Toko perhiasan yang tak kalah mewah dari kemarin jadi tempat Zean dan Sally bersinggah. Anak keluarga Pratama itu harus memastikan jika hari ini dapat apa yang dicari.
Dia sudah bosan jika harus bolak-balik antar kota, sedangkan pekerjaan juga tak mungkin terus ditinggal.
Selain soal pekerjaan, Zean tak menyangkal jika perjalanan pulang pergi dua hari ini membuat tubuhnya remuk. Goncangan jalanan yang kadang tak rata membuat beberapa bagian ngilu.
Sabuk pengaman yang membelit tubuh, Zean buka. Tangannya mencari ponsel dan dompet sebentar, lalu hendak turun. Namun, seseorang di sampingnya justru bergeming dan membuat Zean urung.
Dia memutar badan menghadap Sally, lalu berkata, "Ayo, turun!"
Gadis berambut panjang itu menoleh sekilas, Zean masih memasang tampang kesal antara emosi dan harus sabar demi tujuan.
Tak ada jawaban. Namun, tangan Sally bergerak melepas seatbelt. Zean lebih dulu turun dan meninggalkan calon istrinya yang masih merapikan diri. Jaket pink berbahan katun dikenakan Sally untuk menutup seragam bagian atas.
Sepatu kets gadis itu menjejak Bumi. Dia menutup pintu dan melihat Zean sudah bersandar di kap mobil pertanda menunggu.
Tanpa bicara, Sally melewati calon suaminya begitu saja. Zean tanpa peduli ikut membuntuti di belakang, lalu menyejajari langkah Sally.
"Ngapain, sih!" Sally berkata ketus. Sejak tadi Zean berusaha untuk tetap di sebelahnya, membuat anak dari Pak Tomi itu emosi. Ketika Sally mempercepat langkah, Zean juga. Begitu sebaliknya sampai membuat Nona Muda Birawan itu risih.
"Mau memastikan jika kau tidak akan menghilang seperti kemarin." Zean berkata santai sembari memasukkan satu tangan ke saku celana kerjanya, terlihat santai tapi tetap berwibawa.
Bukan Sally kalau tidak semakin sewot. Gadis itu memberengut, lantas melenggang lebih dulu.
Zean yang masih berdiri di tempat, hanya melihat punggung calon istrinya sambil tersenyum geli.
Dasar bocah!
Segera Zean menyusul Sally. Ketika pintu full kaca itu otomatis bergeser, dia menarik tangan seputih salju yang ada di sampingnya.
"Sebelah sana." Dia menarik kuat sampai tak memberi waktu Sally menolak.
"Hei, lepas!"
Teriakan Sally tak dipedulikan Zean. Pria di depannya terus membawa ke sisi etalase yang memajang deretan cincin.
"Selamat datang, Tuan dan Nona."
Satu pekerja wanita menyapa ramah. Wajah cantik dengan balutan make up menyempurnakan penampilannya, ditambah dengan senyum yang selalu menghias di bibir wanita itu, membuat betah pengunjung.
Mungkin, memang pelayanan toko tersebut demikian, sehingga menarik pembeli untuk berdatangan.
"Kami sedang mencari cincin pernikahan yang pas dengan ukuran jarinya." Tangan Sally yang digenggam Zean sejak tadi diangkat dan ditaruh di atas etalase.
Pemilik anggota tubuh itu mendelik, ingin menarik tangan, tetapi Zean mencengkeram terlalu kuat. Pegawai yang melihat itu tetap tersenyum ramah.
"Baik, Tuan. Sebelah sini." Pegawai itu bergeser ke kiri satu langkah. Zean otomatis mengikuti.
Sally sebenarnya ingin marah, tetapi tidak bisa berkutik. Tidak ada yang salah dengan kepergiaannya bersama Zean karena ini permintaan keluarga.
"Silakan dicoba, Nona."
Beberapa perhiasan dikeluarkan dari tempatnya, Sally mencoba satu per satu ditemani Zean.
"Bagus." Pria itu berucap tanpa ditanya lebih dulu.
Sally melirik sekilas, lalu melepas lagi. Hal itu tak luput dari pandangan Zean.
"Kenapa?"
"Longgar."
"Oh." Calon suami Sally itu manggut-manggut.
"Coba ini, Nona."
Satu lagi dikeluarkan dan dicoba, tetapi tetap tak ada yang sesuai.
"Susah sekali mencari ukuranmu, Gadis Kecil." Zean mulai protes. Mungkin dia lelah karena berdiri sejak tadi hampir setengah jam.
Sally yang sama lelahnya ikut kesal. Wajah putihnya berubah sedikit memerah karena menahan emosi.
"Mana aku tahu kalau begini? Selama ini nggak pernah pakai cincin."
Kakak kandung Dion itu tidak mau disalahkan, apalagi mengalah pada Zean. Sungguh, dia tidak mau.
"Ini terakhir, Nona. Modelnya memang simpel tapi ini berlian asli."
Sejenak, Sally memperhatikan detail cincin yang dia terima. Memang tak sebagus yang dicoba tadi, tapi tetap terlihat indah dengan kilauan berlian yang terjejer rapi.
"Coba aja." Zean lebih dulu bicara. Sejak tadi pria itu yang selalu mendahului.
Tak ingin bertele-tele, Sally memasukkan cincin kecil itu di jari manis sebelah kanan. Bibirnya yang mungil tertarik membentuk lengkungan.
Zean yang melihatnya menghela napas lega.
"Bungkus ini saja."
"Eh?" Sally terhenyak. Dia belum memberi jawaban sudah diputuskan Zean lagi. Pria ini memang mendominasi.
"Baik, Tuan."
Satu tersimpan dan ganti Zean yang mencari, tak butuh lama sudah mendapat yang sesuai.
"Kami kemas dulu, Tuan." Pegawai mundur dan membawa barang yang tadi dipilih usai dibayar. Zean dan Sally duduk sebentar di sofa kecil belakang mereka.
Tak ada pembicaraan. Zean sibuk dengan ponsel, sedang Sally tengah memandangi seluruh penampakan di hadapannya.
"Mau gelang?"
Gadis itu tersentak, tidak menyangka jika Zean memergoki dirinya yang terus memfokuskan pandangan pada deretan gelang tangan di sisi sebelah cincin.
"Ayo!"
Zean berdiri dan menarik tangan Sally. Gadis itu segera menyentak kasar. "Nggak perlu."
Zean menghela napas. Dia tidak mau memaksa dan duduk lagi.
Beberapa saat kemudian, pegawai memanggil dan memberikan barang yang mereka beli.
"Terima kasih, Tuan dan Nona. Kami tunggu kunjungan selanjutnya."
Sally mengangguk sambil membalas senyuman pekerja, Zean mengangguk dan berlalu.
***
Kedua anak manusia itu meninggalkan toko. Mereka segera menuju di mana parkiran berada.
Mobil memelesat kembali membelah jalan raya. Hening, tidak ada obrolan lagi. Zean tampak fokus dengan jalanan, sedang Sally hanya menatap malas ke depan.
Setelah melewati lampu merah dan berbelok ke kiri sekitar dua ratus meter, Zean membelokkan mobil ke sebuah restoran.
"Kenapa ke sini?" Sally bertanya saat mendapati Zean hendak turun.
"Ya makan. Apa kau tidak lapar?"
Tanpa menunggu gadis itu menjawab, Zean turun dan melenggang begitu saja. Mau tidak mau Sally ikut turun karena dia juga merasa lapar. Bagaimana tidak lapar, dia belum makan dari sepulang sekolah sampai saat ini hari sudah mulai gelap.
Lampu temaram menghiasi seluruh ruangan restoran tersebut, sayup-sayup alunan musik syahdu terdengar pula. Beberapa pengunjung tampak memenuhi meja kursi di sana. Sebagian dari mereka adalah keluarga, terlihat dari anak-anak kecil yang ikut duduk satu tempat.
Zean memilih sebuah meja yang berada di salah satu sudut, berbatasan langsung dengan tembok kaca besar sebagai penghalang. Lalu-lalang kendaraan di jalan raya bisa terlihat jelas.
Beberapa pengunjung tampak heran menatap ke arah Sally. Tatapan mereka terlihat keheranan karena melihat Sally masih berseragam sekolah.
Sally memilih tak peduli dengan tatapan para pengunjung. Gadis itu menghampiri calon suaminya yang sudah duduk tenang dari tadi.
"Selamat datang, Tuan, Nona ...."
Sebuah buku menu disodorkan pada Zean oleh pelayan restoran disertai senyum ramah. Tampak sesekali ia melirik ke arah Sally.
"Berikan saja padanya."
Tatapan mata dan gerakan kepala Zean mengarah ke Sally sebagai kode. Pelayan paham, lalu menyodorkan buku menu pada gadis SMA itu.
Tangan kanan Sally menerima, lalu membuka dan memilih menu makan apa yang cocok sesuai selera.
"Kau mau makan atau menulis novel? Lama sekali." Zean sudah tidak sabar melihat Sally yang sedari tadi membolak-balikkan buku menu tanpa memilih satu pun darinya.
Sally mengangkat wajah dan mendelik kesal pada lelaki di depannya itu. Emosi terasa memuncak sampai ubun-ubun dan ingin sekali meledak. Tentu dia kesal, Zean memarahinya di depan pelayan restoran. Hal memalukan bagi Sally.
"Berikan kami menu special hari ini saja,” kata Zean tanpa peduli dengan tatapan kesal yang mengarah padanya. Dia sudah lelah, ingin sekali segera pulang.
"Baik Tuan, mohon ditunggu."
Pelayan itu meninggalkan mereka dan segera memroses pesanan.
Tidak ada obrolan selama makan. Meski masih kesal, Sally tetap makan dengan lahap. Cacing di dalam perutnya sudah berdemo sedari tadi menuntut hak mereka untuk segera dipenuhi.
Tanpa diketahui, sesekali Zean melirik ke arah gadis SMA yang tengah sibuk menyuapkan makanan dari piring. Bibirnya tertarik ke atas sedikit.
"Mau lagi?"
Tangan menghentikan suapan, Sally menoleh ke arah Zean. "Enggak." Dia menggelengkan kepalanya cepat, lalu menyuapkan makanan kembali.
"Habiskan makananmu, dan segera pulang. Aku lelah sekali."
Ngapain, sih, ke sini kalau memang lelah. Menyebalkan.
Ingin sekali Sally mengatakan itu tapi tak jadi. Dia malas berdebat.
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
ig: ukiii__21
typoku bertebaran ternyata 🤦♀️
2021-10-09
1
Xshisy
next
2021-03-18
0
🌸EɾNα🌸
ceritanya keren ditunggu up nya Thor 👍
jangan lupa feedback ke ceritaku ya
"Kekasih Simpanan Tuan Muda"
makasih 🥰
2021-01-14
0