"Lang gue mohon" lanjutnya dengan ekspresi melas.
"Gue udah janji duluan ke bunda Lo. Lagian kedua orang tua Lo pasti nggak akan marah kok. Kan gue udah ngomong ke bunda Lo" katanya Lagi.
"Justru karena Lo ngomong itu yang gue takut. Setan" ucapnya membatin.
Langit menarik tangan Biru memencet bel pintu tak lupa pula mengetuknya dengan santai. Dan disebelahnya Biru yang merafalkan doa-doa agar ketika masuk kedalam rumah itu ia masih baik-baik saja meskipun kemungkinannya 0,1 persen.
Di dalam hati Langit tertawa geli. Jika sekarang ia bisa tertawa ia akan tertawa terbahak-bahak mendengar gadis itu yang merafalkan doa pengusir setan yaitu ayat kursi.
"Assalamualaikum" ucapnya mengetuk pintu bercat putih itu.
"Waalaikumsallam" ucap suara dari dalam rumah.
Tubuh Biru berkeringat dingin. Mendengar sautan itu, ya itu adalah suara ayahnya.
"Ya Tuhan tolong gue" ucapnya membatin.
Kreek
Pintu rumah itu di buka. Tampak seorang pria paruh baya berkacamata dengan tatapan yang sudah ia baca. Tatapan yang selalu ia tunjukan ketika marah terhadap putri kecilnya yang membangkang.
"Ayah" ucapnya refleks melihat pria itu berdiri didepan pintu menaikan kacamatanya.
"Langit masuk nak" ucap pria itu menyuruh Langit masuk ke dalam rumah. Langit menuruti ucapan pria itu, ia berjalan masuk bersama ayah gadis itu kedalam rumah.
Biru tercengang melihat ayahnya yang mengabaikan dirinya dan merangkul Langit memerintahkan pria itu masuk ke dalam rumah sambil berbincang-bincang meninggalkan dirinya seorang diri di depan pintu.
Biru melepas sepatunya bergegas menyusul kedua orang itu ke dalam rumah. Meskipun perasaan takut dominan menghantui dirinya.
"Biru duduk" perintah ayahnya kepada Biru yang baru masuk kedalam rumah.
Ia menganguk ragu, kemudian duduk di depan ayahnya di sebelah Langit. Pria itu tersenyum melihat Biru seolah-olah ia hendak menertawakan dirinya.
"Kamu tau apa kesalahan mu?" Tanya Rahman pada putrinya itu.
Biru menunduk enggan menatap ayahnya ia sungguh takut saat ini apalagi ia harus siap menerima amukan ayahnya di depan Langit yang masih berada didalam rumahnya.
"Jawab ayah Al Biru Verandita Rahman. Ayah tidak pernah mengajari kamu berbohong kan?" Desaknya dengan nada dingin.
"Maafin Biru yah" ucapnya dengan air mata menetes sambil menunduk takut.
"Kamu tahu konsekuensi yang pernah kita sepakati kan?" Tanyanya lagi.
"Jawab ayah Al Biru" ucapnya tegas membentak.
Biru terdiam mendengar bentakan ayahnya, bukan sekali ini dia di bentak ayahnya namun kenapa bentakan kali ini sungguh menakutkan baginya.
"Angkat kepala kamu Biru apa kamu tidak bisa menjelaskan kepada ayah, sebelum ayah memberlakukan konsekuensi atas kesepakatan kita yang telah kamu langgar?" Lanjutnya.
Dengan air mata yang bercucuran ia mendongakkan kepalanya.
'Happy birthday Biru'
'Happy birthday Biru'
'Happy birthday'
'Happy birthday'
'Happy birthday Biru'.
Biru menagis, melihat bundanya membawa kue tart berwarna biru dengan lilin merah angka 17. Sambil tersenyum bahagia ke arahnya. Tampak adiknya yang merekam momen malam ini, ayahnya dan Langit juga ikut menyanyikan lagu ulang tahun untuknya.
"Make a wish, dan tiup lilinnya sayang" ucap Nanda memerintahkan putri kecilnya yang sudah memasuki tahap menuju kedewasaan.
Tangisan Biru semakin kencang, tak kala bundanya memerintahkan ia untuk meniup lilin dan mengucapkan harapannya.
"Kamu kenapa sayang" tanya Nanda khawatir dengan putrinya yang menagis semakin kencang.
"Hiks hiks hiks k a l i a n j a h a a t ngeprank Biru" ucapnya terbata-bata.
Sontak gelak tawa menggelegar di dalam rumah minimalis itu mendengar ucapannya barusan.
"Bunda pikir kenapa, yaudah tiup lilinnya ntar meleleh tu lilin" lanjut Nanda lagi.
Biru menganguk, ia berdoa kemudian meniup lilinnya dengan dengan air mata masih bercucuran.
"Yeeeyy" ucap bundanya.
Ia meletakan kue diatas meja memeluk putrinya, anak yang sangat ia sayangi.
"Selamat ulang tahun sayang semoga di umur Biru ini. Biru makin jadi anak yang paling baik lagi".
"Makasih bun".
"Selamat hari lahir putri ayah, tetap menjadi putri yang selalu ayah banggakan" ucap Rahman sambil memeluk putrinya itu.
"Makasih yah".
"Selamat ulang tahun rival gue, dan partner gue yang menyebalkan" ucap Langit mengulurkan tangan untuk bersalaman.
Biru menerima uluran tangan Langit "makasih teman baru yang menjengkelkan" ucapnya sinis.
"Dan happy birthday buat kakak gue yang paling unyu, paling terbaik yang selalu ada buat gue. Kakak yang selalu nolongin gue dan jaga gue. Happy birthday kakak ku sayang" kini Jingga berucap panjang lebar yang membuat semua orang tercengang mendengar kalimat panjang yang berisi pujian untuknya.
"Sejak kapan kamu ngomong pajang lebar buat muji kakak mu?" Tanya Nanda melihat putranya yang selalu menjadi teman bertengkar kakaknya itu menjadi semanis ini?.
"Biasa Bun kayak nggak tahu aja sama Jingga pasti minta traktiran sama Biru" ucapnya malas ia jelas sudah tahu dari dulu sifat adiknya setiap dia berulang tahun adiknya selalu berbaik hati padanya berkata manis dengan akhiran berharap mendapatkan traktiran lebih darinya dan bodohnya ia selalu menuruti apapun kemauan adik kesayangannya itu.
"Eh jangan bukak kartu dong kak" ucap Jingga malu.
"Sudah kalo gitu kita makan bunda udah masak banyak masakan buat kalian semua" ucap Nanda menengahi.
********
"Enak nggak masakan Bunda Lang?" Tanya Nanda kepada Langit yang tengah menyuapkan nasi kedalam mulutnya pun menghentikan suapannya.
"Enak banget Bun, udah lama juga Langit nggak makan masakan Bunda".
"Bunda?" Ucap Biru mendengar kata panggilan yang di sematkan Langit untuk Ibunya.
"Kamu nggak tau Bir, Langit ini teman kecil kamu tetangga kita yang rumahnya di sebelah rumah kita Bir, Erlangga nama kecilnya Elang. Anak mama Elina sama om Edward Rajendra" ucap Nanda antusias menceritakan silsilah keluarga Langit.
Prang
Garpu dan sendok itu lepas dari genggaman tangannya. Sehingga menimbulkan bunyi cukup nyaring di atas piring keramik putih itu. Semua orang yang berada di meja makan itu menatap ke arah Biru dengan tatapan binggung.
"Ada apa Bir?" Tanya Rahman kepada putrinya yang ekspresi wajahnya tiba-tiba berubah.
"Jadi Langit itu Elang kecil Biru?" Ucapnya bertanya kepada semua orang yang duduk di meja makan itu.
"Kamu nggak tau? Emangnya kamu nggak nyadar kalo misalnya nama belakang Langit udah jelas-jelas nyantunim marga papanya Rajanendra" Ucap Rahman lagi.
Biru menggeleng kenapa ia tidak sadar dan mengetahui bahwa sebenarnya Elang yang selalu ia tunggu itu berada di dekatnya. Elang yang selalu ia nantikan kedatangan ada di dalam lingkaran kesehariannya. Elang yang selalu dia doakan agar bisa bertemu dan bersama dengannya selalu bersamanya di manapun ia berada? Dan sekarang ia tak menyangka orang yang selalu ia cari selama 10 tahun ada dan berada dekat dengannya.
Apakah dunia sebercanda itu terhadap nya?.
"Kamu senang nggak ketemu sama teman kecil kamu?" Tanya Nanda pada Biru.
"Senang kok Bun, cuman nggak nyangka aja" ucapnya berusaha menyembunyikan rasa keterkejutannya.
"Gue juga nggak nyangka kalo Lo itu teman kecil gue Bir yang selalu gue panggil Didi, kalo ayah sama bunda nggak cerita. Dunia ini sempit banget ya, dari Surabaya ketemu di Bandung" ucapnya sambil tersenyum manis kearah Biru.
Biru tersenyum kikuk mendengar perkataan Langit "dunia memang sempit" ucapnya membatin.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
noname
akhirnya ketemu dehhh
2020-05-30
2