...Halo Akak pembaca. Selamat datang di karya pertamaku. Karya ini full fiksi/halu/karangan aku semata, tapi semoga tetap menghibur, ya. Syukur2 ada pelajaran yang Akak ambil dari kisah ini....
...Oiya, Akak baru mampir ke karya ini setelah tamat? mohon maaf sekali, sedang tahap revisi. Beberapa judul belum berubah, jadi dipastikan akan ada banyak hal yang berantakan. Maaf, harap maklum ini karya pertama. Tahun 2021 akhir baru revisi dikit-dikit waktu sempet sampai entah kapan selesainya. kalau mau baca, silakan....
...Terima kasih. 😁...
...Mau baca karya Uki Suki, yang lain? cus follow instagram Ukiii__21 (biar kita bisa akrab😁)...
...***...
“Bob, kemarilah.” Seorang wanita tua dengan rambut yang hampir seluruhnya putih memanggil putranya yang bernama Bobi.
Anak yang dipanggil maju beberapa langkah menuju ranjang pasien, lalu menggenggam tangan wanita itu dengan tatapan pilu. Napas beliau yang keluar masuk kadang terdengar sesak hingga menambah kesakitan hati pada setiap jiwa yang mendengar.
“Ya, Bunda,” jawab sang putra.
Bobi Pratama. Anak angkat keluarga Birawan. Hidup bertahun-tahun di kediaman mereka semenjak diadopsi dari panti asuhan menginjak usia sembilan tahun. Kehidupan yang awalnya nyaris jauh dari kata layak, membuat beliau begitu bersyukur bisa hidup di tengah keluarga yang sangat baik. Tinggal di keluarga Birawan dengan wanita yang dia panggil Bunda dan satu anak lelaki beliau—Tomi Birawan.
Jika kau tanya kenapa Pak Bobi tidak memakai nama keluarga Birawan sekarang? Itu karena saat ini beliau telah kembali ke keluarga Pratama. Keluarga kandung yang pernah kehilangan beliau saat kecil.
Pak Bobi sejak bayi tinggal di salah satu panti asuhan kota A lalu diadopsi oleh Nyonya Birawan. Dia mendapat cinta dan kasih sayang sama besarnya dengan Pak Tomi. Hidupnya tidak kekurangan lagi dan bisa menganyam pendidikan sampai tingkat sarjana. Namun, tepat saat dia memilih bekerja di luar kota, keluarga Pratama menemukannya.
Awalnya semua seolah di luar nalar. Pak Bobi tidak bisa menerima kehadiran keluarga yang mengaku-ngaku memiliki hubungan darah itu. Tak tinggal diam, pihak keluarga Pratama menjelaskan semua pada keluarga Birawan bahkan sampai tes DNA untuk meyakinkan. Akhirnya beliau mau kembali atas dukungan dari Bunda dan Pak Tomi.
Pak Bobi sempat membenci kedua orang tua kandung karena merasa tak disayangi. Ditelantarkan sehingga hidup dari kata layak. Pemuda yang awalnya lembut tiba-tiba berubah kejam. Bahkan, emosinya kadang tidak terkontrol. Akan tetapi, semua berangsur stabil. Lama-kelamaan beliau bisa menerima takdir dan dengan senang hati hidup di keluarga Pratama sebagai penerus.
“Kau sudah Bunda anggap sebagai anak kandungku.” Bunda menarik napas dalam, lalu melanjutkan, “Bolehkah aku minta satu hal sebagai permintaan terakhir?”
Pak Bobi menggeleng lantaran tidak bisa menerima omongan Bunda yang bilang meminta permintaan terakhir. “Bunda, jangan bilang begitu. Semua akan baik-baik saja.”
Nyonya Birawan kembali menarik napas dalam dan membuat menantu yang sejak tadi duduk di sisi lain semakin terisak. Sementata itu, Pak Tomi di sebelah sang istri terus berusaha tegar.
“Aku sudah tua, Bob. Kau tahu, aku sudah sakit-sakitan. Berapa kali dalam sebulan masuk rumah sakit? Aku lelah dan ingin menyusul ayahmu.”
“Tidak, tidak.” Pak Tomi ikut membungkukkan badan sambil menggeleng pelan di dekat Bunda.
“Kalian anakku, tetaplah bersaudara jika aku pergi.”
Kedua pria dewasa itu menggeleng bersama. Mereka kompak tidak terima.
“Bunda, apa saja akan kami lakukan supaya Bunda sembuh,” kata Pak Bobi dan diangguki Pak Tomi.
Bunda justru menggeleng sambil terus mengatur deru napas yang kian sesak. Oksigen terasa susah untuk memenuhi paru-paru wanita tua itu. “Aku minta satu hal terakhir, Bob. Kau mau, kan?”
“Apa, Bunda?”
“Nikahkan putra semata wayangmu, dengan cucuku, Sally. Bunda ingin memastikan kalian tetap bersaudara meski aku sudah tiada.”
Semua orang tercengang, Bu Anna—istri Pak Tomi—semakin terisak tak karuan.
Menikah? Satu kata yang membuat Sally terguncang. Putri sulung dari Pak Tomi dan Bu Anna yang berdiri agak jauh dari ranjang, kini seolah mendapat pukulan godam secara tiba-tiba. Bagaimana bisa dia yang masih pelajar kelas tiga SMA harus menikah. Umurnya saja masih 18 tahun dan tentu tidak kenal dengan anak Pak Bobi.
“Bisakah, Bob? Biarkan aku tenang.”
Bibir Pak Bobi kelu untuk menjawab.
Sebenarnya, menikahkan anak mereka adalah kesepakatan antara Pak Bobi dan Pak Tomi sejak dahulu. Namun, tidak untuk sekarang. Setidaknya menunggu Sally kuliah.
“Bob ….” Bunda memanggil sekali lagi. Beliau menunggu jawaban.
“Bunda, Bobi tidak bisa menjawab ini, biarkan Tomi saja. Dia ayahnya Sally.”
Pak Tomi mengembus napas berat. “Sa, kemarilah.”
Sally mendekat. Dia maju beberapa langkah dengan menyeret kaki yang terasa berat. Air mata sudah ingin tumpah, tetapi ditahan sebisa mungkin.
“Sa, kamu mau penuhi permintaan Nenek, kan?”
“Tapi, Nek. Sally masih sekolah,” jawab gadis itu dengan nada sedikit bergetar.
Semua orang tahu jika kabar itu mengejutkan Sally. Bagaimanapun juga, dia masih terlalu muda untuk menerima hal demikian.
Menikah mungkin impian setiap orang. Membangun keluarga bahagia dengan pasangan. Namun, tentu saja berbeda dengan yang Sally alami sekarang. Gadis itu masih belia, dia harusnya masih memuaskan diri dengan bermain atau serius belajar.
“Tidak apa-apa. Sebentar lagi kamu ujian, kan?”
Sally mengangguk.
“Nenek harap kamu mau, ya?”
Tidak menjawab, bibir mungil yang dimiliki Sally terkatup sempurna. Lidahnya kelu, tenggorokan terasa kering. Bahkan stok oksigen di ruangan itu terasa tipis sampai dia tidak kebagian.
Gadis itu menggeleng mundur, lalu berlari meninggalkan ruangan VIP dengan deraian air mata. Entah ke mana dia pergi seolah memang tiada arah. Hal terpenting yang Sally perlu adalah lari sejauh mungkin karena tidak sanggup menerima kenyataan.
Sementara itu, napas Bunda semakin sesak, tersengal lalu kesadaran semakin hilang. Pak Bobi dengan panik segera memanggil dokter sebelum hal yang serius menimpa ibu angkatnya.
Dokter dan seorang perawat datang dengan segera, lalu memeriksa dan mengecek kondisi pasien. Tak berapa lama, pria bersneli putih itu menggeleng dan membisikkan sesuatu pada perawat yang menemani.
“Tuan dan Nyonya, saya sampaikan maaf sebesar-besarnya.”
Pak Bobi merangsek maju tanpa aba-aba. Dia mencengkeram bahu dokter yang belum selesai bicara. “Apa maksudmu?”
“Pa ….” Bu Lyra mendekat dan erusaha menenangkan suaminya.
“Tuan, ibu Anda telah meninggal. Kami sudah berusaha semaksimal mungkin, tapi Tuhan memiliki kehendak sendiri.”
Tangis Bu Anna pecah dan Pak Tomi segera menarik beliau ke pelukan. Sementara itu, Pak Bobi langsung lemas dan bersimpuh tidak berdaya di lantai.
“Pa, sabar.” Sekuat tenaga Bu Lyra memberi ketenangan suaminya. Beliau mendekap erat dan ikut menangis tersedu.
Perawat perempuan itu bahkan ikut menyeka sudut mata melihat iba setiap anggota keluarga yang ditinggal pergi. Dokter memilih mengajak perawatnya undur diri agar ia tidak ikut-ikutan mengharu.
...***...
Dua pekan berlalu tanpa ada hal terjadi. Suasana haru terkadang masih menyelimuti hati setiap anggota keluarga Birawan.
Suasana makan malam masih saja sepi. Hanya dentingan sendok dan garpu yang sesekali terdengar.
“Mi, Pi, aku mau mengabulkan permintaan Nenek.” Gadis berambut panjang itu mengutarakan kegundahan yang selama ini dia pendam. Ucapan itu menghentikan aktivitas makan orang tua dan adiknya.
“Maksudmu, Sa?” Pak Tomi menjawab sekaligus bertanya.
“Aku mau menikah dengan anak Om Bobi, Pi.”
Pak Tomi dan Bu Anna saling pandang. Mereka merasa heran dengan pernyataan anaknya yang tiba-tiba.
“Biarkan aku menebus kesalahan, biarkan Nenek bahagia di alam sana kalau melihatku menikah sesuai keinginannya dulu.”
“Sa ….” Bu Anna menghela napas panjang, lalu beranjak dan menuju tempat duduk Sally. “Jangan terus merasa bersalah, Sa. Tidak ada yang menyalahkanmu.”
Gadis itu menggeleng. “Enggak, semua salahku, Mi. Kalau hari itu aku enggak pergi, pasti Nenek enggak merasa syok dan sampai anfal.” Air matanya kembali menetes dan Bu Anna segera memeluk. Sally merasa begitu sakit kehilangan nenek yang selalu memanjakannya.
“Sa, nenekmu pergi karena sudah waktunya. Berhentilah merasa bersalah.”
Sally menggeleng lagi. Dia memang keras kepala. “Nikahkan aku dengan anak Om Bobi, Mi. Aku ingin membuat Nenek bahagia.”
Bu Anna menatap Pak Tomi seolah mencari jawaban.
“Sa, kamu yakin?” Sang ayah ikut bicara.
Pertanyaan Pak Tomi, Sally jawab dengan anggukan kepala.
.
.
. Bersambung….
jangan lupa klik lope biar masuk rak favorit, like tiap bab untuk penyemangat.
Visual tokoh dan semua karyaku, ada di IG: ukiii__21
Yuk, follow dan mari kita ngobrol. Hehe
“Sa, kamu kenapa?” Lisa bertanya pada sahabatnya.
Sejak tadi Sally terdiam. Padahal, tidak biasanya demikian saat nongkrong di kafe Tum-tum akhir pekan. Gadis berambut panjang bergelombang itu terlihat risau, entah hal apa yang menggelayuti pikirannya.
“Sa.” Lisa kembali berkata ketika tak kunjung dapat jawaban. Teman sebangkunya itu sampai gelagapan.
“Eh, nggak pa-pa, kok, Lis.”
“Serius?”
“Iya.” Sally mengangguk. Namun, Lisa tak kunjung percaya begitu saja. Dia terus memperhatikan sahabatnya yang terdiam lagi.
“Cerita aja kalau ada yang bisa kubantu.”
Sally menggeleng. “Enggak, ini soal keputusanku kemarin menikah dengan anak Om Bobi.”
“Kamu serius mau terima perjodohan itu?”
Nona Muda Birawan itu kembali mengangguk dan membuat Lisa sedikit menganga. “Sa, seriusan? Kamu nggak pengin batalin?”
“Nggak perlu. Aku masih merasa bersalah kalau inget kepergian Nenek.”
Lisa hanya mengembuskan napasnya kasar. Dia merasa iba pada kehidupan Sally. Mereka masih muda jika harus berumah tangga, tetapi dia juga tahu betapa sayangnya Sally pada keluarga.
“Aku cuma bisa doain kamu yang terbaik, ya.”
Gadis berambut pendek sebahu itu beranjak dari kursi untuk memeluk Sally. Hanya perlakuan itu yang bisa dia berikan. Lisa juga tahu jika sahabatnya dijodohkan dengan pria tujuh tahun lebih tua dari mereka. Hal itu terdengar sangat konyol baginya.
***
Ruang tamu keluarga Birawan sudah rapi. Tamu yang ditunggu hadirnya, sudah tiba dan duduk dengan tenang.
Pak Tomi, Bu Anna, dan Dion ada di sana. Mereka kompak menyambut keluarga Pak Bobi.
Segala persiapan dilakukan dari siang, padahal hanya keluarga Pak Bobi yang datang. Pria yang dahulu pernah tinggal di kediaman itu pula.
“Mi, Sally mana?”
“Oh, ya, Mami panggil dulu, Pi.” Ibu dari Sally dan Dion itu beranjak menuju kamar atas. Dia membuka pintu hati-hati ketika memasuki ruang pribadi Sally.
Bu Anna melihat anak gadisnya masih di depan cermin rias. Dia masih menyisir rambut dan menyematkan satu jepit di atas telinga.
“Kamu cantik. Sudah siap?”
Gadis bermata cokelat gelap itu mengangguk. Dia berusaha mengulas senyum saat sang ibu menatap pantulannya di cermin.
“Kita turun.”
Sally ikut berdiri dan mengikuti langkah ibunya. Bu Anna mulai menuruni anak tangga perlahan.
Tepat sampai di ruang tamu, Sally mengedarkan pandangan. Di sana, sudah ada Pak Bobi dan Bu Lyra. Wajah keduanya menebar senyum saat Sally menatap mereka.
Pandangan Sally bergeser sedikit, melihat lelaki dengan paras rupawan duduk dengan tenang. Penampilannya rapi meski hanya mengenakan kemeja polos hitam seperti rambut dan matanya. Melihat itu, Sally tercenung sesaat. Dia bertanya dalam hati, apa itu anak Pak Bobi dan Bu Lyra? Padahal, dia kira seorang om-om seperti julukan Lisa.
“Ayo, Sayang. Sapa mereka dulu.” Bu Anna menyadarkan Sally, membuat gadis itu segera melangkah mendatangi sofa ruang tamu.
Kakinya berjalan dengan perlahan, Sally hanya mengikuti ke mana Bu Anna melangkah.
“Malam, Om, Tante.” Dia tersenyum manis, meraih tangan kedua orang di hadapannya, mencium bergantian.
“Malam, Sa. Kamu cantik sekali malam ini.” Bu Lyra memuji sambil mengelus lembut rambut gadis yang sudah dianggap anak sendiri.
Pak Bobi ikut tersenyum melihat binar bahagia di raut muka istrinya tercinta.
Menanggapi pujian dari Bu Lyra, Sally membalas dengan lengkungan di bibir. “Terima kasih, Tante.”
“Sa, kenapa hanya calon mertua saja yang kamu sapa? Sapa juga pada calon suamimu.”
“Ah, mamimu benar. Ayo, sapa calon suamimu.” Bu Lyra ikut membenarkan omongan ibunda Sally. Dia menggeser posisi dan mendekati putranya.
Mendengar kata 'suami', hati Sally seakan ingin melompat dari rongga dada. Tubuhnya serasa melayang dalam sekejap dan ingin ambruk. Akan tetapi, Sally harus menguasai diri. Dia tidak ingin membuat malu keluarga.
"Eee … se-selamat malam, mmm …." Gadis itu menggantung ucapan. Dia bingung harus memanggil dengan sebutan apa pada calon suaminya itu. Apa iya harus memanggil om? Tidak! Panggilan itu terlalu tua jika dia melihat perawakan yang saat ini ada di depannya.
"Namanya Zean, Sayang.” Bu Lyra memegang lembut kedua lengan Sally. “Panggil saja dia, Kak Ze,” lanjutnya memberi saran.
Gadis itu mengangguk kaku lalu berkata, “Selamat malam, Kak Ze.” Tangannya mengulur ke depan, mengajak Zean berjabat tangan.
Anak Bu Lyra dan Pak Bobi itu hanya berdiri, sesaat memandang uluran tangan gadis di hadapannya.
“Ze!” Bu Lyra menyenggol tangan sang anak, menyadarkan Zean jika Sally tengah menunggu tanggapannya.
Tak ada ekspresi dari wajah Zean. Dia hanya menyambut uluran tangan Sally sekejap, lalu segera dilepas. Tak ada senyum, kata-kata balasan menyapa juga tidak ada.
Sombong amat.
Batin Sally mengumpat. Dia tak menyangka jika anak Pak Bobi tak seramah ayahnya.
“Jadi bagaimana, Bob?”
"Untuk itu, keluargaku hanya mengikuti sesuai permintaan keluarga kalian saja. Kurasa, Zean tidak keberatan kapan pun itu di laksanakan.”
Pak Tomi mengulas senyum mendengar jawaban saudara angkatnya tersebut. "Bagaimana kalau dua minggu lagi? Kurasa itu waktu yang cukup untuk kita mempersiapkan berkas-berkas yang harus diserahkan pada catatan sipil, bukan?"
Pak Bobi mengatupkan bibir sekilas, beberapa saat mencerna perkataan Pak Tomi. Dia lalu menoleh pada sang istri. Bu Lyra memberi anggukan dan senyuman.
“Baiklah, itu bukan masalah. Biarkan Zean yang mengurus semua ini.”
Hah? Kenapa aku , Pa? Aku sibuk. Ck!
Ingin sekali Zean protes dengan keputusan Pak Bobi. Akan tetapi, tentu saja dia tidak bisa. Memangnya dia siapa? Sesayang apa pun kedua orang tuanya itu, tetap saja Zean tak bisa menolak semua perkataan ayahnya.
Sally menelan ludah secara kasar saat mendengar pembicaraan dua orang tua. Hatinya berdegup dengan pikiran mulai kacau. Dia tidak mengira jika pernikahannya akan dilaksanakan secepat itu. Padahal, Sally kira akan ada acara pertunangan dahulu dan tidak langsung ke jenjang pernikahan. Akan tetapi, ternyata pemikirannya salah. Kedua orang tua dan calon mertua ternyata sama-sama memiliki kesepakatan sendiri.
***
Usai berbasa-basi mengobrol sebentar di ruang tamu. Acara mereka dilanjutkan dengan makan malam. Semua duduk tenang, hanya Pak Bobi dan Pak Tomi paling banyak bercerita. Hal itu, bukan sesuatu yang mengherankan jika mereka begitu akrab, mengingat Pak Bobi dulu tinggal satu atap.
Sally terus menunduk selama makan. Di sebelahnya ada Dion yang ikut melirik, tetapi tak memberi tanggapan. Zean di depan gadis itu menunjuk ekspresi tenang.
“Terima kasih untuk kunjungan malam ini. Sering-sering kemari seperti dulu.” Pak Tomi berkata saat mengantar calon besannya ke depan usai makan malam tadi.
Keluarga Pak Bobi harus segera kembali ke kota C. Akhir pekan, bertepatan malam Minggu pasti jalanan ramai dan macet. Belum lagi jarak tempuh dua jam pasti akan melelahkan bagi pengemudi.
“Tentu kalau tidak ada kesibukan.”
“Kau ini, Bob. Bukannya sudah ada Zean yang membantumu?”
“Ya, tapi aku juga masih harus bekerja.”
Pak Tomi mengangguk-angguk sambil terkekeh. Dia paham bagaimana sibuknya Pak Bobi semenjak memegang Pratama Group.
“Hati-hati kalau begitu, ya.”
Mereka saling berpelukan sebelum pergi. Bu Lyra dan Bu Anna melakukan hal yang sama.
“Sa, main ke rumah kalau kamu libur.”
“Ee, iya, Tante.” Sally menjawab canggung. Dia mana mungkin ke rumah Zean saat belum memiliki status hubungan.
“Jangan sungkan-sungkan. Sebentar lagi kami juga keluargamu.”
Kembali Sally hanya menanggapi dengan senyuman. Dia masih kaku untuk bersikap.
Zean tak jauh dari keluarga hanya melirik, tidak ada niat untuk pamitan pada Sally. Baginya, cukup Pak Tomi dan Bu Anna saja.
Dion tiba-tiba mendekati Zean. “Hati-hati, Kak,” ucap pemuda kelas tiga SMP itu.
“Oh, ya.” Zean menjawab sambil mengacak rambut.
Semua bersiap masuk mobil dan pergi. Keluarga Birawan melambaikan tangan ketika mobil yang dikemudikan Zean meninggalkan pelataran.
.
.
.
Semua siswa bersorak girang, pelajaran tambahan yang dijalani sudah usai. Otak mereka mungkin terasa panas, seharian harus berkutat dengan materi yang diajarkan. Risiko menjadi pelajar tingkat akhir adalah demikian. Tidak ada waktu bersantai dan fokus dengan segala soal-soal.
Lisa memutar badan ke kanan dan kiri karena pegal, Sally yang ada di sebelahnya sampai berdiri agar tidak tersenggol.
Gadis berambut sebahu itu mendongak. Dia tersenyum cerah lantas berkata, “Sa, nongkrong, yuk!”
Sally kembali duduk, diam sebentar sembari berpikir. Dia bingung antara ingin menolak atau menyetujui tawaran Lisa.
“Sa, gimana? Kok, diem?” Lisa menyadarkan Sally karena tak kunjung dapat jawaban.
“Oh, ya. Oke. Tapi, nanti anter aku pulang, ya,” pinta Sally.
“Beres. Yuk cabut!”
Keduanya lekas merapikan buku dan alat tulis, lalu meraih tas segera meninggalkan kelas.
Mereka berjalan santai melewati koridor. Keadaan sudah sepi karena hanya kelas dua belas saja yang pulang terlambat. Teman-teman lain juga sudah berhamburan sejak tadi, mungkin semua siswa juga ingin segera pulang.
“Eh, Sa. Gimana pertemuanmu dengan om-om itu?”
Langkah Sally mendadak berhenti ketika mendengar Lisa mengucap ‘om-om’.
“Eh.” Lisa merasa ada yang salah, ia kemudian menyeringai tidak jelas. “Kamu marah?”
Alis Sally naik sebelah, sorot matanya menajam melihat seringaian menyebalkan dari Lisa. “Kenapa?”
“Ee … itu ....” Lisa mendadak kikuk, merasa tak enak mendapat tatapan seperti itu dari sahabatnya sendiri. “Kukira kamu marah, karena aku memanggilnya om-om?”
Sally berdecak. “Enggak! Itu urusanmu.”
“Tapi tiba-tiba kamu jadi ketus gini. Tersinggung, ya?” Lisa sungguh tak mau menyerah. Dia terus mendesak Sally entah kurang peka atau memang tidak paham.
Desakan itu membuat Sally jadi malas. Tanpa menjawab, Nona Muda Birawan itu segera mempercepat langkah.
“Sa, tungguin!” Lisa segera berlari, menyusul Sally yang sudah lebih dulu sampai di parkiran dekat mobilnya berada.
“Gadis Kecil, kau di sini rupanya! Aku menunggumu sejak tadi.”
Lisa menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah sumber suara. Sama halnya dengan Sally, gadis itu ikut memutar badan memastikan tidak salah dengar.
Kedua mata Sally dan Lisa membulat penuh, keduanya tidak percaya dengan pemilik suara yang sudah berdiri tak jauh dari posisi mereka.
Oh, No! Kenapa dia di sini? Bagaimana bisa?
Sally jelas terkejut dengan hadirnya Zean di lingkungan sekolahnya, padahal dia tidak minta dijemput sampai tempat itu.
Berbeda dengan Sally, Lisa yang terpesona tanpa sadar datang mendekat pada lelaki tersebut.
“Eum … Kakak Ganteng, cari siapa, ya?” Lisa bertanya malu-malu, sambil senyum-senyum sok manis.
Pria itu hanya melirik sekilas. Akan tetapi, respons seperti itu sudah membuat Lisa klepek-klepek dan tidak mau berkedip.
Zean maju beberapa langkah menghampiri Sally. Gadis itu kelabakan. Secara reflek dia mundur dan terjebak di tempat karena punggung menabrak pintu mobil Lisa.
“Ayo!” Zean tak butuh jawaban. Tangan mengulur teratur dan membawa Sally ikut ke mobilnya untuk dibawa pergi.
Di tempat itu, Lisa masih terbengong. Dia hanya bisa menatap bodoh atas kepergian sahabatnya tadi tanpa mendapat kata perpisahan.
“Sally, kamu jelaskan padaku!” Lisa berteriak sekencang-kencangnya meski jelas-jelas percuma. Mobil putih yang dikendarai Zean sudah memelesat meninggalkan sekolahan.
***
“Eum ... Kak Ze ngapain ke sekolahku?” Sally mencoba memberanikan diri bertanya pada pria di sebelahnya karena sejak tadi heran dan diabaikan. Fokus Zean hanya ada pada jalanan aspal di depan mata seolah Sally adalah makhluk tak kasat mata dan tidak perlu dianggap.
“Disuruh Mama menjemputmu,” jawabnya sekilas tanpa menoleh.
“Oh ….” Satu kata yang hanya bisa diucap Sally. Gadis itu tak bisa berkata lagi.
“Gadis Kecil, kenapa kau mau menikah denganku?” Zean akhirnya bertanya. Akan tetapi, fokusnya tetap di jalan raya yang terlihat begitu panas.
“Emm … itu karena aku ingin mengabulkan permintaan terakhir Nenek.”
Jawaban Sally mengundang Zean menoleh, sedetik kemudian seringai sinis terbit di bibirnya yang sedikit tebal. Sikap itu membuat Sally tertegun. Kenapa bisa Zean menunjukkan ekspresi tidak bersahabat seperti itu?
“Kau sangat menyayangi nenekmu sepertinya? Penurut sekali.” Ucapan Zean terdengar sangat meremehkan, sontak membuat Sally ikut tersindir.
“Ya, tentu saja!” Sally membalas dengan nada ketus, membuat Zean kembali tersenyum sinis.
“Apa kau tetap akan menuruti kemauannya kalau saja yang dijodohkan denganmu adalah pria tua?”
Pertanyaan Zean makin menjadi. Sally rasa, itu tak perlu dilanjutkan lagi.
Dia tidak menyangka jika Tuan Muda Pratama itu begitu menyebalkan, padahal kemarin saat bertamu tidak menunjukkan ekspresi demikian. Zean sangat ramah dan sopan. Siapa mengira jika hanya berdua seperti saat ini, pria itu berbeda. Apakah sifat aslinya memang begitu? Sally tentu tidak tahu.
***
“Turun!” perintah lelaki itu saat mobil sampai di parkiran sebuah toko perhiasan.
Kenapa ke sini? Dia bilang menjemputku. Tapi ternyata dibawa ke sini tanpa memberi tahu.
“Ada perlu apa? Kenapa kita ke sini?”
Zean tak menjawab, tetapi justru menarik tangan Sally memasuki toko perhiasan yang terlihat mewah itu. Bangunan cukup besar dengan pintu dan jendela full kaca. Perhiasan berderet rapi di etalase.
“Selamat datang, ada yang bisa kami bantu, Tuan.” Seorang pekerja menyapa dengan senyum mengembang di wajah.
“Kami butuh cincin pernikahan,” jawab Zean santai, tetapi bisa membuat tubuh Sally tersentak.
Lelaki itu menoleh pada gadis SMA di belakangnya, menatap aneh dengan satu alis terangkat. Kemudian, dia berkata, “Kenapa? Kau ingin menikah tanpa pakai cincin?”
Sally menggeleng.
“Kalau begitu, ayo! Jangan membuatku membuang waktu.” Zean menarik sedikit kasar, membuat Sally kesal.
“Silakan, Tuan.”
Belum sempat mencoba cincin yang akan dipilih, ponsel Zean berbunyi. Dia keluar tanpa permisi untuk mengangkat panggilan, meninggalkan Sally sendiri.
Merasa bingung, gadis itu ikut pergi. Dia pamit ke toilet dan diangguki kepala oleh pekerja tadi.
Zean kembali, tetapi tak didapati Sally. “Di mana dia?” Dia bertanya pada pegawai toko dan hanya diberi jawaban kalau Sally ke toilet.
Menunggu cukup lama membuat Zean kesal. Akhirnya dia memutuskan untuk menyusul.
Di toilet, Zean tidak mungkin masuk. Dia kembali menunggu sambil bersandar di dinding.
Beberapa waktu terlewat, tetapi tak kunjung Zean dapati keberadaan calon istrinya. Hal itu membuat pria 26 tahun itu semakin jengkel.
Satu petugas kebersihan lewat dan akhirnya dimintai tolong untuk mengecek apakah ada gadis SMA di dalam. Namun, kata wanita itu tidak ada.
Zean mendengkus, menyugar rambutnya ke belakang dan merogoh kantong celana. Beberapa lembar uang dikeluarkan dari dompet. Kemudian, dia pindahkan ke tangan petugas kebersihan yang tadi membantu.
Ck! Di mana gadis kecil itu.
Dia meninggalkan toilet dengan sedikit mengumpat. Kemudian, Zean kembali mengelilingi toko perhiasan yang lumayan besar itu.
Mata hitamnya memicing ketika melihat bayangan kecil di sudut ruangan. Satu gadis berseragam SMA tengah asyik mencoba gelang tangan. Wajah Zean yang sejak tadi tak ramah semakin kusut. Kakinya melangkah lebar untuk menghampiri.
“Ikut aku!” Tanpa perasaan, Zean menarik lengan Sally secara kasar. Gelang yang dipegang calon istrinya langsung dikembalikan ke tempat.
Langkah Sally terseok mengikuti kecepatan Zean. “Sakit, lepas!” Dia sampai meringis akibat cengkeraman kuat dari Zean. Akan tetapi, pria itu seakan tuli dengan keluhan gadis di belakangnya.
“SAKIT!” Sally tak tahan dan berakhir dengan sebuah teriakan.
Zean mengempas lengan secara kasar. “Siapa yang menyuruhmu menghilang begitu saja? Kau kira aku mengajak ke sini untuk jalan-jalan?”
“Apa maksudmu?” Sally ikut menyeru. Dia tidak mau kalah meski sedikit takut.
“Apa kau bodoh? Tentu saja aku mencarimu gara-gara kau pergi tanpa pamit, sampai harus menunggu di toilet wanita yang membuatku malu.”
“Aku memang ke toilet tadi. Karena kamu meninggalkanku sendiri.”
“Lalu kenapa tidak kembali ke tempat semula jika sudah selesai?”
“A … ak—” Sally tak bisa menjawab. Dia tak mungkin mengaku jika malas untuk membahas pernikahan. Apalagi sampai harus mengurusinya seperti ini.
“Kenapa diam?” Zean terus membentak. Hal itu membuat Sally menunduk dan kehilangan keberanian. Mata cokelatnya berubah mengembun. Dia ingin menangis.
Tidak kunjung mendapat jawaban, makin membuat Zean emosi. “Kau mau pulang atau kita lanjutkan memilih cincin?”
“PULANG! Aku mau pulang!” Sally berteriak dan mendorong tubuh Zean. Gadis SMA itu segera masuk mobil dan tidak ingin peduli lagi.
Zean yang geram mengepalkan kedua tangannya seakan siap untuk meninju siapa pun yang ada di dekatnya saat ini. Hatinya terasa panas karena emosi. Belum lagi rasa lelah selama perjalanan dari kota C tadi.
.
.
. Bersambung….
Makasih sudah membaca.
Visual dan semua tentang mereka, ada di sorotan instagram
@ukiii__21.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!