“Hei, kenapa lama sekali!” Teguran kesal langsung menyambut Sally ketika gadis itu baru menggeser icon hijau dari ponsel.
Mata Sally membulat penuh ketika melihat wajah siapa yang tengah memenuhi layar ponsel miliknya.
Otaknya tiba-tiba tumpul dan tidak bisa diajak berpikir. Bibir Sally ikut kelu sampai tak bisa menjawab.
“Hei! Kau di mana? Kenapa yang kulihat hanya tumpukan buku?” Zean terus protes. Pria itu tidak terima karena tak kunjung dapat jawaban dan tidak melihat orang yang dihubungi.
“Hei! Apa kau dengar?” Wajah Zean yang kesal terlihat kentara.
Sally cepat-cepat mengalihkan kamera. “Iya,” jawabnya malas tanpa rasa bersalah.
“Huh! Dari mana saja kau?”
Sally tak kunjung menjawab. Dia malas meladeni Zean. Rasa kesalnya belum hilang lantaran pertikaian tadi sore begitu membekas di hati.
“Hei, aku tanya.”
“Iya, aku juga tahu.” Sally berkata jutek.
“Huh.” Zean menatap remeh. “Lalu dari mana kau?”
“Tidak dari mana-mana.” Sally menjawab asal. Raut wajahnya memperlihatkan ekpsresi dingin dan ketus, tidak ada bagus-bagusnya sama sekali. Andai saja Zean bukan seorang pria, pasti dia sudah tersulut emosi dan mematikan panggilan.
Akan tetapi, pria itu justru tersenyum miring. Melihat tingkah Sally, Zean menebak kalau gadis itu masih begitu labil. Kelak, jika menikah pasti akan merepotkan. Memikirkan itu saja, membuat anak Pak Bobi itu menertawakan dirinya sendiri.
Seorang Tuan Muda Pratama, hidup serba mudah, tetapi segalanya harus diatur sang ayah. Hebatnya lagi, Zean tidak bisa mengelak barang sedetik saja. Otak pria itu tidak bisa menjangkau pikiran Pak Bobi. Begitu tega beliau meminta Zean menikahi Sally.
“Ada apa? Dapat dari mana nomorku?” Sally melempar pertanyaan karena sejak tadi Zean tak menyahut lagi. Pria itu hanya terdiam dengan ekspresi yang tidak bisa Sally mengerti.
Kedua mata bening Zean mengarah pada ponsel, memandang wajah Sally yang masih kesal. “Kenapa responsmu seperti itu? Apa aku ini mengganggu?”
“Tentu saja!” Sally menyergah cepat.
Gelak tawa terdengar dari sambungan telepon. Sally jadi bingung karena merasa tidak ada yang lucu. Namun, kenapa Zean bisa terbahak-bahak demikian? Apa dia setengah tidak waras? Oh, entahlah. Sally sendiri tak begitu mengenal putra semata wayang keluarga Pratama itu.
“Kau marah padaku, Gadis Kecil?” Usai puas tertawa, Zean kembali menjadi manusia normal. Dia sudah tenang dan ekspresinya kembali datar. Dia begitu cepat mengubahnya.
Sally tak langsung menjawab. Lelah berdiri, dia menarik kursi belajar dan duduk. Kemudian, dia baru berkata, “Enggak! Buat apa marah? Lagi pula, aku nggak paham dengan apa yang sedang kamu bahas.” Dia menyibak rambut sebentar. “Dan satu lagi, aku minta jangan memanggilku gadis kecil!” Nada bicara dia tekankan di kata terakhir, pertanda gadis itu tidak menyukai panggilan yang diberikan Zean.
Bagi Sally, umurnya memang masih belia. Akan tetapi, dia merasa sudah cukup dewasa dalam menyikapi segala hal. Menjadi anak sulung, tentu Sally merasa harus bisa melindungi adiknya.
Zean tertawa lagi. Perlakuan itu membuat Sally bergidik sendiri, menerka-nerka apakah Zean ini memang gila? Kenapa harus demikian?
“Baiklah jika tidak marah. Aku hanya mau bilang besok kujemput lagi. Urusan kita belum selesai soal cincin. Tunggu aku di sekolah dan kuharap kau tidak mengacau kembali.”
Mendengar perkataan Zean, kedua mata Sally melotot. Gadis itu tidak terima disalahkan. Memangnya siapa mau mengurusi semua sendiri jika orang yang membawa saja tidak ada.
“Enak saja!” Sally menyela cepat. “Kamu bilang aku mengacau? Huh! Tidak berkaca. Itu salahmu!”
“Hei! Jelas saja itu salahmu. Siapa yang menyuruhmu hilang tiba-tiba, sehingga membuatku malu?” Zean memotong cepat. Pria itu enggan untuk mengalah. Badannya sudah lelah perjalanan tadi, tetpi Sally seolah sulit diajak bicara.
Mendengar penyelaan itu, Sally tertawa sumbang. Perlakuan itu terlihat jelas jika dia tengah meremehkan Zean. “Oh, Anda juga punya malu, Tuan Muda Pratama?” Gadis itu bicara dengan nada menyindir. Sontak, membuat Zean benar-benar meradang.
“Apa maksudmu?” Kedua mata Zean membulat, alisnya menaut pertanda tidak sedang main-main.
Melihat hal itu, Sally menelan ludah. Baginya, Zean mendadak terlihat menyeramkan. Tidak ingin memperpanjang masalah, dia segera mengalihkan perhatian. “Eng-enggak, aku cuma bercanda. Sudah dulu, ya. Aku harus belajar.”
Panggilan dimatikan Sally secara sepihak tanpa menunggu jawaban Zean.
“Hei!” Zean meneriaki layar ponsel yang sudah mati. “Huh! Gadis aneh.”
Bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. “Sepertinya aku dapat mainan baru.”
Panggilan sudah berlalu beberapa jam lalu. Waktu ikut bergulir. Sekarang, jam menunjuk ke angka sebelas. Namun, Sally masih terlihat berkutat dengan buku. Akibat terlalu serius, dia lupa berapa lama diam dalam posisi demikian.
“Huah, akhirnya selesai.” Buku latihan terakhir dia tutup. Matanya mulai lelah dan harus beristirahat. Padahal, Sally jarang sekali belajar sampai larut. Paling lama, dia biasanya jam sembilan sudah mulai merangkak ke ranjang.
Meja dan kursi telah rapi kembali. Nona Muda keluarga Birawan itu bergegas ke kamar mandi untuk membersihkan diri sebelum terjun ke dunia mimpi.
Wajah Sally sudah segar usai dibasuh, pakaiannya sudah diganti kaus oblong dan celana katun pendek sepaha. Dia menyambar ponsel, lalu menuju kasur yang empuk.
Ponsel dia buka dan langsung muncul beberapa pesan. Sally sengaja mendiamkan benda itu sejak panggilan dari Zean terputus tadi.
[Sa, siapa laki-laki tadi yang mencarimu?]
[Sa, kamu bilang akan dijodohkan, kenapa kamu memiliki pria lain?]
[Sa, kamu harus menjelaskan padaku!]
[Hei, Sa, kenapa kamu enggak membalasku?]
[Sa, apa kamu marah padaku?]
Begitu banyak pesan yang Sally terima, membuat gadis itu tersenyum geli. "Dasar Lisa," decaknya.
[Maaf, aku baru sempat membalas pesanmu. Aku enggak marah, kok.]
Tanpa menunggu lama, balasan pesan yang baru Sally kirim beberapa menit lalu sudah tiba.
[Hei, ke mana saja kamu? Aku bahkan sudah menebak sesuatu yang enggak-enggak. Beri aku penjelasan.] Emoticon marah terselip di akhir kalimat, membuat bibir Sally tertarik ke atas.
[Besok aja, ya. Aku ngantuk sekarang. Pengin cepet tidur. Capek.]
[Kamu bilang apa? Capek? Memangnya kamu habis melakukan apa? Kamu bahkan nggak peduli denganku yang sejak tadi menunggu balasanmu.]
Melihat balasan itu, Sally jadi membayangkan wajah cemberut Lisa. Gadis itu mengulum senyum tanpa niat membalas. Pikirnya, besok juga ketemu.
.
.
.
.Bersambung
Terima kasih sudah mampir. Karya pertama saya masih amburadul, ya. Silakan lanjut jika masih nyaman. Hehehe,
Mau tahu info karya-karya dari Uki Suki yang lain? Silakan singgah di instagram @ukiii__21. Visual, spoiler bab, waktu update dibagikan di story.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
alisha
mampir dating agency Cyrano
2021-01-09
1