Selama hampir satu jam aku dan Mas Sony berada di tempat itu, hingga suara adzan maghrib terdengar begitu merdu di telinga. Mas Sony segera mengajakku sholat di Masjid terdekat. Hanya berjarak sekitar 200 meter dari lapangan. Aku melepas sepatuku begitu saja, dan dengan perhatiannya Mas Sony membetulkan letak posisi sepatuku yang sebelumnya menghadap ke serambi masjid, sekarang dihadapkan ke jalan dan di rapikan sejajar agar aku lebih mudah untuk memakainya setelah selesai sholat.
Selesai sholat.,
Kami menuju rumah makan sederhana yang berkonsep seperti prasmanan. Dia mengambilkanku piring lengkap dengan sendok garpu, lalu mengelapnya dengan tisu. Sebenarnya aku nggak enak jika dilayani seperti ini, malu. Tapi apa daya, dia yang menginginkannya. Mas Sony menyuruhku duduk manis memandangi dirinya yang sedang memilih makanan.
Tak lama dia kembali kemeja dengan membawa beberapa lauk dan sayur.
“Dek, mau ini?” tanyanya menunjuk ikan bakar.
“Boleh Mas,” mengangguk.
“Tunggu dulu ya Dek, Mas mau cuci tangan ...”
“Oke.” Aku mengambil sepotong ikan gurame dan menaruhnya ke piringku.
Mas Sony mendekat dan duduk saling berhadapan. Setelah dari wastafel lalu menegurku,
“Dek, kan Mas bilang tunggu. Itu banyak tulangnya.” Ucap Mas Sony mengambil ikan yang ada di piringku.
“Loh ... kok diambil Mas?” Mengernyitkan dahi keheranan.
“Mas buang dulu tulangnya. Jangan khawatir, tangan Mas bersih kok Dek,” tersenyum dan konsentrasi memilihi tulang ikan.
“Ya ampun Mas, aku bisa sendiri. Aku bukan anak kecil loh.”
“Ini sudah nggak ada tulangnya, Adik makan dulu, jangan lupa berdoa.” Menaruh ikan yang bersih tanpa tulang ke piringku.
“Mas jangan manjakan aku seperti ini, aku nggak enak Mas. Malah merepotkan nanti.” Pintaku.
“Kalo lagi ngunyah itu nggak boleh berbicara Dek, fokus makan. Nurut sama Mas. Percayalah, Mas begitu senang memanjakanmu.” Tegur Mas Sony dengan kata manisnya.
“uhukk ...uhukk ...” tersedak begitu mendengar ungkapan kalau Mas Sony senang memanjakanku.
“Tu kan, pelan-pelan Dek ... Baru juga Mas nasehatin tadi, minum sedikit dulu jangan langsung banyak.”
“He’ehm ... “ mengangguk pelan dan meraih gelas dari tangan Mas Sony.
“Sudah enakkan belum Dek tenggorokannya? Kalo sudah dilanjut makannya ya, ingat nggak boleh bicara dulu. Mas selesaikan ini, habis itu Mas makan kok.” Sibuk dengan ikan yang di pegangnya.
“Sudah nggak apa-apa kok Mas.” Aku kembali menyuapkan makanan ke mulutku.
Aku terdiam sesaat sambil mengunyah, mataku tak mau berkedip memandangi wajah tampannya yang sedang serius memilihi tulang-tulang ikan, sedangkan dia sesuap pun belum memakan makanannya.
“Mas kalau begini terus Mas nggak makan dong, malah sibuk ngurusin aku. Kenapa Mas begitu peduli sih,” keluhku.
“Mas akan pastikan Adik enak makannya, baru Mas akan tenang. Sudah, jangan komplain lagi ya Dek.” Sahutnya dengan kata yang penuh kelembutan.
“Baiklah, terima kasih Mas,”
Mungkin bagi sebagian orang itu hal yang biasa, tapi percayalah jika itu dilakukan oleh orang yang disayang pasti akan terasa jauh lebih bermakna.
Baru kali ini aku melihat lelaki yang sangat teliti dan sesabar itu. Wanita mana yang tak bahagia jika di layani dan diperlakukan bak ratunya.
Selesai makan.
“Dek, mengenai Pak Herman besok Mas akan ke HRD lagi. Mas akan pastikan dia mendapat sanksinya. Adik tidak perlu ikut kalo keberatan.” Ucap Mas Sony.
“Oke, terserah Mas saja. Tapi aku tidak mau ya kalau Mas resign. Janji dulu.” Pintaku tegas.
“Lihat besok ya Dek, Mas nggak bisa janji untuk sesuatu hal yang belum pasti. Tapi Mas akan berusaha menuruti kemauanmu.” Berkata sambil menumpuk piring kotor dan meletakkannya di ujung meja.
Aku merasa malu karena sebagai perempuan aku tak serapi dan sepeka Mas Sony. Padahal hal sekecil ini akan sedikit membantu meringankan pekerja di rumah makan.
“Dek, bagaimana hubunganmu dengan Ega? Baik-baik saja kan?” tanya Mas Sony serius melihatku.
“Haa ... ?! Maksudnya? Kenapa Mas tiba-tiba menanyakan hal itu?” menyunggingkan bibir.
“Tanya aja Dek, nggak boleh ya? Kalau Adik nggak mau cerita jugaa nggak apa-apa kok, Mas tidak memaksa.”
“Ehmm, sebenarnya aku sudah memutuskan Ega Mas.” Singkatku.
“Kenapa? Apa karena Mas?” tanyanya fokus dengan meletakkan kedua tangannya di atas meja.
“Terus terang aku capek Mas, dia selalu menuduhku yang tidak-tidak dan mempercayai Widya. Buat apa hubungan tanpa ada rasa percaya? Lagian aku juga tidak mencintainya. Sama sekali.” Tuturku setengah emosi.
Mas Sony mengangguk mendengar penjelasanku. “Lalu apa dia mau diputusin? Mas lihat dia orang yang keras Dek, sepertinya dia tidak akan terima jika Adik memutuskannya. Masih hubungin kamu nggak?”
“Aku nggak peduli Mas dia mau terima atau tidak, yang jelas aku sudah bebas sekarang. Tidak ada lagi yang mengaturku, tidak ada lagi yang memfitnahku, Ega sudah nggak pernah hubungin aku lagi kok Mas sejak sore itu. Baguslah, aku malah lebih tenang sekarang.”
“Kalau saran Mas, sebaiknya jangan terlalu membencinya Dek, Mas takut dia akan membencimu dan balas dendam. Bukan seudzon, tapi alangkah baiknya berhati-hati.”
“Terus aku harus baikin dia lagi gitu Mas? Tapi aku males, nanti dia kepedean gimana! Dikira aku mengharapkannya.” Gerutuku.
“Di baikin bukan berarti mengharap dia kembali Dek, paling tidak jangan membencinya, jadi tidak ada rasa sakit hati. Bagaimanapun juga dia pasti pernah berbuat baik kepadamu kan.” Kata Mas Sony menasehatiku.
“Oke, nanti aku coba Mas, yaa meskipun berat sih.” Keluhku.
“Ya Sudah kalau begitu, kita pulang sekarang yuk Dek? Sudah hilang belum gundahnya? He he ...” tanya Mas Sony.
“Sudah dong, untung Mas mengajakku aku jalan-jalan. Terima kasih ya Mas Sony yang paling baik hati, perhatian, dan gan-t ... ” hampir saja aku keceplosan menyebutnya ganteng di depannya langsung. Paling tidak aku harus jaga image, gengsi dong sebagai wanita polos, ha ha ha
“he he he ...” aku meringis menahan malu, tapi yang ada Mas Sony malah menertawakanku tanpa aba-aba.
“Dek, kalau mau puji Mas, puji aja. Kenapa gantengnya nggak jadi di ucap? Padahal Mas sudah terlanjur kepedean loh. Ha ha ha ...” beranjak dari kursi yang di dudukinya.
“Yuk Dek.” Ajaknya untuk pulang.
Aku berjalan disebelah kiri Mas Sony menuju pintu keluar rumah makan tersebut, melewati beberapa pengunjung yang sedang menikmati hidangannya.
Cendaan demi candaan keluar dari mulut Mas Sony hingga aku hanya melirik ke kanan melihat tawanya. Beberapa langkah melewati meja terakhir tiba-tiba ada yang berdiri berbalik arah dan hampir menabrakku.
BRUUK !!!
Dengan sigapnya Mas Sony menggeser membalikkan badannya ke kiri menutup badanku dari depan saling berhadapan. Kopi panas mendarat tepat di lengan kanan Mas Sony.
"Oppss sorry Mas, nggak sengaja." Ucap wanita yang menumpahkan kopinya di lengan Mas Sony iti. Ditemani dengan dua temannya yang duduk dibangku dengan antengnya.
"Mas nggak apa-apa? Maaf ya, aku nggak sengaja." Lanjutnya memegang lengan Mas Sony.
Reflek aku menepis tangannya dengan kasar. Rasanya seperti tidak rela jika Mas Sony disentuh wanita lain.
"Hah ! Tina?! Kalau jalan hati-hati dong. Kamu sengaja?" Terkejut begitu melihat wanita dengan rambut sebahu, memakai dress seksi dengan make tebal, tak lupa dia memoleskan lipstik merah menyala.
"Sakit Mas?" Tanyaku mengecek lengannya yang terbalut kemeja.
"Mas, nggak apa-apa Dek. Yuk pulang." Kata Mas Sony.
Beberapa pasang mata yang ada di rumah makan itu memperhatikan keributan bagai tontonan seru. Berada di meja paling depan dekat dengan pintu keluar, Tina tidak bisa mengecilkan suaranya, lantang seperti orang kesurupan.
"Enak aja asal nuduh, aku tuh nggak sengaja. Mana mungkin aku melukai Mas Sony." Ucapnya kasar.
"Aku tahu kamu Tina, sudah berapa kali kamu mau nyelakain aku, tapi gagal terus kan? Sekarang lihat apa yang kamu buat, akhirnya malah kena lengan Mas Sony kan? pasti melepuh kesiram kopi panasmu itu!" Jelasku dengan penuh emosi.
"Sudah Dek, kita pergi dari sini. Malu dilihat orang. Semua memperhatikan kita." Menggandengku keluar.
"Eh Vania! Jangan seenaknya ngomong ya! Kamu berkata seperti itu cuma buat cari perhatiannya Mas Sony. Nggak akan mempan! Dasar gila!" Teriak Tina berdiri di dekat mejanya memandangi kita yang berjalan semakin menjauh.
"Sebentar ya Dek. Tunggu disini dulu. Kunci Mas sepertinya tertinggal." Sesampainya di tempat parkir.
"Iya Mas."
POV SONY
Aku melihat ada seseorang yang memperhatikanku dengan Vania dari kejauhan. Diam-diam Aku mengawasi pergerakannya. Tina, aku rasa dia berniat merencanakan sesuatu. Aku berjalan keluar dengan Vania seperti biasa mengajaknya bercanda tanpa aku lalai menjaganya. Hingga air panas tumpah di lenganku.
Aku tak memikirkan luka yang tak seberapa itu. Tapi aku memang sudah tahu, untuk ke sekian kalinya dia menjebak Vania di tempat kerja. Mungkin kemarin-kemarin aku bisa memaafkannya karena masalah masih bisa diatasi. Seperti mengotori tempat tidur yang sudah dibersihkan Vania, mengambil stock barang kamar yang ada di trolly dan memindahkannya ke lantai bagian yang dia pegang (kerjaannya). Dan masih banyak lagi. Kalau dipikir-pikir itu akan berefek negativ ke departemen House Keeping, bisa-bisa tamu akan marah jika kamarnya kotor dan pasti akan memberikan sanksi kepada Vania karena dia memegang kamar itu.
Tapi kali ini aku tidak bisa tinggal diam kalau dia sampai tega menyentuh atau melukai fisik Vania. Aku menemuinya setelah aku mengantar Vania ke parkiran. Aku beralasan kunci motor tertinggal, padahal aku ingin kembali kedalam dan berbicara dengan Tina.
"Eh Mas Sony, mau gabung sama kita?" Tanya Tina genit berdiri dari kursinya.
''Tidak, terimakasih." Singkat Sony.
"Saya tahu kamu membenci Vania yang meskipun dia sama sekali tidak pernah mempunyai salah sama kamu. Tapi ingat, saya tidak akan membiarkan Vania luka sedikitpun. Sekuatku aku akan menjaga dan melindunginya dari orang-orang jahat sepertimu." Berdiri tegak, meletakkan kedua tangannya ke saku celana.
"Apa maks-sud ..."
"Siapapun akan berurusan dengan saya kalau ada yang berani menyentuhnya. Saya ingatkan sekali lagi, jangan pernah ganggu Vania lagi. Paham?!" Tegas Sony tak memberi kesempatan Tina untuk berbicara dan bergegas berlalu meninggalkan Tina.
Tina mengomel di depan kedua temannya yang sama sekali tidak menanggapi ocehannya.
“Haahh! Apa dia bilang? Dia meengancamku cuma buat wanita sinting itu? Apa pelet yang dia pakai hingga Mas Sony nempel terus sama dia. apa dia nggak bisa lihat mana cewek cantik, dibandingin aku, Vania tuh nggak ada apa-apanya.” Meremas rambutnya penuh emosi, dan membanting gelas kopinya ke meja.
***
"Kok lama Mas? Ada nggak kuncinya?" Tanyaku.
"Ada kok Dek, yuk naik." Menyuruhku menaiki motornya.
"Mas, bentar. Itu lengan Mas Sony gimana? Harusnya di kompres es biar nggak melepuh. Atau kita kedalam lagi minta es?"
"Tidak perlu Dek, Mas nggak apa-apa, kita pulang ya. Sudah jam tujuh loh." Ucap Mas Sony melihat jam di tangannya.
"Terimakasih ya Mas, maaf aku sudah berkali-kali menyusahkan Mas Sony.”
Berkali-kali menyusahkan Mas Sony." Ucapku sendu.
"Ngomong apa sih Dek, Mas benar-benar nggak apa-apa loh." Tertawa mengacak rambutku.
"Aaa... Mas berantakan nih ..." gerutuku manja menyisir rambutku dengan jari dan memonyongkan bibir ke depan.
"Jangan begitu Dek, takut nanti Mas gemes sama kamu. Ha ha ha." Ucapnya sambil memutar kunci motor.
Mas Sony mengantarku dengan selamat sampai ke kost. Bahagia, ya sudah pasti. Senyum sumringah terlihat di bibirku begitu memasuki pintu utama kost menuju kamar.
Bersambung, ....
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 115 Episodes
Comments
Devi Handayani
percintaan yg seperti ini yg real... ga mesti Sultan sultanan.... yg begini lebih asikkk☺😊☺😊😊
2022-11-06
1
Uyun N
Hmm.. Aku suka dgn ke posesif'an nya mas sony
tapi kasihan, dia hanya seorg security, sangat susah buat menegak keadilan
huft,, begitulah seorg bawahan
mengenaskan
2021-11-17
1
Uvie El Feyza
ada lg gx ya yg ky maz sony
2021-10-30
1