Terjerat Cinta Gadis Kecil
...Halo Akak pembaca. Selamat datang di karya pertamaku. Karya ini full fiksi/halu/karangan aku semata, tapi semoga tetap menghibur, ya. Syukur2 ada pelajaran yang Akak ambil dari kisah ini....
...Oiya, Akak baru mampir ke karya ini setelah tamat? mohon maaf sekali, sedang tahap revisi. Beberapa judul belum berubah, jadi dipastikan akan ada banyak hal yang berantakan. Maaf, harap maklum ini karya pertama. Tahun 2021 akhir baru revisi dikit-dikit waktu sempet sampai entah kapan selesainya. kalau mau baca, silakan....
...Terima kasih. 😁...
...Mau baca karya Uki Suki, yang lain? cus follow instagram Ukiii__21 (biar kita bisa akrab😁)...
...***...
“Bob, kemarilah.” Seorang wanita tua dengan rambut yang hampir seluruhnya putih memanggil putranya yang bernama Bobi.
Anak yang dipanggil maju beberapa langkah menuju ranjang pasien, lalu menggenggam tangan wanita itu dengan tatapan pilu. Napas beliau yang keluar masuk kadang terdengar sesak hingga menambah kesakitan hati pada setiap jiwa yang mendengar.
“Ya, Bunda,” jawab sang putra.
Bobi Pratama. Anak angkat keluarga Birawan. Hidup bertahun-tahun di kediaman mereka semenjak diadopsi dari panti asuhan menginjak usia sembilan tahun. Kehidupan yang awalnya nyaris jauh dari kata layak, membuat beliau begitu bersyukur bisa hidup di tengah keluarga yang sangat baik. Tinggal di keluarga Birawan dengan wanita yang dia panggil Bunda dan satu anak lelaki beliau—Tomi Birawan.
Jika kau tanya kenapa Pak Bobi tidak memakai nama keluarga Birawan sekarang? Itu karena saat ini beliau telah kembali ke keluarga Pratama. Keluarga kandung yang pernah kehilangan beliau saat kecil.
Pak Bobi sejak bayi tinggal di salah satu panti asuhan kota A lalu diadopsi oleh Nyonya Birawan. Dia mendapat cinta dan kasih sayang sama besarnya dengan Pak Tomi. Hidupnya tidak kekurangan lagi dan bisa menganyam pendidikan sampai tingkat sarjana. Namun, tepat saat dia memilih bekerja di luar kota, keluarga Pratama menemukannya.
Awalnya semua seolah di luar nalar. Pak Bobi tidak bisa menerima kehadiran keluarga yang mengaku-ngaku memiliki hubungan darah itu. Tak tinggal diam, pihak keluarga Pratama menjelaskan semua pada keluarga Birawan bahkan sampai tes DNA untuk meyakinkan. Akhirnya beliau mau kembali atas dukungan dari Bunda dan Pak Tomi.
Pak Bobi sempat membenci kedua orang tua kandung karena merasa tak disayangi. Ditelantarkan sehingga hidup dari kata layak. Pemuda yang awalnya lembut tiba-tiba berubah kejam. Bahkan, emosinya kadang tidak terkontrol. Akan tetapi, semua berangsur stabil. Lama-kelamaan beliau bisa menerima takdir dan dengan senang hati hidup di keluarga Pratama sebagai penerus.
“Kau sudah Bunda anggap sebagai anak kandungku.” Bunda menarik napas dalam, lalu melanjutkan, “Bolehkah aku minta satu hal sebagai permintaan terakhir?”
Pak Bobi menggeleng lantaran tidak bisa menerima omongan Bunda yang bilang meminta permintaan terakhir. “Bunda, jangan bilang begitu. Semua akan baik-baik saja.”
Nyonya Birawan kembali menarik napas dalam dan membuat menantu yang sejak tadi duduk di sisi lain semakin terisak. Sementata itu, Pak Tomi di sebelah sang istri terus berusaha tegar.
“Aku sudah tua, Bob. Kau tahu, aku sudah sakit-sakitan. Berapa kali dalam sebulan masuk rumah sakit? Aku lelah dan ingin menyusul ayahmu.”
“Tidak, tidak.” Pak Tomi ikut membungkukkan badan sambil menggeleng pelan di dekat Bunda.
“Kalian anakku, tetaplah bersaudara jika aku pergi.”
Kedua pria dewasa itu menggeleng bersama. Mereka kompak tidak terima.
“Bunda, apa saja akan kami lakukan supaya Bunda sembuh,” kata Pak Bobi dan diangguki Pak Tomi.
Bunda justru menggeleng sambil terus mengatur deru napas yang kian sesak. Oksigen terasa susah untuk memenuhi paru-paru wanita tua itu. “Aku minta satu hal terakhir, Bob. Kau mau, kan?”
“Apa, Bunda?”
“Nikahkan putra semata wayangmu, dengan cucuku, Sally. Bunda ingin memastikan kalian tetap bersaudara meski aku sudah tiada.”
Semua orang tercengang, Bu Anna—istri Pak Tomi—semakin terisak tak karuan.
Menikah? Satu kata yang membuat Sally terguncang. Putri sulung dari Pak Tomi dan Bu Anna yang berdiri agak jauh dari ranjang, kini seolah mendapat pukulan godam secara tiba-tiba. Bagaimana bisa dia yang masih pelajar kelas tiga SMA harus menikah. Umurnya saja masih 18 tahun dan tentu tidak kenal dengan anak Pak Bobi.
“Bisakah, Bob? Biarkan aku tenang.”
Bibir Pak Bobi kelu untuk menjawab.
Sebenarnya, menikahkan anak mereka adalah kesepakatan antara Pak Bobi dan Pak Tomi sejak dahulu. Namun, tidak untuk sekarang. Setidaknya menunggu Sally kuliah.
“Bob ….” Bunda memanggil sekali lagi. Beliau menunggu jawaban.
“Bunda, Bobi tidak bisa menjawab ini, biarkan Tomi saja. Dia ayahnya Sally.”
Pak Tomi mengembus napas berat. “Sa, kemarilah.”
Sally mendekat. Dia maju beberapa langkah dengan menyeret kaki yang terasa berat. Air mata sudah ingin tumpah, tetapi ditahan sebisa mungkin.
“Sa, kamu mau penuhi permintaan Nenek, kan?”
“Tapi, Nek. Sally masih sekolah,” jawab gadis itu dengan nada sedikit bergetar.
Semua orang tahu jika kabar itu mengejutkan Sally. Bagaimanapun juga, dia masih terlalu muda untuk menerima hal demikian.
Menikah mungkin impian setiap orang. Membangun keluarga bahagia dengan pasangan. Namun, tentu saja berbeda dengan yang Sally alami sekarang. Gadis itu masih belia, dia harusnya masih memuaskan diri dengan bermain atau serius belajar.
“Tidak apa-apa. Sebentar lagi kamu ujian, kan?”
Sally mengangguk.
“Nenek harap kamu mau, ya?”
Tidak menjawab, bibir mungil yang dimiliki Sally terkatup sempurna. Lidahnya kelu, tenggorokan terasa kering. Bahkan stok oksigen di ruangan itu terasa tipis sampai dia tidak kebagian.
Gadis itu menggeleng mundur, lalu berlari meninggalkan ruangan VIP dengan deraian air mata. Entah ke mana dia pergi seolah memang tiada arah. Hal terpenting yang Sally perlu adalah lari sejauh mungkin karena tidak sanggup menerima kenyataan.
Sementara itu, napas Bunda semakin sesak, tersengal lalu kesadaran semakin hilang. Pak Bobi dengan panik segera memanggil dokter sebelum hal yang serius menimpa ibu angkatnya.
Dokter dan seorang perawat datang dengan segera, lalu memeriksa dan mengecek kondisi pasien. Tak berapa lama, pria bersneli putih itu menggeleng dan membisikkan sesuatu pada perawat yang menemani.
“Tuan dan Nyonya, saya sampaikan maaf sebesar-besarnya.”
Pak Bobi merangsek maju tanpa aba-aba. Dia mencengkeram bahu dokter yang belum selesai bicara. “Apa maksudmu?”
“Pa ….” Bu Lyra mendekat dan erusaha menenangkan suaminya.
“Tuan, ibu Anda telah meninggal. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan memiliki kehendak sendiri.”
Tangis Bu Anna pecah dan Pak Tomi segera menarik beliau ke pelukan. Sementara itu, Pak Bobi langsung lemas dan bersimpuh tidak berdaya di lantai.
“Pa, sabar.” Sekuat tenaga Bu Lyra memberi ketenangan suaminya. Beliau mendekap erat dan ikut menangis tersedu.
Perawat perempuan itu bahkan ikut menyeka sudut mata melihat iba setiap anggota keluarga yang ditinggal pergi. Dokter memilih mengajak perawatnya undur diri agar ia tidak ikut-ikutan mengharu.
...***...
Dua pekan berlalu tanpa ada hal terjadi. Suasana haru terkadang masih menyelimuti hati setiap anggota keluarga Birawan.
Suasana makan malam masih saja sepi. Hanya dentingan sendok dan garpu yang sesekali terdengar.
“Mi, Pi, aku mau mengabulkan permintaan Nenek.” Gadis berambut panjang itu mengutarakan kegundahan yang selama ini dia pendam. Ucapan itu menghentikan aktivitas makan orang tua dan adiknya.
“Maksudmu, Sa?” Pak Tomi menjawab sekaligus bertanya.
“Aku mau menikah dengan anak Om Bobi, Pi.”
Pak Tomi dan Bu Anna saling pandang. Mereka merasa heran dengan pernyataan anaknya yang tiba-tiba.
“Biarkan aku menebus kesalahan, biarkan Nenek bahagia di alam sana kalau melihatku menikah sesuai keinginannya dulu.”
“Sa ….” Bu Anna menghela napas panjang, lalu beranjak dan menuju tempat duduk Sally. “Jangan terus merasa bersalah, Sa. Tidak ada yang menyalahkanmu.”
Gadis itu menggeleng. “Enggak, semua salahku, Mi. Kalau hari itu aku enggak pergi, pasti Nenek enggak merasa syok dan sampai anfal.” Air matanya kembali menetes dan Bu Anna segera memeluk. Sally merasa begitu sakit kehilangan nenek yang selalu memanjakannya.
“Sa, nenekmu pergi karena sudah waktunya. Berhentilah merasa bersalah.”
Sally menggeleng lagi. Dia memang keras kepala. “Nikahkan aku dengan anak Om Bobi, Mi. Aku ingin membuat Nenek bahagia.”
Bu Anna menatap Pak Tomi seolah mencari jawaban.
“Sa, kamu yakin?” Sang ayah ikut bicara.
Pertanyaan Pak Tomi, Sally jawab dengan anggukan kepala.
.
.
. Bersambung….
jangan lupa klik lope biar masuk rak favorit, like tiap bab untuk penyemangat.
Visual tokoh dan semua karyaku, ada di IG: ukiii__21
Yuk, follow dan mari kita ngobrol. Hehe
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
3 SMA bukan umur 18 tahun ya??🤔🤔🤔
Mampir thor🙋🏻♀️🙋🏻♀️
2023-02-21
0
Riska Wulandari
mampir
2021-11-14
0
Mommy Chand
mampir kak
2021-10-28
0