Perjalanan di hari Minggu memang membuat orang-orang terjebak macet. Tak terkecuali Zean dan Sally.
Sepasang pengantin baru itu baru keluar dari rumah keluarga Pratama sekitar jam lima sore. Sekarang, jam di tangan Zean menunjuk angka tujuh. Hari-hari biasa perjalanan kota C ke A cukup memakan waktu 120 menit. Akan tetapi, tidak untuk kali ini.
Dengkusan kasar dari hidung Zean sejak tadi terdengar. Terlihat sekali pria itu mulai bosan dan tidak betah. Sementara itu, Sally di sebelah bergeming. Gadis itu benar-benar marah pada suaminya.
Zean melirik ke arah kiri. Terlihat istri barunya itu hanya melihat luar jendela. Dia berdehem beberapa kali, tetapi tidak digubris sama sekali.
Huh! Baiklah, buang harga diri, Ze. Kau harus mengajaknya bicara dulu.
Hati Zean bergumam. Mau tidak mau dia tetap mengalah demi kebaikan bersama.
"Gadis Kecil, kau masih marah?"
Meski sudah memulai pembicaraan lebih dahulu, tetap saja Sally membisu. Gadis itu justru melengos. Dia menyamankan posisi lalu memejam setelah itu.
Ya ampun, susah kalau punya istri masih bocah!
Ingin sekali Zean mengumpat. Pria dua puluh enam tahun itu merasa diinjak-injak harga diri yang ia miliki.
Selama ini, Zean selalu disegani. Tak-tiknya dalam berbinis sangat mumpuni. Dia seolah berdiri tegak di belakang sang ayah.
Namun, sayangnya semua kekuasaan dan cara kerjanya tak bisa digunakan sekarang. Pak Bobi mengultimatum sore tadi jika dia tak boleh menyakiti si Menantu Kesayangan.
"Suka atau tidak, cinta atau benci. Papa dan Mama tidak mau mendengar alasanmu menyakitinya. Titik!"
Gendang telinga Zean seolah dipenuhi ucapan Pak Bobi. Ayahnya memiliki kuasa penuh atas kehidupan yang Zean jalani. Pria itu sejak kecil didikte begitu keras dan tak bisa menentang apa pun yang diucap Pak Bobi.
Ketika Zean melanggar atau melakukan kesalahan. Suami dari Bu Lyra itu tak segan menghajar putra tunggal mereka. Zean sadar jika ayahnya memiliki tempramen yang sangat buruk.
Setelah berkutat di jalanan hampir tiga jam penuh, akhirnya mobil Zean sampai di depan gerbang kediaman Birawan. Dia segera memencet klakson agar dibukakan pintu gerbang.
Pak Im terlihat mendorong gerbang sampai mobil bisa masuk. Beliau mengangguk dan mengucap selamat malam.
Mobil putih itu parkir di pelataran rumah dekat teras. Mesin sudah mati dan pria di dalamnya siap turun. Tangan Zean bergerak lincah melepas sabuk pengaman yang membelit tubuh.
"Gadis Kecil, ayo turun," ucapnya tanpa melihat Sally.
Tak ada jawaban yang didapat selama Zean merapikan pakaian. Dia lalu menoleh.
"Haish ... ternyata kau tidur." Pria itu mencondongkan diri lalu mengguncang pelan lengan istrinya. "Gadis Kecil, sudah sampai. Bangun."
Zean menunggu beberapa detik. Akan tetapi, sepertinya usaha yang dilakukan sia-sia.
"Sa, bangun." Dia terus berusaha lebih keras lagi.
"Hah! Bagaimana bisa kau tidur senyenyak ini? Kau kira ini di kasur?" Usai mendesahh sekejap, Zean turun lalu memutari mobil menuju pintu sebelah kiri. Dia terpaksa menggendong Sally. Gadis itu hanya menggeliat sebentar.
"Apa gendonganku terlalu nyaman? Sampai kau hanya seperti itu?"
Tangannya sekarang sibuk membawa Sally. Jadi, koper di bagasi tak bisa Zean bawa pula. Pria itu berteriak minta tolong pada Pak Im karena tak ingin bolak-balik keluar.
"SIAP! Tuan Muda." Jawaban lantang diberikan Pak Im ketika mendengar teriakan Zean. Menantu majikannya itu lebih dahulu memasuki rumah.
Pintu dibukakan oleh Bu Anna sendiri. Beliau sempat terhenyak melihat sang menantu membopong tubuh putrinya.
"Ze! Ada apa?"
Zean menggeleng. "Sepertinya dia mengantuk sekali, Mi. Jadi ketiduran dan tidak mau bangun. Jangan panik, Mi."
Bu Anna membuang napas lega. Kemudian, beliau meminta Zean segera ke kamar.
Sampai di bawah tangga, Zean berhenti. Bu Anna di belakang bertanya, "Ada apa, Ze?"
"Mi, aku tidak tahu kamar Sally."
"Oh, iya. Biar Mami duluan."
Zean mengikuti ibu mertua menuju kamar Sally. Di belakang ada Pak Im yang menyeret dua koper sekaligus.
Sampai kamar, menantu keluarga Birawan itu merebahkan Sally hati-hati. Ikat rambut yang mengganjal dia lempar ke sembarang arah.
"Ze, kamu mau makan sekarang?"
"Tidak, Mi. Nanti saja kalau Sally bangun."
"Oke. Istirahatlah. Mami keluar dulu. Koper ada di depan kamar, Pak Im sudah turun sepertinya."
"Ya, Mi. Nanti aku bawa masuk."
Zean beranjak dari tempat tidur, dia lalu mengantar Bu Anna keluar sekalian menyeret koper.
Pintu dia tutup kembali setelah semua masuk. Dia memandangi sebentar ruangan di mana sekarang harus tidur.
Kakinya bergerak mendekati ranjang, ganti memandangi istrinya yang masih pulas. Sadar atau tidak dia tersenyum tipis.
"Sebaiknya aku ke kamar mandi sebentar, baru nyusul tidur."
____________________
Mentari menyibak cakrawala yang hitam. Sally menggeliat tanpa arah dan memeluk gulingnya erat.
Mata masih terpejam, alis bertaut dan dahi Sally berkerut saat merasa gulingnya terlalu keras.
Secara perlahan dia membuka mata yang masih terasa lengket. Kedua panca indra itu langsung membola.
"Arg--"
"Kalau berteriak kau akan mati!"
Sally mendelik menatap itu. Suaminya dengan tega mengancam dan membekap mulut semena-mena.
Gadis itu tadi kaget karena tidur memeluk Zean. Dia lupa jika sudah menikah.
"Hmph ... hmph ...." Kepala Sally menggeleng kanan kiri minta dilepas, tetapi Zean justru tersenyum jail.
"Kau terlihat lucu kalau begini."
Sally makin meronta. Dia menarik tangan suaminya yang ada di wajah, tetapi percuma. Zean menekan terlalu dalam. Apa pria itu benar-benar ingin membunuh istrinya?
"Hmph!"
"Janjilah untuk diam. Hilangkan kebiasaanmu teriak-teriak."
Nona Muda Birawan itu cepat mengangguk. Pipinya ikut sakit terlalu lama dibungkam. Suami barunya benar-benar gila.
"Hah!" Dia membuang napas besar. Bungkaman dari Zean membuat Sally sempat merasa takut.
"Kamu keterlaluan!" Bantal yang ada di dekat Sally pukulkan pada Zean. Pria itu mengangkat kedua tangan untuk menghalau tindakan istrinya.
"Cukup!" Zean berkata tegas. "Mandi sana kalau tidak mau telat."
Jam di atas nakas Sally tengok. Dia kelabakan dan langsung turun. Rambutnya yang panjang dikumpulkan jadi satu, dia kebingungan mencari ikat rambut.
"Sudah kubuang." Zean menyela santai ketika sadar kelakuan istrinya.
Si pemilik ikat rambut menoleh sinis. Bibirnya cemberut dengan raut wajah ingin marah.
Akan tetapi, tanggapan Zean tak acuh. Hal itu membuat Sally mendengkus berulang sebelum dia mencari ganti ikat rambut lain dari laci.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
El_Tien
semangat up
2022-01-20
0
Kenzien Yodha
novelmu bagus² thor..semangat untuk tetap berkarya🥰🥰
2021-08-24
0