Sepanjang jalan Sally hanya diam. Duduk satu mobil dengan keluarga baru, membuatnya canggung. Bu Lyra tidak bisa menyembunyikan senyum bahagia, membuat Pak Bobi ikut tersenyum jika melirik istrinya dari spion yang menggantung di atas kemudi.
Melihat tingkah aneh kedua orang tua, Zean ikut menyunggingkan senyum. Dia melirik Sally sepintas, gadis itu terkesan kaku.
“Sa, terima kasih sudah mau jadi bagian dari keluarga kami.” Ibu Zean itu bicara sambil menarik lembut tangan menantunya, mengusap beberapa kali, membuat jantung Sally berdebar grogi.
“Ee … iya, Tante,” jawabnya ragu-ragu.
“Panggil Mama, dong. Jangan Tante,” pungkas Bu Lyra.
Gadis itu diam, makin ragu untuk membuka mulut.
“Kamu grogi, ya?” Mama mertua satu itu sungguh peka, justru membuat Sally tertunduk malu.
“Biasakan menganggap kami keluargamu sendiri, seperti dirimu memperlakukan Papi dan mamimu. Iya, kan, Pa?” Mata indah Bu Lyra menatap spion, mencari jawaban dari sang suami yang duduk di sebelah putra semata wayang.
“Iya, Sa. Turuti saja kata mamamu,” timpal Pak Bobi.
Gadis itu mendongak, ikut menatap spion yang jadi perantara mereka bicara. Dia melirik Zean, lelaki itu bergeming datar tanpa ekspresi.
Sally hanya memberi anggukan. Akan tetapi, respons Bu Lyra justru berlebihan. Beliau tersenyum lebar dan segera memeluk. Pak Bobi menoleh ke kursi belakang, ikut tersenyum melihat binar kebahagiaan yang dirasakan istrinya.
Dua jam perjalanan, mobil masuk area hotel. Usai menurunkan penumpang di lobby, Zean mengarahkan mobil sendirian ke parkiran.
Para pegawai hotel sudah menyambut hangat para tamu, memberikan kunci masing-masing kamar.
“Sa, Nama dan Papa duluan, ya.”
Tanpa mencerna omongan ibu mertua, Sally langsung mengangguk. Dia tidak sadar jika sekarang sendirian.
Keluarga Birawan tidak terlihat, mungkin sudah sampai lebih dulu sebelum Sally tiba. Di perjalanan tadi mobil mereka sempat mendahului mobil keluarga Pratama.
Lisa datang dengan elegan, menarik koper dengan tangan kiri. Dia mengucap terima kasih setelah menerima kunci. Lalu, sekejap berhenti di depan Sally.
“Ngapain?” tanyanya.
“Nggak tahu. Aku nggak dapat bagian kamar.”
“Mana mungkin!” Lisa menyerobot lebih dulu. “Hotel udah di-booking sesuai kapasitas tamu, kemungkinan lebih. Kok, bisa sampai nggak dapat kamar? Ngaco kamu, Sa.”
Mendengar omongan Lisa membuat Sally pusing. Tanpa menunggu bicara lagi, Sally menarik Lisa lebih dulu. “Aku ikut ke kamar kamu aja,” ujarnya membuat Lisa mengernyit dan menghentikan langkah.
“Udah, ayok!” Tangan Lisa sudah ditarik, membuat gadis itu tak sempat bicara lagi.
Pintu kamar sesuai nomor terbuka, Sally masuk lebih dulu tanpa peduli Lisa.
“Woah … akhirnya, ketemu kasur.” Gadis itu lebih dulu merebahkan diri, meninggalkan koper di dekat pintu. Lisa mengulas senyum, melihat Sally terlalu antusias padahal hanya sebuah kasur.
“Nggak mandi dulu?”
“Kamu aja. Aku masih pengin tiduran. Capek.”
“Belum juga resepsi, Sa. Udah ngeluh capek.”
“Biarin,” jawab Sally singkat, sambil memejam.
“Aku mandi kalau gitu, ya.”
“Hm ….”
Lisa geleng kepala. Setelah sekian hari melihat wajah Sally yang selalu murung, akhirnya dia kembali tersenyum dan riang.
Segera Lisa beranjak, lalu menuju kamar mandi untuk berendam. Perjalanan antar kota membuat dia lelah, apalagi mengemudi sendiri. Sungguh menyebalkan, pikirnya.
Ketukan pintu kamar membuat kesadaran Sally yang nyaris hilang kembali. Dia membuka mata, menajamkan pendengaran.
Suara ketukan makin keras, gadis itu memaki kesal. Dia melangkah malas dengan bertelanjang kaki untuk membuka pintu.
“Eh!” Sally tertegun beberapa saat. Dua orang lelaki tengah berdiri di hadapan, satu tersenyum ramah satu sudah menatap tajam.
“Nona, Anda ternyata di sini. Tuan Zean menanyakan keberadaan Anda dari tadi.” Seorang pegawai hotel menjelaskan, seolah menjawab keterkejutan Sally.
“Iya, aku di sini. Kenapa?”
Pegawai hotel hanya melongo, merasa aneh mendengar jawaban Sally. Padahal, yang ia tahu mereka pengantin baru. Namun, mengapa sikap Sally demikian?
“Ee … anu, Nona. Itu ….” Ia bingung, bahkan menggaruk tengkuk karena tak bisa menjelaskan.
Zean sudah tidak sabar. Dia maju dan menggeser paksa pegawai hotel yang masih kebingungan dan menarik tangan Sally segera. Kemudian, keduanya meninggalkan kamar Lisa tanpa menutup pintu.
Pegawai itu termangu beberapa detik sebelum ia sadar dan menggeleng kepala. “Sudahlah, pura-pura buta saja aku.”
Tangan pegawai meraih gagang pintu, menutup kamar Lisa yang entah di mana penghuninya.
Sally berjalan gontai dengan susah payah. Bahkan Zean tak peduli jika istrinya merasa malu karena tak memakai alas kaki.
Gadis itu sedikit kewalahan mengimbangi langkah kaki sang suami, bahkan nyaris berlari.
“Lepas, Kak!”
Zean berhenti seketika, membuat Sally terhuyung dan menubruk punggung. “Aow … sakit.” Tangan Sally mengusap hidung yang mancung, sementara matanya melotot sebal.
Zean tak acuh, hanya menoleh sekilas lalu kembali menarik lengan istrinya. Beberapa kali Sally meronta, justru menguatkan cengkeraman.
Mereka berhenti di depan kamar bertuliskan president suite. Gadis itu ikut bingung.
Belum sadar dengan semuanya, Sally sudah ditarik lagi memasuki kamar. Suaminya menutup dan mengunci pintu, lalu baru melepas genggaman.
Sally meringis ngilu, mengusap-usap lengan yang terasa sakit seolah terkilir.
Dasar manusia aneh.
“Diam di sini, dan jangan kabur! Atau kau akan tahu akibatnya!”
Ancaman Zean tidak membuat takut, Sally justru menatap nyalang. Gadis itu mendorong kasar tubuh suaminya lalu melenggang menuju ranjang.
Zean melepas jas yang membuat gerah, menyisakan kemeja putih dan membuka dua kancing paling atas. Dia mendekat pada Sally. Gadis itu tengah merebahkan diri sambil bermain ponsel.
Zean yang berdiri tak jauh dari ranjang, membuat Sally berjingkat seketika. “Apa lihat-lihat!” ketusnya pedas, seolah tidak takut jika tengah berada satu kamar dengan lawan jenis.
Zean mendekat dan merayap, membuat Sally kelabakan. “Pergi!”
“Kenapa?” Zean menyeringai, membuat Sally gugup dan cemas jadi satu. Keringat sebesar biji kacang hijau ikut merembes membasahi wajah, membuat Zean ingin tertawa. Akan tetapi, tidak bisa, dia harus sukses membuat takut gadis menyebalkan di depannya ini.
“Pergi! Jangan macam-macam atau aku pukul kamu!” Nada bicara Sally bergetar, punggung gadis itu sudah menabrak kepala ranjang. Satu bantal dipeluk untuk menutup sebagian wajah dan badan.
“Cih! Berlagak ingin memukulku. Kau tidak akan pernah bisa menjangkauku, Gadis Kecil.” Zean menyeringai lagi, lalu pergi meninggalkan Sally dan masuk ke kamar mandi.
“Huh!” Sally membuang napas lega. “Akhirnya, selamat.”
Ponselnya bergetar, terlihat kabar dari Lisa menanyakan keberadaannya. Dia baru ingat jika koper masih tertinggal.
Mulai mengetik dan membalas pesan, istri baru Zean itu menunggu balasan sambil rebahan. Tanpa sadar, justru terlelap.
Zean keluar dari kamar mandi, kaus polos dan celana selutut dikenakan. Handuk kecil digunakan mengeringkan pucuk-pucuk rambut.
Mendekat ke tempat tidur, Zean melihat Sally sudah terlelap dengan ponsel di tangan. Dia mendekat lagi, menarik pelan benda tersebut sambil melepas gulungan rambut untuk membenarkan posisi tidur agar istrinya nyaman.
Senyuman tipis terulas saat dia melihat wajah Sally dengan jarak begitu dekat.
Huh! Bahkan kau masih seperti bocah.
Tuan Muda Pratama itu segera beranjak, memutar diri dan merebahkan tubuh di ranjang bagian lain. Perjalanan menguras tenaga, kantuk dan lelah menjadi satu. Dia memejamkan mata, setidaknya masih ada waktu untuk istirahat sebelum acara resepsi dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
El_Tien
ini dirimukah Mak uki aku baru mampir
2022-01-01
0
Xshisy
LIKEEE LAGI🎵♥️
2021-03-18
0
Fitri Wulandari
Halo thor semangat ya up nya like udah di berikan nih jgn lupa mampir ya ke ceritaku Mantan Tapi menikah,see you👋
2021-01-21
0