Mentari pagi sudah mulai menampakkan sinarnya dibalik jendela kamarku. Hampir semalaman aku tidak bisa memejamkan mata karena badan menggigil kedinginan, dan sepertinya aku demam gara-gara aku mandi terlalu lama semalam. Kepalaku juga sakit, rasanya berat sekali untuk berdiri.
Tok...tok..tok...
"Van, sudah bangun belum? Boleh aku masuk?" Suara Dina mengetuk pintu kamarku.
"Masuk saja Din, pintu tidak dikunci kok." aku terbangun dari tidurku yang hanya satu jam diatas sajadah.
"Van, kaki kamu bagaimana? Sudah mendingan belum? Ini aku bawa teh hangat, minum gih." Tanya Dina sambil menyodorkan gelas berisi teh.
"Sudah sembuh sih kakinya, tapi malah badanku menggigil, kepalaku juga pusing banget Din, perutku juga sepertinya asam lambungku naik."
"Aku mau keluar beli sarapan, kamu makan apa?"
"Enggak deh Din, aku sama sekali tidak merasa lapar."
"Ya ampun. Udah deh Van, jangan pake drama. Kalo kamu tidak makan tambah sakit nanti repot, katanya asam lambung naik, ya harus makan dong."
"Beneran Van, aku lagi nggak mood."
"Ya sudah kalau begitu aku pergi dulu ya, tehnya jangan lupa diminum."
Aku bergegas mandi setelah menyiapkan air panas. Dan setelah beberapa menit Dina pergi, dia kembali lagi dengan heboh mengetuk pintu kamar mandi.
Tok..tok..tok..
"Van...! Vania?!" Teriak Dina sambil mengetuk pintu cukup keras.
"Apa sih Din? Aku lagi mandi." Jawabku sewot karena suaranya yang keras sangat mengganggu telingaku.
"Cepetan keluar. Ditungguin ini."
"Din, aku kan sudah bilang. Aku tidak mau sarapan. Kamu makan saja sendiri." Ucapku sambil melilitkan handuk ke badanku.
"Cepat Van,. Ya Allah!" Keluh Dina sambil terus mengetuk pintu.
"Kenapa sih Din berisik banget," ucapku sambil membuka pintu kamar mandi dengan hanya berbalut handuk putih.
Duaaarrrr
Aku menutup pintu keras setelah tadi sempat membukanya, ada sepasang mata yang tidak sengaja melihatku dari kursi depan kamarku yang tak jauh dari kamar mandi. Aku pun terkejut kenapa tiba-tiba ada Mas Sony di sini.
Ya ampun, apa tadi dia sempat melihatku? meskipun dia langsung membuang muka ke samping kanan. Jantungku hampir lepas melihat keberadaannya di depan mataku, apalagi aku hanya mengenakan handuk yang hanya menutupi bagian dada sampai paha.
Dina yang sedari tadi diam kembali berteriak. "Aku ambilkan baju dulu ya Van, tunggu."
Lagian kenapa Dina tidak bilang sih kalo ada Mas Sony. Tapi kenapa pagi-pagi buta Mas Sony kesini ya, apa dia cuma mau menjengukku? Atau dia cuma mampir sebelum berangkat ke Hotel? Eh sepertinya tidak, dia saja tidak memakai seragam. Dia mengenakan celana jeans panjang, kemeja hitam dan bersepatu sport. Ya Allah baru kali ini aku melihat Mas Sony sekeren itu. Biasanya memang keren, tapi kali ini tanpa melekat seragam dibadannya. Otak liarku mulai nakal membayangkan ketampanannya dan badannya yang gagah. Tubuh itu ... aku pernah merasakan hangat pelukannya.
Tok..tok... "Van ... ! Nih bajunya."
Suara Dina membuyarkan lamunanku, aku membuka pintu sedikit meraih baju yang dibawa Dina.
"Yaahhh kenapa harus ini sih Din, astaga!" Ucapku menggerutu karena Dina memberikan baju dress pendek warna biru yang cukup ketat menjiplak tubuhku.
"Yaelah Van sama aja. Asal ambil tadi. Yang penting bisa dipake."
Aku keluar melihat Mas Sony yang memalingkan wajahnya ke arah lain, sedikit pun tak berani melihat ke arahku.
"Mas sebentar ya, aku ganti baju dulu." Aku gugup dan berjalan dengan cepat.
"Pelan-pelan kenapa Van, licin itu."
Braaakkkkk
"Auuwwwww....."
"Tuh kan, baru aja mingkem nih mulut. Suruh pelan-pelan juga." Teriak Dina menyalahkanku.
"Dek, kamu tidak apa-apa? Perlu bantuan?" Ucap Mas Sony tanpa melihatku. Dia berpaling ke arah lain agar tidak melihatku.
"Tidak Mas, aku baik-baik saja." Jawabku.
"Din, ya Allah pantatku sakit ... bantuin berdiri." Ucapku berbisik pada Dina. Sungguh memalukan kalau sampai Mas Sony melihatku berbaju minim seperti ini. Untung dia bukan tipe lelaki mesum. Sepertinya dia sangat menjaga matanya. Manis sekali Mas Sony ini Ya Allah.
Kaos berwarna merahpolos dan rok jeans panjang kupilih untuk mengganti pakaianku yang seksi itu. Cukup sopan bagiku meskipun aku belum berjilbab setidaknya aku punya rasa malu untuk memakai baju minim dan seksi.
"Mas, kok pagi-pagi sudah kesini? Ada apa?" Tanyaku sambil duduk disebelahnya.
"Maaf ya Dek ganggu kamu pagi-pagi. Mas cuma mau antar ini, semalam lupa." Sambil menyodorkan paperbag berisi tas kerjaku, dan celana pendek yang terlepas ketika kejadian di tangga malam itu. Eh tapi kenapa celana pendekku bisa ada di Mas Sony juga ya. Seketika aku mengerutkan alisku, berpikir dan mencoba mengingatnya,
"Mas, kenapa kok bisa ada? ... " aku menatap heran dan tidak meneruskan pertanyaanku. Sungguh sangat memalukan. Bisa-bisanya celana pendek dalemanku dipegang Mas Sony.
"Kemarin tertinggal di Pos Dek, waktu mau menaiki motor kamu cuma bawa sepatu dan ponsel saja, dan Mas juga lupa mengingatkan."
"Oh ya, maaf ya Mas jadi merepotkan. seharusnya di buang saja Mas, aku juga tidak akan memakainya lagi, bajuku saja sudah ku buang kemarin." ucapku sedikit sedih mengingat hal itu.
"Dek, wajah kamu kenapa pucat? Kamu sakit?"
"Enggak kok Mas, aku baik-baik saja."
Dia memegang dahiku dengan punggung tangannya. Aku benar-benar akan membeku sepertinya kalau terus-terusan dekat dengan Mas Sony, pandangannya sangat dalam seperti menusuk jantungku. Mana wajahnya tenang banget, jadi lupa semua masalah hidup kalau melihatnya.
"Dek, panas banget loh ini. Mas antar ke klinik ya?."
"Tidak usah Mas, nanti aku minum obat warung juga mendingan kok. Aku tidak mau merepotkan Mas Sony terus."
“Mas tidak mau kamu sakit, meskipun kamu berusaha berpura-pura biar terlihat seperti orang yang sehat, tapi tetap saja kamu itu demam Dek.”
“Aku pengen istirahat saja Mas, tidak mau pergi ke mana-mana.”
"Mas tidak akan pergi dari sini kalau kamu tidak mau Mas antar ke klinik."
"Tapi Mas Sony kan harus kerja?!"
"Mas masuk sift sore Dek, jadi masih banyak waktu buat nemenin kamu."
"Ya sudah kalau begitu Mas, aku siap-siap dulu."
***
Sepulangnya dari klinik Mas Sony memberhentikan motornya tepat di depan warung bubur ayam.
"Dek makan dulu ya? kamu belum makan kan?"
"Mas, aku lagi enggak pengen makan. Lagian perut rasanya tidak enak, mual."
"Ya sudah kalau begitu dibungkus saja ya?"
Aku mengangguk pelan mengiyakan tawarannya, meskipun sebenarnya aku tidak berselera untuk makan.
"Pak, bungkus satu ya. Jangan pedas."
"Loh tumben tidak pedas Mas, biasanya sambal minta banyak." Ucap pedagang bubur ayam, yang ternyata langganan Mas Sony.
"Buat dia kok Pak," jawab Mas Sony melihat ke arahku yang duduk di kursi belakang tak jauh dari gerobak berwarna biru muda itu.
"Oalah itu istrinya Mas Sony? Cantik ya.," ucap pak penjual bubur ayam sambil melirik ke arahku dan meneruskan kegiatannya menaburkan ayam di atas kotak foam berisi bubur.
"Iya Pak, dia memang cantik, tapi sayangnya belum menjadi istri. Hehe.”
Astaga! Aku hampir saja terbang mendengar kalimat itu.
"Hahaha ... Mas Sony ini bisa saja, ya sudah saya doakan semoga hubungannya langgeng sampai pernikahan ya Mas."
"Amin , Amin, terima kasih Pak." Saut Mas Sony dengan semangat.
Aku yang sedari tadi mendengar obrolan mereka hanya menahan senyum bahagia. Aku dikira istrinya? membayangkannya saja aku sudah seperti terbang di awang-awang. Mungkin jika itu betul-betul terjadi aku pasti menjadi wanita paling bahagia di jadikan istri seorang lelaki yang sangat tampan dan sholeh ini. Apalagi tadi aku juga mendengar Mas Sony dengan semangat mengaminkan doa bapak penjual bubur ayam. Manis sekali kamu Mas ...
Apa benar dia berniat menikahiku? Ah aku berpikir terlalu jauh, sekolah saja belum selesai sudah memikirkan nikah. Aku terkekeh sendiri, geli dengan jalan pikiranku yang sangat hobi berkhayal.
"Ayo Dek," ajak Mas Sony yang tiba-tiba sudah berada di depanku.
"Eh, iya Mas, sudah? Kok cuma satu? Buat Mas Sony mana?" Tanyaku menghilangkan rasa gugup karena berkhayal tentangnya.
"Mas nanti saja Dek. Ngelamunin apa sih Dek sampai senyum-senyum sendiri tadi Mas lihat." Goda Mas Sony semakin membuatku malu.
"Hmmm ,,, enggak kok Mas. Bukan apa-apa. Hehe ..."
Setibanya di kos, aku dan Mas Sony duduk di ruang tengah, di sana ada Widya yang sedang sarapan dan Dina bersiap memakai sepatu hak tingginya, mereka kebetulan mendapat sift pagi. Kiki masih dikamarnya, mungkin dia tidur karena mendapat jadwal sift siang.
"Aku ke kamar ah Din, nafsu makanku hilang kalo di sini terus." Ucap Widya seperti sedang menyindir keberadaanku dan Mas Sony. Ah aku sama sekali tak peduli jika dia semakin membenciku, toh dia juga tidak menganggapku teman kan,
"Dek, dimakan, nanti dingin enggak enak, harus habis lho ya.” Ucap Mas Sony sambil mengeluarkan bubur ayam dari kantong plastik.
“Iya Mas,” jawabku tersenyum.
Seperempat porsi aku sudah berhasil menelannya, meskipun perut rasanya tidak karuan, bahkan aku menahan rasa mual hingga mataku berkaca-kaca, dan lagi kepalaku semakin pusing cenut-cenut. Kenapa harus sekarang sih sakitnya, padahal aku sedang ingin menikmati momen bersama Mas Sony.
“Mas, sudah, maaf aku tidak bisa menghabiskannya.” Ucapku sambil berdiri dan berlari ke kamar mandi.
“Huuweekkk...” aku benar-benar tidak bisa menahannya. Badan terasa sangat lemas dan dada berdegup kencang, seperti mau pingsan rasanya.
“Dek, kamu muntah?” tanya Mas Sony yang sudah di belakangku.
“Mas jangan masuk, jangan kesini.” Terang saja aku malu, kan jorok banget kalo Mas Sony sampai melihat aku muntah.
“Iya, Mas Sony tidak masuk kok. Tapi kamu baik-baik saja kan?”
Aku keluar kamar mandi dengan pandangan sangat gelap, kepalaku pusing tak tertahan. Tubuhku lemas tak berdaya dan akhirnya aku jatuh di pelukan Mas Sony, setelah itu aku tak sadarkan diri karena pingsan.
Bersambung...
jangan lupa ninggal jejak ya sayang❤❤😘😘terimakasih
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Devi Handayani
lanjut kaa😁😁
2022-11-06
0
El_Tien
semangat kakak
2022-01-07
0