Sore yang melelahkan, itulah yang dirasakan hampir semua siswa kelas dua belas. Seharian mereka berkutat dengan buku-buku pelajaran. Hari ujian akhir semakin dekat. Bahkan try out pertama akan dilaksanakan dua minggu lagi.
Lisa dan Sally segera meninggalkan kelas. Mereka berjalan santai menyusuri sepanjang koridor. Langit sore terlihat cerah. Sang surya masih menyorot dunia dengan hangatnya. Kumpulan awan seputih kapas masih terhampar di atas sana.
"Sa, bagaimana dengan pernikahanmu?" Lisa membuka suara. Sejak tadi dia hanya mengatupkan kedua bibir.
Sally mengangkat tangan, mengedikkan bahu. "Enggak tahu, semua yang mengurus orang tua kami."
Lisa hanya mengangguk. "Sa, by the way, apa laki-laki yang jemput kamu beberapa hari lalu itu calon suamimu?" tanyanya lebih lanjut.
Sally menghentikan langkah sejenak untuk menatap wajah Lisa. Kedua pasang mata cokelat mereka bertemu, kemudian disusul dengan anggukan kepala.
"Hah!" Lisa terhenyak. Dia menutup mulutnya yang menganga karena syok dengan jawaban Sally.
Bagaimana bisa? Seorang laki-laki tampan itu adalah calon suami Sally? Lisa tidak habis pikir. Padahal, dalam bayangan gadis itu adalah seorang pria tua yang pantas dipanggil 'om' untuk seumuran anak SMA. Namun, di luar dugaan ketika dia melihat wujud asli pria itu.
"Sudahlah, aku tahu apa yang kamu pikirkan. Ayo, pulang!" Bahu Lisa ditepuk Sally untuk menyadarkan.
Sally tak berucap lagi usai menjawab pertanyaan Lisa. Otaknya penuh dengan pikiran tentang pernikahan yang tinggal menghitung hari.
"Sa, sorry, ya. Selama ini aku udah salah sangka sama calon suami kamu." Tangan Lisa meraih lengan Sally, sedikit menggoyang-goyangkannya.
Sally menoleh. "Buat apa minta maaf? Kamu, tuh, harusnya minta maaf sendiri sama dia. Bukan aku," ujarnya sambil tersenyum tipis.
Lisa menunduk, merasa bersalah pada Sally karena terus memanggil Zean dengan panggilan yang tak seharusnya.
Dua gadis yang sejak tadi mengobrol, kini sampai di parkiran. Sally sengaja pulang bersama Lisa karena sang ayah akan lembur, sedang sopir di rumah hanya seorang. Beliau selalu sibuk mengantar Bu Anna dan menjemput Dion.
"Lisa!"
Suara seorang laki-laki yang tengah memanggil nama gadis berambut pendek itu terdengar di telinga. Lisa menoleh ke sumber suara dan matanya bertemu pandang dengan sosok lencir berperawakan proporsional, berambut cokelat, mata biru sedang melambai dan tersenyum lebar padanya.
"Kak Leon?" Lisa tercengang saat mendapati kakak sepupunya tiba-tiba berada di sekolah.
"Hai," sapa lelaki itu saat sudah di depan kedua gadis yang merupakan adik kelasnya dulu. Senyum manis dan sikap ramah terpancar dari wajah Leon.
"Ngapain Kakak ke sini?" tanya Lisa masih dalam kondisi heran karena sudah lama hilang kontak dengan sepupunya satu ini. Leon kuliah di kota C, sedang Lisa sibuk mempersiapkan diri ujian.
"Ini, tadi ada perlu minta legalisasi ijazah." Tangannya mengangkat map yang dibawa.
Lisa mengangguk, sedangkan Sally masih terdiam sedari tadi. Hanya mengamati kedua saudara itu bertegur sapa.
"Kamu, Sally, kan?" Pandangan Leon beralih pada gadis di samping sepupunya.
Sally mengangguk dan tersenyum. Senyuman itu begitu manis di mata Leon, membuat hatinya berbunga. Tak memungkiri, adik kelasnya itu terlihat semakin cantik. Dia adalah gadis yang ada di hati Leon sejak SMA. Hanya saja, Leon tidak pernah mengungkapkan perasaannya. Dahulu, dia hanya fokus pada ujian akhir, sedangkan Sally baru masuk sekolah SMA tersebut.
"Kalian mau pulang? Mampir makan dulu, yuk!" ajaknya.
Lisa menatap Sally seolah mencari persetujuan. Meski Pak Tomi dan Bu Anna begitu akrab dengannya, tetapi dia juga tahu batasan dalam membawa anak orang.
"Eum, kapan-kapan saja ya, Kak. Aku ingin segera pulang saja," tolak Sally pada akhirnya karena Lisa juga tak memberikan jawaban.
Leon sekilas mengalihkan pandangan pada Lisa untuk mencari jawaban kedua.
"Makan di rumah sajalah, Kak. Mama pasti seneng liat Kakak." Akhirnya Lisa meminta kakak sepupunya itu untuk mampir di rumah. Sekalian bertemu ibunya.
Mereka segera masuk ke mobil masing-masing. Lisa mengantar Sally pulang terlebih dahulu, sebelum kembali ke rumah bersama Leon yang sejak tadi mengikuti di belakang.
Tiba di kediaman Birawan, Pak Im segera membuka pintu gerbang sedikit agar nona muda itu masuk.
"Makasih, ya, Lis." Sedikit membungkukkan badan, Sally berbicara dengan Lisa yang berada dalam mobil.
"Sama-sama, kayak sama siapa aja kamu ini," celetuk Lisa pada teman sebangkunya yang selalu menemani ke mana-mana.
"Hati-hati, ya, kalau gitu. Salam buat Tante dan Om."
"Oke, aku balik dulu ya. Bye ...."
Sally melepas Lisa dengan lambaian tangan, kemudian diikuti senyum pada Leon yang ada di belakang mobil sahabatnya.
Gadis itu membuang napas sebelum memasuki area rumah. Pak Im yang sejak tadi berdiri di samping gerbang hanya mengamati. Beliau menganggap jika anak majikannya itu sedang lelah.
"Capek banget, ya, Non?"
Pertanyaan pak Im membuat Sally berhenti sejenak. "Lumayan, Pak Im,” jawabnya.
"Sabar ya, Non. Bentar lagi juga lulus. Habis itu bebas.”
Sally mengernyit, kurang mengerti dengan omongan Pak Im.
“Kalo soal kuliah, kan, bisa ditunda, Non. Andai masih capek," lanjut Pak Im.
Omongan yang keluar dari mulut pak Im membuat Sally tertawa, sejenak dia lupa dengan penat perasaan di hati. Memang dia lelah dalam pelajaran sekolah, tetapi lebih lelah lagi hatinya yang tahu bahwa masa lajangnya hanya tersisa dua hari.
Dia berjalan gontai, melepas tas dari pundak dan memilih menenteng bak kantong kresek.
"Sudah pulang, Non? Mau Bibi bikinkan minum?"
Sally mengempaskan tubuh di sofa, menatap Bi Mur sekilas. Dia tengah berpikir, minuman apa yang cocok untuk saat ini.
"Jus jeruk aja deh, Bi." Akhirnya, minuman favorit menjadi pilihan Sally.
"Tunggu, ya, Non."
Gadis itu mengangguk. Dia duduk merosot di sofa. Ikatan rambutnya juga dilepas, lalu tangan bergerak mencari ponsel untuk memeriksa pesan masuk.
Tidak ada yang spesial, hanya ramai dengan obrolan grup kelas. Beberapa siswa yang tampak tengah membahas materi try out yang akan diadakan.
Dia meletakkan ponsel dengan malas, lalu memejamkan mata.
"Nona, ini jusnya." Bi Mur datang dengan segelas jus jeruk serta beberapa potong kue.
"Terima kasih, ya, Bi. Duduk sini, deh."
Bi Mur menurut, duduk dengan tenang di samping Sally. Gadis itu sudah menganggap Bi Mur seperti keluarga sendiri. Lewat beliau pula dia belajar mengerjakan pekerjaan rumah tangga, terutama belajar memasak. Sally sejak SMP sudah mulai bisa memasak. Meski hanya belajar saat akhir pekan, tapi dia belajar dengan cepat.
Pak Tomi dan Bu Anna tidak pernah membatasi ruang gerak kedua anak mereka. Apa pun itu, keinginan anak-anak selalu dipenuhi. Menjadi anak orang kaya, bukan berarti harus penuh aturan. Pak Tomi dan Bu Anna justru membebaskan anak-anaknya dari pengekangan. Namun, bukan berarti kedua orang tua itu tak peduli. Semua gerak-gerik tetap mereka perhatikan.
"Bi, aku galau, deh." Sally mulai bicara dan hanya ditanggapi dengan perhatian saksama oleh Bi Mur.
"Pengin aku batalin aja, Bi, pernikahan aku." Sally memeluk bantal sofa, memasang ekspresi wajah lelah.
"Yang sabar, ya, Nona. Ini, kan, kemauan Nona. Tinggal dua hari. Apa iya, Nona mau bikin Papi dan Mami sedih lalu menanggung malu?"
Sally menghela napas. "Tapi, Bi. Gimana rasanya kalau nikah sama orang yang enggak kita kenal, apalagi kita benci.” Wajahnya tiba-tiba masam ketika mengingat tampang Zean yang menyebalkan.
Bi Mur tersenyum, lalu menjawab, "Cinta, kan, bisa karena terbiasa, Nona. Zaman dulu bahkan jarang yang nikah tanpa perjodohan. Apalagi karena dasar cinta. Sangat jarang.” Sally menoleh, sambil mendengar setiap ucapan wanita di sampingnya.
"Lagi pula, Bibi lihat Tuan Muda Zean juga tidak jahat. Dia tampan dan kaya, tuh." Nada menggoda sedikit terdengar di akhir kalimat Bi Mur.
.
.
.
_____
Maacih udah mampir. Carangeo ❤
Mampir ke IG aku, ya, buat ngobrol-ngobrol: ukiii__21
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Anggra
lanjuttt😘😘
2021-03-11
0