“Coba kamu cek dulu Son,” Pak Anton menggeser laptop ke arah Mas Sony dan memberikan amplop coklat yang aku tak tahu apa isinya.
“Baik Pak, terima kasih. “Mas Sony membuka file di laptop yang berupa potongan rekaman CCTV lalu menyalinnya di Flash disk.
“Dek, ini akan menjadi bukti agar Pak Herman Bisa secepatnya bertanggung jawab atas kesalahannya.
Aku masih bingung dan tidak mengerti, kenapa Mas Sony begitu serius menyelesaikan masalah ini. Apa serumit itu? Hal seperti ini sampai harus beberapa orang yang tahu, atau jangan-jangan sudah malah sudah menyebar? Sungguh memalukan. Aku takut orang akan berpikir aku wanita yang suka menggoda laki-laki karena ada yang berniat memperkosaku.
“Tapi Mas, aku masih bingung kenapa harus ada bukti dan kenapa semua ini dicatat rinci?” tanyaku sambil membaca kertas dari isi amplop coklat tersebut.
“Jadi Dek, kemarin itu Mas sudah lapor ke HRD tapi ternyata Pak Herman sudah lebih dulu menemui Bu Anita dan dia mengarang cerita seolah-olah kita berbuat zina di tangga darurat. Dia memutar balikkan fakta. Dan parahnya lagi Bu Anita percaya dengan pernyataan Pak Herman. Dan kenapa di catat, ya memang kita harus mendata semuanya, agar lebih mempermudah laporannya.” jelas Mas Sony.
“Apa?! Kok bisa-bisanya sih Mas. Dia yang berbuat salah tapi malah memfitnah kita. Kenapa dia jahat sekali, sama sekali tidak punya hati.” Aku sangat kaget dan emosi mendengar penjelasan Mas Sony soal Pak Herman yang begitu keterlaluan.
“Sabar Dek, sebentar lagi dia akan menerima hukuman atas perbuatannya. Mas tidak akan membiarkannya lolos begitu saja. Sekarang kita ke HRD ya, sudah siap bertemu Bu Anita?”
“Ya, aku sangat siap Mas,” tak menunggu lama, aku langsung berdiri membawa amplop coklat.
Aku dan Mas Sony bersiap menuju kantor HRD untuk menemui Bu Anita. Harapanku semoga masalah ini cepat selesai dan Pak Herman mendapat balasannya.
“Terima kasih banyak Pak atas bantuannya, maaf sudah sangat merepotkan Bapak.” Ucapku berpamitan.
“Santai saja Van, saya tidak merasa direpotkan sama sekali, sudah kewajiban saya membela yang tidak bersalah. San pesan saya, lain kali kalau kalian mau bermesraan jangan di area hotel ya, ha ha ha.” Pesan Pak Anton sangat membuatku salah tingkah dan malu, lagi pula aku tidak pernah bermesraan dengan Mas Sony. Hanya saja kami memang sering jalan berdua sih.”
“Kalau begitu kami ke atas dulu Pak, terima kasih.” Ucap Mas Sony.
***
“Selamat siang.” Sapa Mas Sony setelah mengetuk pintu kantor HRD.
“Masuk.” Bu Anita mempersilahkan kami untuk masuk.
“Mas, aku takut. Sepertinya Bu Anita akan marah. Wajah galaknya sudah mulai kelihatan.” Aku berbisik di belakang Mas Sony.
“Tenang Dek, ada Mas. Tidak perlu takut. Adik nanti bicaranya kalau pas ditanya saja. Sisanya nanti cukup diam ya, biar Mas yang berbicara. Oke?!”
AC yang begitu dingin membuatku semakin membeku, tidak berani menatap mata galaknya Bu Anita. Menunduk dan terus diam adalah jurus andalanku agar terhindar dari mulut ganasnya.
“Langsung saja ya Bu, kedatangan kami kemari untuk menerangkan masalah kemarin. Berikut catatan kejadian lengkap dengan jamnya. Dan ini bukti rekaman CCTV yang saya dapat dari Manager Security, saya harap Bu Anita bisa melihatnya dengan sangat teliti agar bisa menyimpulkan pergerakannya.” Menyodorkan flash disk ke meja kerja Bu Anita.
“Tunggu sebentar, kamu yang bernama Vania kan? Bisa dijelaskan apa yang terjadi pada malam itu?”
“Maaf Bu, sebelum kami jelaskan sebaiknya mungkin dilihat dulu videonya. Jadi Ibu tahu mana yang perlu dibahas dan ditanyakan.” Saut Mas Sony sebelum aku menjawab pertanyaan Bu Anita. Aku benar-benar gugup menghadapi situasi seperti ini.
“Baik, saya akan melihatnya.” Jawabnya singkat.
Dengan kacamata yang dikenakannya dia melihat video itu dengan sangat teliti. Namun wajahnya tak menggambarkan dia puas dengan bukti tersebut. Datar, ya itulah ekspresinya.
“Dari sini saya sudah bisa menyimpulkan jika Pak Herman memang bersalah, terlihat dia mengejar Vania dari kamar menuju tangga darurat. Namun kita tidak tahu apa yang dilakukannya karena di kamar dan di tangga tidak ada CCTV. Jadi kita tetap tidak bisa hanya melihat bukti yang hanya sepotong.” Ucap Bu Anita yang terkesan tak peduli.
“Coba sekali lagi perhatikan jamnya Bu, bisakah Anda bersikap profesional?” Terlihat Mas Sony menahan emosinya.
Baru satu kalimat Mas Sony berbicara sudah di sambung lagi oleh Bu Anita .
“Dan setelah itu kamu datang seolah-olah menyelamatkan Vania. Saya pun juga tidak tahu apa yang kalian lakukan setelah Pak Herman pergi, apa lagi dengan posisi kamu menggendong Vania dari tangga.”
“Apa Anda tidak memperhatikan video itu? Padahal sudah sangat jelas kapan Pak Herman mengejar Vania, dan kapan saya berada dI lantai empat, durasi saya berada di tangga hanya kurang dari satu menit, itu pun sudah terpotong ketika saya memergoki Pak Herman. Kenapa masih terus menuduh kami berzina? Dari mana Anda bisa berpikir hal yang sangat tidak masuk akal itu.”
“Loh, apa ada yang salah dengan yang saya katakan? Saya menyalahkan Pak Herman karena mengejar Vania dari kamar ke tangga, Tapi saya juga bertanya-tanya apa yang kalian lakukan setelah Pak Herman pergi. Wajar jika saya berkata kalian melakukan sesuatu karena meskipun waktu hanya kurang dari satu menit. Itu sudah ada kesempatan untuk seseorang melakukan zina. Dia bersikeras mencari celah kesalahan kami.
Mas Sony yang tadinya duduk tegap akhirnya bersender dan melemparkan senyum benci yang berusaha menunjukkan kekesalannya.
“Maaf Bu, boleh saya minta kesempatan untuk berbicara? Saya ingin menjelaskan secara detail sebelum Bu Anita menuduh kami. Apa Bu Anita bersedia mendengarkan?”
“Apa yang mau kamu bicarakan?”
Aku memberanikan diri untuk berbicara dengan Bu Anita meskipun dipenuhi rasa takut, gugup dan sangat cemas. Tanganku meremas satu sama lain, semakin dingin dan semakin membuatku sulit untuk berpikir menyusun kalimat.
“Jujur sebenarnya saya sangat berat membahas masalah ini Bu, saya benar-benar tertekan. Baru saja mengalami kejadian yang tidak enak, sekarang saya sudah dipaksa untuk menghadapi situasi sulit seperti ini, tapi saya juga akan lebih terbebani jika masalah ini tidak akan cepat selesai. Saya berharap Bu Anita percaya dengan apa yang saya katakan, dan saya juga tidak mungkin berbohong Bu, tidak ada untungnya buat saya. Pelecehan yang saya alami bukanlah sesuatu yang bisa dengan mudah saya lupakan. Terus terang saya tidak terima jika Bu Anita memfitnah saya dan Mas Sony sedangkan di sini yang bersalah adalah Pak Herman, dia sudah melecehkan saya, mencoba memper- kosa, sa- ya...” ucapku terbata-bata sulit untuk meneruskan kalimat yang menyakitkan itu. Tenggorokan serasa tertelan tulang hingga tak bisa menelan. Bernafas saja rasanya sangat sesak di dada.
“Cukup Dek, tenang ya ...” ucap Mas Sony pelan yang duduk di sebelahku sambil menepuk pelan punggung tanganku.
“Dengan bukti yang sudah sangat jelas dan sudah ada korban di sini, Anda masih tidak bisa percaya dengan penjelasan kami, apa yang sebenarnya Anda inginkan? Kenapa tidak bisa melihat mana yang benar dan mana yang salah?” emosi Mas Sony mulai tidak bisa terkontrol.
“Sudahlah, masalah ini terlalu berlebihan untuk dibesar-besarkan. Saya tidak punya waktu untuk mengurusi sesuatu yang tidak penting. Begini saja, daripada kalian terus-terusan membahas masalah ini dan menyita waktu saya, sebaiknya sudahi saja. Dan saya tidak akan memberikan sanksi kepada kalian ataupun Pak Herman. Lagipula kalaupun Vania hanya dilecehkan buat apa diperbesar, belum sampai di perkosa kan?! Sudah ya, masalah selesai sampai di sini. Dengan entengnya Bu Anita bilang hanya dilecehkan, belum sampai diperkosa sedangkan buatku itu sudah sangat merugikan dan membuatku trauma.
“Loh tidak bisa begitu dong Bu enteng sekali Anda mengatakan itu 'hanya' sepele, seharusnya Anda bersikap tegas. Karyawan ataupun anak magang di hotel ini harus dilindungi dan wajib memperoleh keselamatan, termasuk wanita. Apa jadinya kalau Anda mengabaikan kasus seperti ini, yang ada korban akan bertambah banyak. Dan kalau Pak Herman lolos begitu saja tidak diberi sanksi jera, dia akan semakin leluasa bertindak seenaknya terhadap anak magang. Mana hati nurani ibu sebagai perempuan? Apa Anda tidak punya rasa kasihan? Tidak sepantasnya Anda duduk di sini jika sikap Anda saja tidak berperikemanusiaan. ”
“Jaga bicara kamu ya. Saya bisa memberikan SP kapan pun saya mau karena sudah kurang ajar terhadap saya.” Bu Anita berkata dengan nada tinggi.
“Oh, silakan Bu. Jangankan hanya Surat Peringatan, jika saya harus mengundurkan diri pun dengan senang hati saya bersedia. Asal Anda juga melakukan Pemutusan Hak Kerja terhadap Pak Herman. Bagaimana, apa Anda bisa?” sahut Mas Sony dengan ancaman yang bagiku sangat berat. Aku tidak bisa membayangkan jika Mas Sony tidak bekerja lagi di sini. Pasti akan sangat hampa.
Bu Anita seperti mengabaikan ucapan Mas Sony, dia hanya sibuk menulis dan seperti tidak peduli apa yang didengar. Sebelumnya, aku tidak pernah sama sekali melihat Mas Sony semarah ini. Apalagi dengan perempuan. Biasanya dia begitu sopan dan lembut. Aku tak tahu kenapa dia begitu membelaku, mungkin dia kasihan atau memang dia membenci Pak Herman.
“Mas sudah sebaiknya kita pergi dari sini. Percuma saja, buat apa kalau kita tidak dianggap.” Ucapku sambil menunduk dan menghapus air mata.
“Bu Anita yang terhormat, ini terakhir kalinya saya meminta, mohon kasus ini diproses sesegera mungkin saya tunggu kabar sanksi untuk Pak Herman. Dan jika sampai besok belum ada keputusan, jangan salahkan saya jika kasus ini sampai ke telinga General Manager. Terima kasih, selamat siang.’’ Beranjak dari kursi dan meninggalkan ruangan tersebut tanpa menunggu jawaban Bu Anita.
“Permisi Bu.” Pamitku singkat.
Bersambung....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Devi Handayani
mantaaf....cerita yg seperti ini yg aku inginkan👍👍😍😍
2022-11-06
1
Tysa Nuarista
bagus hlo kak ceritannya...
2022-01-31
1