Pingsan

Sebuah mobil mewah berwarna putih baru saja terparkir di halaman rumah Nadila. Gadis yang terlihat sedang bersantai di balkon rumahnya itu sambil menunggu masker yang melekat di wajahnya kering, terlihat bingung. Nadila berdiri, melirik ke bawah, memastikan siapa yang datang sepagi ini karena hari ini adalah weekend.

Mata Nadila terbelalak, saat netranya melihat beberapa orang yang baru turun dari mobil tersebut. Dengan tergesa-gesa, Nadila segera berlari, bergegas menuju kamar mandi. Gadis itu berdiri di depan wastafel untuk segera mencuci mukanya.

Semenit kemudian, gadis itu berbegas mencari baju dalam lemarinya. Ia segera duduk di depan meja rias yang berwarna putih itu, memolesi lipstik dan sedikit bedak di wajahnya. Nadila tersenyum, berdehem, menyesuaikan suaranya. "Ekhem" mulunya mengeluarkan suara.

Bisa ditebak siapa yang datang jika bukan Anafi dan para sahabatnya.

Nadila melenggang menuruni anak tangga menuju ruang tamu rumahnya dengan senyum merekah dengan sempurna dari raut wajah mungil itu. "Kenapa nggak bilang dulu sih kalo mau kesini?" Bibir mungil itu berucap.

"Kenapa emang? biar lo bisa dandan dulu sebelum ketemu Anafi? gitu?" Sahut Karin sewot.

"Enggak juga keles" Balas Nadila menghentikan cicitan sahabatnya itu.

Nadila duduk di sofa yang ada di depan Anafi. Gadis itu terlihat malu dan juga canggung.

"Ekhem" Aldo berdehem. "Roman-romannya ada yang lagi salah tingkah nih" sindir Aldo, melirik Nadila dan juga Anafi bergantian serta senyum jahil yang terpancar dari raut wajahnya.

Nadila menoleh, kaget? tentu. Tapi sudah dapat ia tebak, bahwa sahabat embernya itu pasti sudah memberi tahu pada Bagas dan juga Aldo bahwa Anafi dan juga dirinya sudah jadian.

Netra Nadila menatap tajam ke arah Nindy, Karin, dan juga Arani. Sementara ketiga gadis itu memalingkan pandangannya acuh, seolah tidak tahu apa-apa. Padahal dugaan Nadila benar, ketiga manusia itu telah memberi tahu Aldo dan juga Bagas tentang hubungan Nadila dan juga Anafi sebelum mereka berangkat ke rumah Nadila.

Awalnya Bagas terlihat kecewa, namun ia tidak bisa berbuat apa-apa. Mungkin, merelakan orang yang kita sayang bahagia bersama orang lain akan menjadi lebih baik daripada harus memaksa orang tersebut untuk bersama kita sedangkan dia justru merasa tersiksa.

Bi Yani, seorang asisten rumah tangga di rumah Nadila baru saja datang menyuguhkan beberapa minuman dan juga makanan di meja ruang tamu tempat dimana mereka saat ini berkumpul.

"Makasih bik" Sahut semuanya. Mereka memang sudah mengenal Bi Yana karena ini bukan pertama kalinya sahabat Nadila itu berkempul di rumahnya.

Satu persatu dari rumah mereka bertujuh, pasti sudah pernah menjadi tempat tongkronyan remaja itu hanya untuk sekedar ngumpul nggak jelas.

"Jadi kapan nih, pajak jadiannya?" Sindir Aldo melirik ke sembarang arah. Sementara Bagas, hanya diam tanpa ingin berbicara.

Nadila dan Anafi menoleh satu sama lain, sedetik kemudian kembali memalingkan pandangan masing masing.

"Krik krik" Sindir Nindy karena tidak ada yang menyauti ucapan Aldo.

Nadila tidak tau harus berkata apa. Gadis itu juga tanpa sengaja melirik Bagas. Nadila tahu betul apa yang dirasakan Bagas saat ini. Tapi bagaimana lagi, perasaan memang tidak bisa dipaksakan bukan? Yang ada justru akan menyakiti salah satunya. Bahkan bisa jadi keduanya.

***

Nindy dan Nadila terlihat sedang menyajikan sesuatu di dapur. Hingga Nadila menyadari tangan Nindy terlihat gemetaran saat memegang sebuah pisau dan hendak mengupas sebuah Apel.

Benar, kedua gadis itu saat ini sedang membuat salad buah untuk teman-temannya yang lain yang saat ini menghabiskan waktu sendiri-sendiri. Ya begitulah mereka, mereka berkumpul, tapi tetap saja sibuk dengan urusan masing-masing.

"Nin, lo nggak papa?" Nadila berucap saat melihat wajah Nindy semakin pucat, keringat dingin tampak bercucuran di kening gadis itu.

Nindy menaruh pisau yang barusan ia pegang di sembarang tempat. Gadis itu memegangi kepalanya, hingga brukkk. Ia terjatuh, tersungkur lantai.

Mata Nadila terbelalak kaget. Gadis itu membuang apa yang ada di tangannya entah kemana. Menjongkok, Nadila menepuk-nepuk pipi Nindy mencoba membangunkan sahabatnya itu.

"Nin, lo kenapa Nin?" Bibir mungil itu berucap dengan nada cemas.

Anafi yang kala ia sibuk bermain gitar di ruang tengah rumah Nadila, mendengar jelas suara Nadila memanggl-manggil nama Nindy. Pria itu menaruh gitarnya di atas sofa, bergegas menyusul kekasih serta sahabatnya itu ke dapur.

Alhasil, pria itu kaget saat melihat Nindy sudah tergeletak di lantai dengan Nadila yang tengah mencoba membangunkan sahabatnya itu.

Tanpa berfikir panjang, Anafi menepis tangan Nadila, hingga Nadila sedikit tersingkir. Hal itu tentu saja membuat Nadila kaget, gadis itu mematung menatap Anafi yang terlihat sangat panik mendapati Nindy tak sadarkan diri.

Anafi bergegas mengangkat tubuh Nindy menuju ruang tengah rumah Nadila. Sementara Nadila menatap punggung kekasihnya itu dengan tatapan datar, bingung yang tidak bisa ia ungkapkan.

Anafi merebahkan tubuh Nindy dengan posisi terlentang di lantai yang sudah di alaskan karpet yang ada di ruang tengah rumah Nadila. Pria itu tampak menopang kaki Nindy dengan sebuah bantal sofa yang ada di sekitar sana.

Anafi menggenggam tangan Nindy. Sementara Nadila yang menyaksikan hal itu dari kejauhan, mengerutkan keningnya bingung. Namun Nadila berusaha untuk berfikir positif. Mungkin niat Anafi hanya ingin menolong sahabatnya, karena mereka memang sudah mengenal lama.

Arani dan Karin yang baru saja datang ikut melirik heran tak beda jauh dengan Nadila. Kedua gadis itu kemudian mendekat pada Nindy dan juga Anafi. Namun mereka tidak sedikitpun melontarkan pertanyaan. Karena Karin dan juga Arani tentu saja mengetahui penyebab Nindy seperti itu, karena itu bukan hal pertama bagi mereka menyaksikan Nindy pingsan secara tiba-tiba.

Mereka tidak membawa Nindy ke rumah sakit karena mereka tahu, bahwa Nindy hanyalah pingsan biasa. Dulu pada masa SMP gadis itu juga sering seperti itu. Bisa-bisa saja pingsan jika sudah kelelahan.

Namun yang jadi pertanyaan adalah, Karin dan Arani baru menyadari. Dari dulu, hingga sekarang, kenapa Anafi selalu saja ada saat kondisi Nindy seperti saat sekarang ini? Entahlah, apa ini semua hanya sekedar kebetulan?

Nadila berjalan mendekat ke arah sahabatnya itu membawa segelas air putih di tangannya.

Nindy baru saja tersadar dua menit yang lalu, gadis itu memberikan segelas air tersebut pada Anafi. Anafi kemudian juga memberikan air tersebut pada Nindy. Anafi hendak meminumkan pada Nindy, namun gadis itu sontak tersadar, bahwa yang sedari tadi berada di samping dirinya adalah Anafi.

Seketika Nindy menjauhkan tubuhnya dari Anafi, gadis itu tidak ingin Nadila salah paham. Sementara Anafi hanya menghela nafas berat, mengusap wajahnya dengan sedikit kasar.

.

.

.

.

.

.

Jangan lupa Like, Komen, dan Vote ya. Terimakasih :)

Terpopuler

Comments

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Hurrmmm ada sesuatu nih dgn sikapnya Nafi,apa Nadila hanya sekadar pelarian??Kok tega gitu Nafi??!

2023-03-01

0

Qaisaa Nazarudin

Qaisaa Nazarudin

Lho Nindy kenapa?? baca judul bab ini PINGSAN,Ku pikir yg pingsan itu Nadila ternyata Nindy..🥲

2023-03-01

0

maya97

maya97

yaaaah,kasian si nadilla tuh

2021-01-23

0

lihat semua
Episodes
Episodes

Updated 78 Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!