. Biar Adik gak jenuh, gak pusing, kita jalan-jalan."
"Memangnya mau ke mana, Mas?" tanyaku penasaran karena baru pertama kali Mas Sony mengajakku keluar.
"Terserah Adek maunya ke mana, Mas siap antar. Yang penting kamu tidak sedih lagi. Gimana? Mau nggak?"
"Oke Mas, aku mau. Ya sudah kalau begitu aku mandi dulu, ya, assalammualaikum.”
"Waalaikumsalam ... "
***
Kaos hitam polos dibalut dengan cardigan berwarna abu muda, di dipadukan dengan celana panjang hitam cukup ketat membuatku tampak lebih dewasa.
Tak lupa, aku memoleskan make up tipis dan mengikat rambutku ke atas. Terdengar suara motor Mas Sony berhenti di depan kost, aku segera keluar menemuinya. Dia berdiri dengan gagahnya di depan pintu, belum sempat dia ketik pintu sudah kubuka lebar-lebar.
“Assalammualaikum, Dek,” sapa Mas Sony yang berada tak jauh dari pintu kost tampak gagah mengenakan jaket jeans.
“Wa’alaikumsalam, Mas, yuk berangkat!” ajakku dengan semangat.
“Sini Mas Pakaikan helm dulu, Dek." Mas Sony mengambil helm dari motornya dan berniat memakaikannya ke kepalaku.
“Aku bisa pakai sendiri, Mas, terima kasih." Aku tersenyum merebut helmnya dan memakainya sendiri.
“Sudah, Mas, yuk!"
“Tunggu, Dek,” mendekat dan mengunci helmku yang sudah kupakai karena aku lupa meng-kliknya.
“Kalau pakai helm, jangan lupa dikunci, ya, biar aman.”
Fokus Mas Sony menunduk membenarkan helm.
Tinggiku yang hanya sejajar dengan lehernya membuatku terfokus pada bibir merahnya yang begitu indah.
Stop Van, mikir apa sih aku ini. Aku menarik nafas panjang dan menggigit bibir bawahku karena kedekatan ini membuatku sangat gerogi dan tak berani menatap matanya.
***
Sore ini langit sangat cerah, tak seperti biasanya yang selalu menjatuhkan airnya. Kendaraan lalu lalang lumayan padat karena sudah saatnya jam pulang kerja setelah seharian mereka berkutat di tempat kerjanya masing-masing.
"Dek, kamu mau ke alun-alun? Malioboro atau ke pasar malam?" tanya Mas Sony menawarkan beberapa tempat yang menarik di kota Yogyakarta ketika berhenti di lampu merah.
"Ehmmm ... aku pengen ke pasar malam aja Mas. Malioboro dan alon-alon, sudah sering kudatangi. Kalau pasar malam kan hanya musiman, jadi aku juga belum pernah ke sana."
"Baiklah Tuan Putri, Kanda siap mengantarmu," ucapnya melirikku ke belakang, pipiku mulai menghangat karena tersipu.
"Diih apaan sih, Mas!" Aku berpura-pura mengelaknya karena Mas Sony menyebutku tuan putri, padahal di hati sangat berbunga-bunga.
Suara keramaian pasar malam mulai terdengar meskipun tak sepadat pengunjung malam, namun tetap saja untuk memasukinya harus berdesakan satu sama lain. Pasar malam di Yogyakarta memang hanya ada setahun sekali, jadi wajar jika pengunjung sangat antusias menyambutnya.
"Dek, ini masih sore saja sudah sangat rame, apalagi nanti malam. Kita ke tempat lain aja gimana?"
"Nggak Mas, aku maunya di sini. Aku suka hiburan yang rame seperti ini. Nanti aku mau naik wahana ya, Mas Sony ikut juga sama aku. Oke?” Rengekku seperti anak kecil yang meminta mainan, aku begitu senang melihat suasana ini, seakan beban masalahku hilang seketika.
"Adik seneng banget, ya, sepertinya? Dek, itu boleh di lepas saja nggak?” menunjuk ikatan rambutku dengan alis dan dagunya.
“Apanya, Mas?” tanyaku bingung mengernyitkan dahi.
“Itu, Dek, ikatan rambutmu. Sebaiknya jangan terbuka begitu, lehernya kelihatan.” Tanpa menunggu jawaban, Mas Sony langsung melepas tali rambutku dengan lembut.
“Memangnya kenapa Mas kalau leherku terlihat? Sejuk tahu kalau kena angin,” tanyaku penasaran.
“Nggak apa-apa, Dek, sayang aja kalau dilihat orang lain. He he ....” Mas Sony tersenyum hingga bibirnya terlihat menggemaskan.
“Ada-ada aja sih, Mas.”
Masa sampek leher di lihat orang saja nggak boleh sih. Dia cemburukah? Atau dia nggak sanggup melihat leherku ini? Ha ha ha
"Dek, sebenarnya Mas agak keberatan loh kalau kamu berada di sini, Mas takut nanti kalau berdesakan dan di senggol-senggol lelaki lain," tukasnya sambil berjalan perlahan.
"Mas itu bukan suatu masalah besar loh. Wajar kalau di sini senggolan, lagian nggak sengaja, Mas. Namanya juga tempat rame, wajar, kan? Aku udah seneng banget di sini masa mau pindah tempat sih, Mas?" Aku cemberut memonyongkan bibir.
"Baiklah, Mas tidak akan membiarkan satu orang pun menyentuhmu," kata Mas Sony yang terkesan berlebihan.
"Terserah Mas saja," ucapku sambil berjalan tanpa melihat ke depan.
Aku sibuk melihat pemandangan sekitar. Hampir saja aku tertabrak seseorang di depanku, dengan sigapnya Mas Sony menarikku mundur, seketika aku membalikkan badanku, hanya berjarak satu jengkal dengan dada Mas Sony. "Sangat sempurna," kataku lirih, tetapi masih terdengar jelas ditelinga Mas Sony.
Ya Tuhan ... mulut macam apa ini. Mengeluarkan kata-kata yang sangat tidak sopan di depan lelaki sempurna ini.
"Apa yang sempurna, Dek?" tanyanya menggoda.
“Itu Mas, wahananya sangat sempurna," jawabku gugup memutar bola mata ke kanan dan ke kiri.
“Oohh ... aku kira, yang sempurna di depanmu, Dek. Mas sudah kepedean loh.” Mas Sony pura-pura cemberut lalu tersenyum kecil padaku.
Tanpa lelah Mas Sony berjalan dengan menggiringku dari belakang agar aku terhindar dari sentuhan lelaki, katanya.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Devi Handayani
waduhh dah posesif ya abang ganteng😍😍😍😍😍
2022-11-06
0
Uyun N
wahh.. bisa saja si anita d sogok sama si herman,, atau mungkinnn si anita d bujuk sama si kampret, di iming2 buat jdi kekasih nya,, kan si anita jomblo
wajar kan aku nebak kek gtu?
sumpah ya , sesak,sakit hati, kcewa sama tanggapan ny anita
2021-11-17
2