Mobil sampai di dekat teras kediaman Birawan. Tanpa berterima kasih, Sally keluar dan menutup pintu dengan cukup keras. Zean yang ada di dalam bergeming, membiarkan calon istrinya mengamuk. Hatinya sendiri masih sedikit emosi lantaran merasa tak dihargai oleh gadis SMA itu.
Zean hanya memandangi kepergian Sally sampai benar-benar masuk rumah. Setelah itu, mobil dia lajukan lagi menuju kota C.
Ketika pintu ruang tamu dibuka oleh Bi Mur, Nona Muda Birawan itu langsung menerobos dan melenggang menuju anak tangga. Asisten rumah tangganya sempat terbengong karena tingkah Sally. Tidak biasanya anak majikan itu bersikap demikian.
Bi Mur paham betul dengan Sally. Beliau sudah menemani gadis itu sejak kecil. Namun, dia memilih diam karena tidak ingin memperburuk suasana.
Sampai kamar, Sally melepas sepatu secara asal. Ransel yang menggantung di pundak ikut diterlantarkan di lantai.
Gadis itu membanting tubuhnya di ranjang dengan cukup kuat. Wajah dibenamkan ke bantal dan kedua kaki mengentak bergantian karena sebal. Air mata ikut luruh seiring rasa sesak di hati.
Tidak menyangka jika sosok Zean yang dia lihat pertama kali terkesan ramah, tetapi ternyata sebaliknya. Pria itu sangat menyebalkan dan bahkan kasar.
Tidak sadar berapa lama dia menangis. Mata yang sudah memerah itu mulai tertutup perlahan. Sally hilang kesadaran dan terlelap tanpa ada niat sebelumnya.
***
Waktu dua jam dilalui Zean dengan segala rasa penat. Mobil dia parkirkan sembarangan di halaman karena ingin segera masuk.
Saking lelahnya, dia yang baru menginjak ruang tamu, langsung menuju sofa dan mengempaskan diri begitu saja.
Tangannya bergerak cepat melepas jas dan dasi secara asal, bantal yang ada di dekatnya, Zean raih untuk menumpu kepala. Mata hitamnya sengaja dia pejamkan, sementara kedua jari memijat pangkal hidung.
Perjalanan berangkat dan pulang dalam satu waktu membuat tubuh Zean terasa remuk. Tak biasanya dia demikian.
Tanpa diundang, sang mama datang dengan segala godaan. Istri Pak Bobi itu menghampiri sambil tersenyum cerah.
“Capek banget kayaknya anak Mama.” Beliau berkata sambil mendaratkan diri di sofa, memantau Zean yang hanya diam tanpa mau menyahut.
“Ze, bagaimana?” tanyanya lagi. Bu Lyra tidak peduli meski godaannya yang pertama diabaikan sang anak. Beliau pantang menyerah.
Namun, lama-lama beliau jengkel. Satu bantal sofa Bu Lyra layangkan, tepat mengena di wajah Zean. “Ze! Jawab Mama!”
Pria itu mengaduh, lalu mengusap hidung yang mancung. “Ma, aku capek,” keluhnya, lalu memeluk bantal yang tadi terlempar.
Keluhan Zean tidak menyurutkan niat Bu Lyra. Beliau tetap kembali bicara. “Gimana? Udah dapat belum?”
Hening. Bu Lyra masih menunggu beberapa detik, tetapi tak kunjung sang anak menjawab. Padahal, beliau tadi sudah semangat saat melihat putranya pulang.
Harapannya, Zean sudah memenuhi apa yang tadi beliau minta.
“ZEAN!” Ibunya berteriak lantang dan berhasil membuat telinga semua orang panas.
Pria dua puluh enam tahun itu duduk, mengusap cuping telinga, lalu memandang ibunya. “Iya mamaku yang cantik,” puji Zean pada Bu Lyra, berharap ibunya bisa meredakan emosi.
“Iya, gimana?” Bu Lyra masih bersungut. Kedua mata menatap tajam pada anak semata wayangnya itu.
Pria di depannya garuk-garuk kepala. “Eee … cincin, ya?” Zean ganti mengacak rambut. “Itu, belum dapat. Nggak ada yang pas tadi ukurannya.” Terpaksa Zean berbohong daripada berbuntut panjang. Matanya berputar-putar, tidak mau menatap Bu Lyra. Nanti beliau curiga.
“Serius?”
Zean mengangguk dengan yakin.
“Lalu?”
Anaknya menghela napas panjang, lalu menjawab, “Besok atau lusa ke sana lagi. Sampai dapatlah pokoknya. Ribet ngurusi anak SMA.”
“Gitu-gitu, juga calon istrimu, Ze.” Bagai alarm yang telah di-setting sedemikian rupa, Bu Lyra selalu mengingatkan jika Sally adalah calon istri Zean. Bahkan sejak putranya masih SMA, kedua orang tua tak pernah berhenti memberi tahu jika kelak akan dijodohkan dengan Sally. Hal tersebut sampai membuat Zean mual.
“Iya, Ma, aku nggak lupa.” Calon suami Sally itu beranjak, memilih pergi daripada harus mendengar kabar perjodohan itu melulu. Mood-nya jadi memburuk jika mengingat semua kehidupan yang dia miliki sudah diatur oleh Pak Bobi.
“Aku ke kamar ya, Ma.” Satu kecupan diberikan di pipi, wanita paruh baya itu hanya memperhatikan anaknya yang mulai pergi hendak menapaki tangga.
“Jangan lupa turun buat makan malam!” seru bu Lyra, membuat Zean menoleh dan menjawab ‘ya’.
Tiba di kamar, Zean segera membuka pakaian yang membuat gerah. Dia menyisakan celana panjang, lalu berjalan ke kamar mandi untuk mengisi bath tube.
Sambil menunggu, dia kembali ke kamar dan sesekali mengecek ponsel. Zean harus memastikan jika semua pekerjaan berjalan baik-baik saja.
Saat sibuk menggeser layar, tiba-tiba jarinya berhenti di satu nama. Ketika membaca itu, sudut bibir Zean terangkat.
Gadis kecil … apa lebihnya dirimu, sampai-sampai Mama dan Papa bersikeras menikahkan aku yang jauh dari usiamu. Konyol sekali.
Dia melempar ponsel ke ranjang, baru menuju kamar mandi untuk berendam. Air hangat dengan aroma teraphy membuat Zean nyaman dan rileks akibat kelelehan.
***
Jam di nakas menunjuk angka tujuh malam. Seseorang yang masih terkapar di ranjang, mulai membangun kesadaran. Sally mengerjapkan mata, tetapi tidak terlihat apa pun. Suasana gelap.
Sempat dia kelabakan karena panik. Namun, kembali dia ingat-ingat hal terakhir yang dilakukan. Setelah beberapa saat, Sally baru sadar jika ketiduran sejak sore.
Segera dia bangkit, menggerakkan tubuh sebentar dan melangkah ke arah dinding, di mana saklar lampu berada.
Satu tekanan membuat kamar seketika terang. Mata cokelatnya refleks menyipit karena dapat rangsangan cahaya.
Dia mulai memindai tubuhnya yang masih berbalut seragam. Detik berikutnya, Sally mengembuskan napas kasar. Gara-gara Zean, dia jadi tidak berpikir untuk langsung bersih-bersih seperti biasa.
Tanpa berpikir lagi, Sally bergegas ke kamar mandi karena sudah dipanggil Bu Anna untuk makan malam.
“Iya, Mi. Bentar lagi keluar,” jawabnya setengah berteriak.
Dua puluh menit kemudian, badan Sally sudah bersih dan terasa lebih segar, lalu segera turun. Dress motif bunga-bunga dia kenakan. Gadis itu suka sekali memakai rok.
“Malam Pi, Di,” sapanya ceria ketika sampai di meja makan.
Adiknya sudah duduk tenang dan mengamati Sally dengan saksama.
“Kakak habis nangis?” Pemuda lima belas tahun itu berceletuk, spontan membuat Sally sedikit terhenyak.
“Eh, enggak. Bangun tidur ini. Tadi kecapekan, jadi ketiduran.”
Bu Anna dan Pak Tomi juga penasaran, ikut mengamati wajah Sally yang menampakkan senyum canggung. Tak ambil pusing, Sally segera duduk, mengalihkan perhatian dengan meminta makanan.
“Kalian dari mana tadi?” Bu Anna bertanya, membuat Sally mendongak.
“Mami nanya sama aku?”
“Iyalah, Sa. Siapa lagi kalau bukan kamu.”
Pak Tomi melirik pada istrinya, lalu ikut bertanya, “Memangnya dari mana Sally, Mi?”
Bu Anna menjawab, “Tadi siang Zean telepon ke rumah, Pi. Tanya Sally pulang jam berapa, sekalian izin bawa keluar gitu.”
Mendengar jawaban ibunya, Sally jadi tahu, kenapa Zean bisa datang ke sekolah tepat saat dia juga keluar kelas.
Pak Tomi hanya mengangguk mendengar jawaban istrinya, lalu ikut menanyakan hal yang sama pada Sally.
“Dari jalan-jalan aja kok, Mi, Pi.” Dia menjawab santai sambil menyuap makanan, sebisa mungkin Sally menutupi perkelahiannya dengan Zean tadi.
“Oh, gitu. Tapi Zean nggak mampir, ya?” Kembali pak Tomi berkata.
Sally menggeleng. “Kak Ze bilang, udah kesorean, Pi. Takut kemaleman kalau sampai rumah.” Dia berbohong lagi.
Mereka semua mengangguk, tidak ada yang curiga jika anak dan calon mantu itu tidak akur.
Makan malam selesai. Sally sudah berada di kamar kembali. Dia mengeluarkan ponsel dari tas sekolah, lalu sejenak memeriksa.
Terdapat dua panggilan tak terjawab dengan nomor yang tak dikenal.
Siapa?
Gadis itu mengernyit bingung.
Tak ambil pusing, lebih baik dia belajar dan mengerjakan tugas sekolah. Sally sengaja membiarkan ponsel tergeletak di meja dekat dengannya, lalu mengeluarkan buku dari tas dan mengganti untuk jadwal besok.
Baru mulai mengambil alat tulis, ponselnya kembali berdering. Nomor yang tadi, membuat dia terheran.
“Siapa sih?” decaknya.
Tangan Sally segera meletakkan buku ke meja belajar, baru meraih ponsel. Melihat panggilan tersebut berupa video call, dia tidak kehabisan ide. Langsung saja mengubah kamera depan menjadi belakang.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 104 Episodes
Comments
Nurcahyani Nurr
Bca crita emak bapaknya dulu.. Bsok bru anakmy..
2021-08-03
0