Kegiatan pagi hari saling diam selama perjalanan ke sekolah Sally usai. Jam bergerak terasa begitu cepat. Mungkin efek menyesuaikan tempat baru, menjadikan Zean terlalu fokus dan lupa waktu.
Laptop di atas meja, Zean matikan. Beberapa berkas yang dia pelajari seharian ikut dibawa pulang. Tak ada asisten pribadi di sana, berbeda saat di Pratama Group, Zean ditemani Elo.
Tak masalah, Zean pikir bisa mengatasi semua itu. Kecerdasannya selalu menjadi andalan sang ayah.
Keluar dari ruang kerja dengan langkah penuh percaya diri, Zean menapaki lantai menuju lift.
Beberapa karyawan yang hendak memakai lift urung ketika mendapati pimpinan baru mereka ingin melakukan hal yang sama.
Pria itu hanya tersenyum tipis.
Pintu lift terbuka karena sampai di lantai dasar, Zean bergegas keluar gedung dan melajukan mobil untuk menjemput sang istri.
Sudah hampir satu jam Sally menunggu jemputan. Gadis itu pulang tak sampai jam lima sore meski ditambah pelajaran tambahan.
***
Kafe terdekat dengan sekolahan menjadi tempat Sally dan Lisa bercengkrama. Dua gadis cantik itu tak langsung pulang dan memilih mampir sembari menunggu jemputan dari Zean.
Gadis cantik berambut pendek itu terpingkal-pingkal sampai memukul meja berulang. Sally dibuat malu dengan kelakuan Lisa.
“Udah. Ketawa mulu. Nggak capek?”
“Aduh, perutku sampai sakit, Sa.”
Sally mencebik. “Makanya diem.”
Lisa membenahi ekspresi. Dia mengontrol diri agar tenang. Tidak mungkin terus tertawa atau perut itu akan kaku sebentar lagi.
“Aku ke toilet dulu, ya. Nggak kuat, nanti kalau ngompol di sini, kan, nggak lucu.”
“Idih! Jorok banget.”
Lisa kembali tertawa, tetapi tubuhnya mendorong kursi dan pergi. Dia meninggalkan Sally sendiri.
Mobil parkir di halaman kafe yang cukup luas. Zean turun lalu merapikan pakaian sesaat. Jas dan dasi masih menempel, kacamata hitam bertengger di hidungnya yang mancung.
Langkah kakinya mengayun santai masuk ke area kafe. Suara musik mulai terdengar.
Bisik-bisik pengunjung mulai ikut mengalun. Mereka saling lempar pandang lalu menatap takjub pada sosok rupawan yang tak sengaja menebar pesona.
Mahasiswi dan pelajar menjadi satu di tempat itu, kafe dengan sasaran anak muda karena harga menu low budget.
Zean melepas kacamata, mengedarkan pandangan. Mata hitamnya menangkap sosok yang dicari. Gadis berambut panjang dengan ikatan gaya ekor kuda itu tengah menunduk dan bermain ponsel.
“Kenapa sendirian?”
Suara serak itu sukses membuat Sally mendongak. Dia langsung melengos.
Zean menarik kursi di sebelah Sally. Tanpa peduli, dia mengambil ice coffee yang ada di depan istrinya lalu ikut menyesap melalui sedotan.
Sally membulatkan mata. “Punyaku!” hardiknya kesal.
Zean tersenyum lalu menyodorkan gelas yang habis separuh isinya. “Haus.”
“Siapa peduli? Uangmu banyak, apa nggak bisa pesan sendiri?”
Melihat Sally bersungut, Zean justru merasa senang. Dia hendak menjawab, tetapi Lisa sudah datang.
“Kakak Ganteng.”
Gadis itu antusias, membuat Sally memutar bola mata. Zean mengangguk sambil melempar senyum.
“Kakak mau minum?”
“Tidak. Mau pulang.”
“Oh, oke. Kalau gitu aku bayar.”
“Tidak perlu, aku saja. Kalian di sini.”
Mendengar perintah Zean, Lisa kembali duduk dan hanya menjadi penonton atas perilaku suami sahabatnya itu.
Tubuh Zean yang tinggi tegap dengan langkah tenang ikut menyihir Lisa dan lainnya.
“Ya, ampun, Sa. Beruntung banget punya suami kayak Kakak Ganteng.”
Sally hanya berdecih. Dia lalu mengambil minumannya lagi dan menghabiskan sisa Zean tadi.
“Ayo!”
Tak selang lama, Zean kembali. Dia sudah berdiri di dekat istrinya dan Lisa.
Perempuan yang ditunggu masih tak peduli, Lisa geleng kepala.
“Ayo, Sa! Ditungguin Kakak Ganteng.”
Tak ada jawaban. Minuman dingin itu akhirnya habis. Zean masih setia terdiam, membiarkan Sally bertingkah sesuka hati. Bukankah istrinya memang suka demikian? Menguji kesabaran manusia.
Lisa sudah berdiri lebih dulu lalu diikuti Sally.
Nona muda keluarga Birawan itu memundurkan kursi dan memutar diri. Namun, nasib sial seolah tengah menimpa dirinya. Satu kaki sebelah kiri berbalut sepatu kets itu tersangkut di salah satu kaki meja, membuat Sally nyaris terjatuh.
“Hati-hati,” kata Ze saat berhasil menangkap sang istri.
Beberapa saat mereka berpandangan tanpa diminta. Lisa ikut ternganga, tetapi detik berikutnya dia sengaja berdehem, membuat dua pengantin baru itu saling menjauhkan diri.
“Cieee ….” Sorakan pengunjung saling menyahut. Zean dan Sally berubah canggung.
Gadis sembilan belas tahun itu segera membenahi sweter yang menutup seragamnya. Lalu, kakinya melangkah tergesa. Zean segera menyusul.
Sepanjang perjalanan tak ada obrolan. Sally membisu dengan wajah malas sedangkan Zean tengah fokus mengemudi.
Jalanan kembali dipadati dengan puluhan atau mungkin ratusan kendaraan yang saling berebut untuk segera sampai. Namun, semua usaha akan terasa percuma karena sekarang memang jam pulang orang-orang yang seharian bekerja menyebabkan macet di setiap titik.
Kemacetan cukup lama membuat Zean bosan. Dia melirik Sally dan ingin bertanya, tetapi ragu.
“Kau bisa mengemudi, Gadis Kecil?”
Akhirnya Zean lebih dulu mengajak bicara. Tak ada salahnya mengakrabkan diri.
Hening. Tetap tak ada jawaban. Bibir mungil istrinya seolah sulit sekali untuk terbuka.
Zean mendengkus kasar. “Sa, aku nanya.”
Gadis itu menoleh. “Bisa!” jawabnya ketus.
Zean ganti menghela napas panjang. Belum seminggu menghadapi istri kecilnya sudah harus banyak bersabar.
“Kau marah padaku?”
Diam lagi. Sally benar-benar tak bisa diajak mengobrol meski hanya sebagai pengisi waktu selama terjebak di jalanan.
Gadis ini, sungguh menyebalkan dari yang aku kira.
.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Maharani Chy Fadrus
tapi jangn bikin sellynya terlalu cuek thor g seru
2021-09-14
1
Nurcahyani Nurr
Sally msh beradaptasi inih bng ze.. Sabarrr
2021-08-03
0
Anggra
ahhh Sally ....cowok tampan gt jgn disia"in donk..diem aja😔
2021-03-12
0