Oma panik melihat Dara yang mimisan. Dara berinisiatif mendongak agar darahnya berhenti ke luar, tapi yang Dara dapat malah omelan Oma.
"Jangan mendongak, menunduk saja. Nanti yang ada cidera."
"Raffa ambil es batu," perintah Oma. Raffa mendengus sebal. Namun tetap melangkah pergi.
Oma memberitahu Dara agar duduk tegak. Oma memencet bagian bawah hidung dengan ibu jari dan jari telunjuk, serta meminta Dara agar bernafas melalui mulut. Raffa kembali dengan semangkuk es batu dan kain, lalu menyerahkannya ke Oma.
Oma membungkus es batu dan mengompres hidung Dara selama beberapa menit. Darah pun sudah berhenti.
Dara yang sedari tadi diam menerima perlakuan Oma menitihkan air mata. Masih ada yang peduli dengan dirinya, ada yang menyambut kehadiran Dara. Sungguh perasaannya sangat senang.
"Gak boleh nangis nanti bayinya cengeng," larang Oma. Raffa menghembuskan nafas lelah mendengar larangan Oma yang sangat tidak masuk akal.
Setelah memastikan Dara tidak lagi mimisan. Oma menghampiri Raffa dan memukul pria itu dengan bantal. Raffa mengaduh kesakitan walau sebenarnya dia tidak merasakan apapun.
"Makanya AC dimatiin. Istri kamu lagi hamil, hawa dingin gak bagus," geram Oma menimpuk Raffa hingga dia berhenti sendiri karena lelah.
"Kalian bersiaplah, kemudian turun sarapan," perintah Oma sebelum keluar dari kamar.
Raffa menatap Dara yang masih sibuk melihat kepergian Oma. Ada rasa tidak suka melihat kepedulian Oma pada Dara yang hanya orang perusak hidupnya. Raffa memaki dalam hati melihat tampang Dara yang sok polos.
"Jangan besar kepala karena sudah diperhatikan Oma," peringat Raffa.
"Tidak sama sekali," ucap Dara.
"Kau bisa tenang ada Oma di rumah ini. Setelah Oma pergi, maka rasakan kehidupanmu yang sebenarnya."
Setelah mengatakan hal tersebut. Raffa melenggang pergi memasuki kamar mandi. Dara tersenyum perih mendengarnya. Perasaannya terluka, sungguh ia tidak mengharap akan seperti keputusan menikah dengan Raffa.
Kepalanya yang pusing Dara hiraukan. Ia bangkit menyiapkan baju Raffa untuk bekerja. Dara memilih satu set jas dan memadukan dengan dasi bermotif garis, kemudian membersihkan peralatan yang tadi ia gunakan. Dara mengikat rambut panjangnya karena mengganggu kegiatan dilakukannya. Dara juga merapikan tempat tidur Raffa yang berantakan. Setelah semua sudah terlihat rapi Dara pun keluar.
Wajah pucat Dara sangat kentara, pusing yang menderanya juga sangat menganggu, tapi Dara meyakinkan dirinya untuk tetap kuat. Ia tidak mau memanjakan tubuhnya hanya karena hal sepele.
Dara meletakkan mangkuk pada tempat cuci piring, lalu mendekat pada Mbok Sumi yang sedang memasak. Aroma masakan yang enak tercium oleh hidung Dara.
"Masak apa, Bu. Keliatan enak banget," ucap Dara.
Mbok Sumi terperanjat kaget. Dia memegang dada kirinya.
"Aduh, Nduk. Bikin kaget saja, sejak kapan kamu ada di sini."
"Baru saja. Dara bantu ya," tawar Dara yang diangguki Mbok Sumi.
Setelah selesai Dara menatanya di meja makan. Mama datang lalu melihat semua masakan yang terhidang, kemudian menatap sinis pada Dara.
Dara hanya tersenyum menyambut kedatangan Mama. Seolah melihat tuan rumah tempatnya bekerja. Memasang wajah seceria mungkin agar terkesan baik.
"Berhenti tersenyum saya jijik melihatnya. Senyummu seperti psychopath," ucap Mama.
"Dengar selama Oma di sini. Kau harus mengambil cuti. Saya tidak mau mendengar omelan Oma," sambungnya.
Dara terhenyak, ia bahkan tidak tahu sampai kapan Oma akan di sini. Kalau Oma di sini selama sebulan apa Dara juga akan tetap di rumah. Huh ... berangkat lagi setelah cuti panjang, auto dipecat Dara. Selama itu pun Dara membutuhkan uang untuk keperluannya. Sekarang bagaimana Dara bisa menghasilkan uang hanya dengan berdiam diri di rumah bersama Oma. Pasti akan sangat membosankan tidak bisa melakukan apapun dan mendengarkan semua larangan orang hamil dari Oma.
Dara mengelus dada mengenyangkan pikirannya yang terlalu jauh membayangkan. Dara mengangguk ragu atas perkataan Mama saat ia ditatap oleh Mama yang menanti jawaban dari Dara.
Mama menarik kursi, kemudian duduk menunggu Oma dan Raffa yang tak kunjung muncul, sementara Dara masih berdiri di samping meja makan yang agak jauh dari kursi Mama. Raffa dan Oma datang bergantian. Dan lagi Dara hanya bisa tersenyum samar melihat Raffa yang tidak memakai pakaian yang ia pilihkan. Saat Oma datang dan melihat Dara beliau langsung menghampiri Dara dan memukul lengannya.
"Bandel ya jadi anak. Itu rambut gak usah diiket iket ... lepas-lepas. Oma udah bilang, 'kan nanti bayinya bisa terlilit tali pusar." Melepas ikat rambut Dara hingga terurai bebas.
Dara mengerjap tak percaya. Pamali lagi. Pikirnya.
Ia pun menurut saja tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Diam lebih baik dari pada menjawab. Batinnya.
Dara melamun memikirkan di usia kehamilannya apa ada kemungkinan terlilit tali pusar. Bahkan janinnya masih kecil. Lamunan Dara lenyap tak kala Oma mencubit lengannya hingga Dara meringis sakit.
"Ibu hamil gak baik ngelamun nanti kerasukan makhluk halus."
Semua ternganga mendengar ucapan ambigu Oma tak terkecuali Raffa yang tengah menyeruput kopinya. Mengalihkan pandangan pada Dara dan Oma yang masih setia memberi Dara petuah kuno.
Ada berapa banyak pamali ibu hamil. Pikir Dara.
"Ibu masih percaya pada mitos begituan." Mama menggeleng tak percaya.
"Waspada dari dini, 'kan gak masalah," jawabnya, kemudian menarik kursi untuk duduk.
Dara melihat semua sudah berkumpul pun mengambilkan makanan satu persatu. Saat semua telah selesai Dara melangkah mundur meninggalkan meja makan, tapi suara Oma menghentikan langkahnya.
"Dara mau kemana. Makan dulu gak baik perut kosong," ucap Oma.
Dara memandang Mama seakan meminta izin menuruti perkataan Oma. Mama memutar mata tak rela. Antara kesal dan muak, tapi tak urung Mama mengedipkan mata mengizinkan Dara bergabung. Dara mendekat dan menarik kursi yang berada di samping Oma, tapi ditahan oleh Oma.
"Duduk di sebelah suami kamu," ucapnya garang. Dara menghembuskan nafas lelah. Menghampiri kursi di sebelah Raffa dan mendudukinya.
Sarapan berjalan dengan tenang hingga Oma memecahkan keheningan dengan pertanyaannya.
"Udah ada perubahan apa," tanya Oma yang ditujukan pada Dara.
"Biasa Oma hanya mual, pusing dan sesak," jawab Dara.
"Raffa kamu mau kerja," tanya Oma yang diangguki Raffa karena mulutnya yang sedang mengunyah.
"Kamu temenin Dara belanja dulu. Beli perlengkapan Dara diusia kandungannya pasti bajunya mulai terasa sesak," ucap Oma.
"Tidak bisa Oma ada klien penting yang datang hari ini." tolak Raffa. Padahal tidak ada klien penting yang akan ia temui hari ini. Raffa memiliki jadwal lain yang jauh lebih penting daripada menemani Dara belanja.
"Kamu ini suami macam apa!" marah Oma. Mama mendelik tak suka putranya dimarahi oleh Oma.
"Apa sih, Bu. Gitu aja ribut. Dara bisa belanja sendiri." Mama berkata.
"Ya, kalau dia punya uang," sambungnya dalam hati.
"Kamu juga tidak mau menemani Dara belanja," delik tajam Oma pada Mama.
"Aku ada arisan hari ini," ucap Mama.
Dara tersenyum pahit mendapat penolakan dari Raffa dan Mama. Tak seharusnya Dara berharap mereka akan peduli.
"Ya sudah biar Oma yang menemani Dara belanja," final Oma tidak bisa diganggu gugat.
Tak ada sahutan dari perkataan Oma. Mereka berempat fokus pada makanan masing-masing.
***
Happy reading.
Hemm dipikir pikir Oma itu baik, tapi ngeselin juga ya, 'kan. 😂 Oke deh sampai ketemu besok pagi. Author up 2x sehari, pagi dan malam untuk jam tidak bisa ditentukan.
Salam sayang dari aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
EndRu
Oma bisa diajak curhat ini .
2023-12-03
0
Nanik Rusmini
Oma mah ...generasi kolot....😀
2021-08-09
1
Syeren Esther
abang Reza manaa, kok ngga muncull temanin Daraa sii
2021-08-05
1