Siang hari, Zean sibuk memindai berkas dan laporan yang menumpuk. Semua itu harusnya sudah selesai kemarin. Namun, gara-gara Bu Lyra meminta sang anak ke rumah calon mantu, pekerjaan jadi ikut terbengkalai.
Pria dua puluh enam tahun itu begitu serius dalam bekerja, seolah tidak memiliki urusan lain selain apa yang sedang dia hadapi sekarang.
“El.” Zean memanggil asisten pribadinya. Pria yang satu ruangan dengan Zean itu lekas berdiri.
“Iya, Tuan Muda.”
“Bagaimana kerja sama dengan Tuan Miko?” Zean bertanya sembari meraih gelas kosong di meja. Dia berdiri, lalu bergerak ke sisi di mana ada dispenser di sudut ruangan.
“Belum ada info terbaru, Tuan. Saat ini beliau sedang ada di luar negeri. Pihak perusahaan tidak ada yang mewakili untuk sekadar mengadakan pertemuan.”
Zean manggut-manggut tanpa mengalihkan perhatian dari pemandangan luar gedung Pratama Group. Suasana kota C yang terik, di sekeliling dia bekerja terdapat banyak pula bangunan pencakar langit.
“Pergilah, istirahat jika belum makan siang.”
“Anda tidak makan?”
Zean menoleh lantas menggeleng. “Tidak, sebentar lagi aku pergi. Kau saja sendiri.”
Usai mendengar alasan itu, Elo mengiyakan dan segera pergi.
Pria bernama lengkap Delon Bagaskara dan sering disapa Elo itu meninggalkan Zean. Dia membirkan sepupunya, tanpa ingin bertanya banyak. Ya, Elo dan Zean saudara dari pihak ibu. Bu Lyra adalah adik dari ibunda Elo.
Panggilan tuan muda hanya sebatas formalitasnya di kantor, jika di rumah, Elo akan bersikap seperti keluarga.
Awal-awal Elo bekerja, Zean tidak mau dipanggil demikian. Namun, karena sang kakak sepupu menjelaskan dengan hati-hati, luluh juga hatinya.
Waktu terus berputar tanpa dirasa. Zean yang sejak tadi sibuk, sesekali melirik jam di pergelangan tangan. Dia harus memastikan jika tidak terlambat. Mengingat perjalanan antara kota A dan C tidaklah singkat.
Laptop yang masih menyala, dia matikan. Zean lantas berdiri dan menyambar jas untuk dikenakan kembali.
Melihat atasannya beranjak, Elo dengan sigap berdiri pula.
“Tuan Muda.”
Langkah kaki Zean berhenti di dekat meja Elo yang satu ruang dengannya. “El, aku harus pergi. Aku serahkan semua urusan padamu.”
Pria dua puluh lima tahun itu mengangguk. Dia tahu ke mana Zean akan pergi.
Tangan Elo kemudian menarik laci kecil di sisi meja kerja, meraih kunci mobil dan memberikannya pada Zean.
“Anda yakin sendiri, Tuan Muda?”
Zean menarik tangan dari saku celana. “Tentu saja. Aku tidak perlu kau iringi ke mana pun. Pulanglah tepat waktu, tak perlu lembur apalagi menungguku.”
“Baik.”
Bola mata berwarna cokelat yang Elo miliki mengiringi kepergian Zean. Pria itu lantas menghela napas sambil menggelengkan kepala. “Ze, Ze, sial sekali sepertinya dirimu.”
Pria itu kadang kasihan dengan kehidupan Zean yang terlalu banyak tekanan. Namun, dia tak bisa berbuat apa pun. Pak Bobi memang keras sejak mereka sekolah. Apalagi saat Zean sudah masuk perguruan tinggi, dia seolah tak ada waktu untuk bermain kembali.
______
Ruang kelas salah satu sekolah elite di kota A memperlihatkan suasana belajar mengajar. Para siswa sedang serius memperhatikan penjelasan guru pembimbing.
Ujian akhir semakin dekat, pihak sekolah tentu tak main-main untuk mempersiapkan anak didik mereka. Tambahan pelajaran selepas jam belajar mulai aktif diberikan, pulang lebih telat akan dirasakan semua siswa kelas dua belas.
Lisa tampak bosan. Beberapa kali gadis itu menguap tapi tak dipedulikan Sally. Calon istri Zean itu berusaha fokus dan tetap terjaga meski sebenarnya dia juga mengantuk lantaran kemarin malam tidur terlalu larut.
“Lis, bangun.” Gadis berambut panjang itu mencoba membangunkan sahabatnya ketika Lisa mulai menaruh kepala di atas meja. Dia takut jika nanti dimarahi guru yang ada di depan.
“Lisa.” Tangan Sally ikut menggoyangkan tubuh gadis di sebelahnya tapi percuma. Lisa sudah terbang bebas ke alam mimpi.
Akhirnya Sally menyerah dan membiarkan Lisa tidur hingga jam tambahan itu berakhir.
“Lisa, bangun.” Sally harus membangunkan lagi karena harus pulang. Tidak mungkin dia meninggalkan teman sebangkunya itu sendiri.
“Lisa.” Kepala gadis itu sampai dipukul dengan buku oleh Sally.
“Auh.” Dia mengerang dan akhirnya mengangkat kepala. Mata cokelat Lisa mengerjap-ngerjap dengan wajah bantal menyebalkan. “Apa, sih, Sa?”
Sally memutar mata malas. “Bangun. Kamu nggak mau pulang?”
“Hm.” Sahabat Sally itu hendak menaruh kepala di meja lagi tapi ditarik Sally segera.
“Bangun, Lisa! Sudah waktunya pulang. Kalau nggak mau bangun, kamu aku tinggal!” ancamnya tak peduli.
Mendengar itu, Lisa segera mengumpulkan kesadaran. Dia gelagapan melihat kondisi kelas yang mulai sepi.
“Hah? Kenapa kamu baru bangunin aku?”
Sally mengerecutkan bibir. “Aku udah bangunin dari tadi. Kamu aja yang tidur kayak orang pingsan.”
“Oh, benarkah?”
Sally tak menjawab.
“Oke, oke, maaf. Ayo beresin buku kita.”
Tanpa bicara lagi, Sally memunguti peralatan belajarnya. Setelah selesai, kedua gadis itu lekas meninggalkan kelas.
Angin sore berembus pelan menyejukkan raga. Rambut mereka yang terikat ekor kuda ikut tertabrak dan mengayun. Kondisi lingkungan sekolah mulai sepi mengingat hanya siswa kelas dua belas dan beberapa guru yang pulang belakangan.
Keduanya menyusuri koridor dan segera menuju parkiran.
“Sa, bareng nggak?”
Sally menggeleng. “Enggak usah. Aku ada urusan.”
“Urusan?”
Sally mengangguk tanpa berniat menjelaskan.
“Urusan apa?”
“Rahasia.”
“Idih, pelit banget.”
Nona muda keluarga Birawan itu tak lagi menjawab. Dia sedang malas karena badannya terasa letih akibat kurang tidur sekaligus lapar sehingga seperti tak punya tenaga lagi.
.
.
.
.
.
__________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments