Semua siswa bersorak girang, pelajaran tambahan yang dijalani sudah usai. Otak mereka mungkin terasa panas, seharian harus berkutat dengan materi yang diajarkan. Risiko menjadi pelajar tingkat akhir adalah demikian. Tidak ada waktu bersantai dan fokus dengan segala soal-soal.
Lisa memutar badan ke kanan dan kiri karena pegal, Sally yang ada di sebelahnya sampai berdiri agar tidak tersenggol.
Gadis berambut sebahu itu mendongak. Dia tersenyum cerah lantas berkata, “Sa, nongkrong, yuk!”
Sally kembali duduk, diam sebentar sembari berpikir. Dia bingung antara ingin menolak atau menyetujui tawaran Lisa.
“Sa, gimana? Kok, diem?” Lisa menyadarkan Sally karena tak kunjung dapat jawaban.
“Oh, ya. Oke. Tapi, nanti anter aku pulang, ya,” pinta Sally.
“Beres. Yuk cabut!”
Keduanya lekas merapikan buku dan alat tulis, lalu meraih tas segera meninggalkan kelas.
Mereka berjalan santai melewati koridor. Keadaan sudah sepi karena hanya kelas dua belas saja yang pulang terlambat. Teman-teman lain juga sudah berhamburan sejak tadi, mungkin semua siswa juga ingin segera pulang.
“Eh, Sa. Gimana pertemuanmu dengan om-om itu?”
Langkah Sally mendadak berhenti ketika mendengar Lisa mengucap ‘om-om’.
“Eh.” Lisa merasa ada yang salah, ia kemudian menyeringai tidak jelas. “Kamu marah?”
Alis Sally naik sebelah, sorot matanya menajam melihat seringaian menyebalkan dari Lisa. “Kenapa?”
“Ee … itu ....” Lisa mendadak kikuk, merasa tak enak mendapat tatapan seperti itu dari sahabatnya sendiri. “Kukira kamu marah, karena aku memanggilnya om-om?”
Sally berdecak. “Enggak! Itu urusanmu.”
“Tapi tiba-tiba kamu jadi ketus gini. Tersinggung, ya?” Lisa sungguh tak mau menyerah. Dia terus mendesak Sally entah kurang peka atau memang tidak paham.
Desakan itu membuat Sally jadi malas. Tanpa menjawab, Nona Muda Birawan itu segera mempercepat langkah.
“Sa, tungguin!” Lisa segera berlari, menyusul Sally yang sudah lebih dulu sampai di parkiran dekat mobilnya berada.
“Gadis Kecil, kau di sini rupanya! Aku menunggumu sejak tadi.”
Lisa menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah sumber suara. Sama halnya dengan Sally, gadis itu ikut memutar badan memastikan tidak salah dengar.
Kedua mata Sally dan Lisa membulat penuh, keduanya tidak percaya dengan pemilik suara yang sudah berdiri tak jauh dari posisi mereka.
Oh, No! Kenapa dia di sini? Bagaimana bisa?
Sally jelas terkejut dengan hadirnya Zean di lingkungan sekolahnya, padahal dia tidak minta dijemput sampai tempat itu.
Berbeda dengan Sally, Lisa yang terpesona tanpa sadar datang mendekat pada lelaki tersebut.
“Eum … Kakak Ganteng, cari siapa, ya?” Lisa bertanya malu-malu, sambil senyum-senyum sok manis.
Pria itu hanya melirik sekilas. Akan tetapi, respons seperti itu sudah membuat Lisa klepek-klepek dan tidak mau berkedip.
Zean maju beberapa langkah menghampiri Sally. Gadis itu kelabakan. Secara reflek dia mundur dan terjebak di tempat karena punggung menabrak pintu mobil Lisa.
“Ayo!” Zean tak butuh jawaban. Tangan mengulur teratur dan membawa Sally ikut ke mobilnya untuk dibawa pergi.
Di tempat itu, Lisa masih terbengong. Dia hanya bisa menatap bodoh atas kepergian sahabatnya tadi tanpa mendapat kata perpisahan.
“Sally, kamu jelaskan padaku!” Lisa berteriak sekencang-kencangnya meski jelas-jelas percuma. Mobil putih yang dikendarai Zean sudah memelesat meninggalkan sekolahan.
***
“Eum ... Kak Ze ngapain ke sekolahku?” Sally mencoba memberanikan diri bertanya pada pria di sebelahnya karena sejak tadi heran dan diabaikan. Fokus Zean hanya ada pada jalanan aspal di depan mata seolah Sally adalah makhluk tak kasat mata dan tidak perlu dianggap.
“Disuruh Mama menjemputmu,” jawabnya sekilas tanpa menoleh.
“Oh ….” Satu kata yang hanya bisa diucap Sally. Gadis itu tak bisa berkata lagi.
“Gadis Kecil, kenapa kau mau menikah denganku?” Zean akhirnya bertanya. Akan tetapi, fokusnya tetap di jalan raya yang terlihat begitu panas.
“Emm … itu karena aku ingin mengabulkan permintaan terakhir Nenek.”
Jawaban Sally mengundang Zean menoleh, sedetik kemudian seringai sinis terbit di bibirnya yang sedikit tebal. Sikap itu membuat Sally tertegun. Kenapa bisa Zean menunjukkan ekspresi tidak bersahabat seperti itu?
“Kau sangat menyayangi nenekmu sepertinya? Penurut sekali.” Ucapan Zean terdengar sangat meremehkan, sontak membuat Sally ikut tersindir.
“Ya, tentu saja!” Sally membalas dengan nada ketus, membuat Zean kembali tersenyum sinis.
“Apa kau tetap akan menuruti kemauannya kalau saja yang dijodohkan denganmu adalah pria tua?”
Pertanyaan Zean makin menjadi. Sally rasa, itu tak perlu dilanjutkan lagi.
Dia tidak menyangka jika Tuan Muda Pratama itu begitu menyebalkan, padahal kemarin saat bertamu tidak menunjukkan ekspresi demikian. Zean sangat ramah dan sopan. Siapa mengira jika hanya berdua seperti saat ini, pria itu berbeda. Apakah sifat aslinya memang begitu? Sally tentu tidak tahu.
***
“Turun!” perintah lelaki itu saat mobil sampai di parkiran sebuah toko perhiasan.
Kenapa ke sini? Dia bilang menjemputku. Tapi ternyata dibawa ke sini tanpa memberi tahu.
“Ada perlu apa? Kenapa kita ke sini?”
Zean tak menjawab, tetapi justru menarik tangan Sally memasuki toko perhiasan yang terlihat mewah itu. Bangunan cukup besar dengan pintu dan jendela full kaca. Perhiasan berderet rapi di etalase.
“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu, Tuan.” Seorang pekerja menyapa dengan senyum mengembang di wajah.
“Kami butuh cincin pernikahan,” jawab Zean santai, tetapi bisa membuat tubuh Sally tersentak.
Lelaki itu menoleh pada gadis SMA di belakangnya, menatap aneh dengan satu alis terangkat. Kemudian, dia berkata, “Kenapa? Kau ingin menikah tanpa pakai cincin?”
Sally menggeleng.
“Kalau begitu, ayo! Jangan membuatku membuang waktu.” Zean menarik sedikit kasar, membuat Sally kesal.
“Silakan, Tuan.”
Belum sempat mencoba cincin yang akan dipilih, ponsel Zean berbunyi. Dia keluar tanpa permisi untuk mengangkat panggilan, meninggalkan Sally sendiri.
Merasa bingung, gadis itu ikut pergi. Dia pamit ke toilet dan diangguki kepala oleh pekerja tadi.
Zean kembali, tetapi tak didapati Sally. “Di mana dia?” Dia bertanya pada pegawai toko dan hanya diberi jawaban kalau Sally ke toilet.
Menunggu cukup lama membuat Zean kesal. Akhirnya dia memutuskan untuk menyusul.
Di toilet, Zean tidak mungkin masuk. Dia kembali menunggu sambil bersandar di dinding.
Beberapa waktu terlewat, tetapi tak kunjung Zean dapati keberadaan calon istrinya. Hal itu membuat pria 26 tahun itu semakin jengkel.
Satu petugas kebersihan lewat dan akhirnya dimintai tolong untuk mengecek apakah ada gadis SMA di dalam. Namun, kata wanita itu tidak ada.
Zean mendengkus, menyugar rambutnya ke belakang dan merogoh kantong celana. Beberapa lembar uang dikeluarkan dari dompet. Kemudian, dia pindahkan ke tangan petugas kebersihan yang tadi membantu.
Ck! Di mana gadis kecil itu.
Dia meninggalkan toilet dengan sedikit mengumpat. Kemudian, Zean kembali mengelilingi toko perhiasan yang lumayan besar itu.
Mata hitamnya memicing ketika melihat bayangan kecil di sudut ruangan. Satu gadis berseragam SMA tengah asyik mencoba gelang tangan. Wajah Zean yang sejak tadi tak ramah semakin kusut. Kakinya melangkah lebar untuk menghampiri.
“Ikut aku!” Tanpa perasaan, Zean menarik lengan Sally secara kasar. Gelang yang dipegang calon istrinya langsung dikembalikan ke tempat.
Langkah Sally terseok mengikuti kecepatan Zean. “Sakit, lepas!” Dia sampai meringis akibat cengkeraman kuat dari Zean. Akan tetapi, pria itu seakan tuli dengan keluhan gadis di belakangnya.
“SAKIT!” Sally tak tahan dan berakhir dengan sebuah teriakan.
Zean mengempas lengan secara kasar. “Siapa yang menyuruhmu menghilang begitu saja? Kau kira aku mengajak ke sini untuk jalan-jalan?”
“Apa maksudmu?” Sally ikut menyeru. Dia tidak mau kalah meski sedikit takut.
“Apa kau bodoh? Tentu saja aku mencarimu gara-gara kau pergi tanpa pamit, sampai harus menunggu di toilet wanita yang membuatku malu.”
“Aku memang ke toilet tadi. Karena kamu meninggalkanku sendiri.”
“Lalu kenapa tidak kembali ke tempat semula jika sudah selesai?”
“A … ak—” Sally tak bisa menjawab. Dia tak mungkin mengaku jika malas untuk membahas pernikahan. Apalagi sampai harus mengurusinya seperti ini.
“Kenapa diam?” Zean terus membentak. Hal itu membuat Sally menunduk dan kehilangan keberanian. Mata cokelatnya berubah mengembun. Dia ingin menangis.
Tidak kunjung mendapat jawaban, makin membuat Zean emosi. “Kau mau pulang atau kita lanjutkan memilih cincin?”
“PULANG! Aku mau pulang!” Sally berteriak dan mendorong tubuh Zean. Gadis SMA itu segera masuk mobil dan tidak ingin peduli lagi.
Zean yang geram mengepalkan kedua tangannya seakan siap untuk meninju siapa pun yang ada di dekatnya saat ini. Hatinya terasa panas karena emosi. Belum lagi rasa lelah selama perjalanan dari kota C tadi.
.
.
. Bersambung….
Makasih sudah membaca.
Visual dan semua tentang mereka, ada di sorotan instagram
@ukiii__21.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Qaisaa Nazarudin
Hadeehh Sally dia yg meminta pernikahan di lanjutkan,malah dia yg bikin kesel orang🤦🏻♀️🤦🏻♀️
2023-02-21
0
🇮🇩 ♏🌹🅰️ 🇵🇸
Baru mulai baca. Tp suka karena rapi. Semoga seterusnya ya.
2021-11-15
1
Riska Wulandari
kasar banget kamu Ze..
2021-11-14
0