Hembusan angin malam menerpa wajah sembab Dara. Langkahnya yang pelan dan tatapan matanya yang kosong seakan memberitahukan bahwa Dara tidak dalam keadaan baik. Setiap langkahnya terasa berat, jalan hidup apa yang tuhan gariskan untuknya sehingga Dara harus melalui penderitaan tiada akhir. Mengeluh tidak akan mengubah apapun.
Tiba di rumah Dara masuk melalui pintu belakang karena ia tahu pintu utama di kunci, apalagi pada waktu dini hari seperti ini. Beruntung Dara memiliki kunci pintu belakang sehingga ia bisa masuk dan keluar dengan leluasa.
Dara memutar knop pintu, kemudian masuk. Keadaan rumah yang gelap membuat dara berhati-hati dalam melangkah jika tidak ingin menimbulkan kegaduhan pada dini hari. Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela sedikit membantu Dara dalam melihat. Kamarnya yang memang tidak jauh dari pintu belakang memudahkan Dara menemukannya.
Klek
Tiba-tiba lampu menyala membuat sekitar terang. Dara berbalik dan melihat Ayah yang berdiri di dekat saklar. Kali pertama Dara bertatap muka dengan Ayah, biasanya ia hanya bertemu dengan Ayah di meja makan itu pun tanpa Ayah membalas tatapan Dara. Dia begitu mengabaikan keberadaan Dara menganggap Dara tidak ada.
"Ayah," ucap Dara senang karena ia fikir Ayah mengkhawatirkannya.
"Dari mana kamu." Dara terkejut, ia tersenyum dengan mata berkaca-kaca.
Ayah berbicara dengan Dara. Sungguh keajaiban. Apa karena Dara pulang dini hari sehingga Ayah mengkhawatirkan dirinya dan mau bertanya pada Dara. Jika karena itu ia akan senang hati pulang terlambat demi bisa mendengarkan ucapan Ayah.
"Rumah saya bukan panti asuhan yang menerima seseorang keluar masuk dengan sesuka hati." Detik berikutnya senyum Dara hilang tergantikan ketakutan, melihat Ayah mendekat dengan sabuk yang berada di tangannya.
Tidak! Tidak! Dara tahu apa yang akan Ayah lakukan. Kenangan masa kecil menghantui dirinya. Saat Dara tidak sengaja membuat Andin menangis, Ayah mencambuk Dara sebagai hukuman, tapi saat itu masih ada Nenek yang mengobati lukanya. Sekarang Nenek tidak bersama Dara lagi.
"Ayah jangan Dara minta maaf," ucap Dara ketakutan.
"Saya bukan Ayahmu."
Cetar
Dara meringis merasakan perih pada punggungnya, air matanya menetes bersamaan dengan cambukan berikutnya yang dilayangkan sang Ayah.
"Kesalahan terbesar saya adalah memiliki anak seperti dirimu."
Cetar
Kata itu sangat melukai perasaan Dara. Anak yang tidak diinginkan, begitulah perumpamaannya.
"Anak pembawa sial."
"Kenapa kau tidak menyusul nenek tersayangmu saja."
Perkataan terakhir Ayah mengakhiri cambukan pada tubuh Dara. Dara tersenggal-senggal menarik nafas. Punggungnya terasa sangat sakit. Tangannya hanya meremas kuat ujung pakaiannya untuk meredam rasa sakit. Bibirnya bergetar menahan isak tangis agar tidak terdengar sang Ayah.
Plak
Ayah menampar Dara, kemudian mencengkram rahang Dara begitu kuat.
"Kalau bukan karena surat wasiat. Saya pasti sudah mengusir dirimu." Melepas cengkraman dari Dara, lalu menjauh meninggalkan Dara yang tersenyum getir.
Sadar, Dar. Kamu tidak lebih dari beban di keluarga ini. Batin Dara
Di sisi lain ada orang yang melihat semuanya. Bi Lastri, pembantu keluarga Dara. Perempuan paruh baya yang hanya memandang nanar pada putri majikannya. Sudah tidak asing lagi baginya melihat siksaan yang diterima Dara.
Dara bangkit melangkah tertatih-tatih memasuki kamar. Ia memilih pergi ke kamar mandi dan menyalakan shower, kemudian berdiri di bawah air membiarkan tubuhnya di siram air dingin. Dara kembali menangis meresapi rasa sakit ketika air mengguyur lukanya.
Tidakkah cukup penderitaannya hari ini. Dara sudah kehilangan sesuatu yang berharga bagi dirinya, kini diperparah dengan luka yang ditorehkan ayahnya. Apakah di kehidupan sebelumnya Dara membuat kesalahan yang teramat besar sampai ia harus mendapatkan nasib buruk di kehidupannya sekarang.
Dara melihat tubuhnya yang penuh dengan karya pria ******** itu padanya. Dara menggosok tubuhnya berharap tanda itu akan hilang.
"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Semua hancur aku kotor. Tuhan selain padamu aku harus mengadu pada siapa." Rintihan Dara terdengar begitu menusuk hati. Tiada yang bisa ia perbuat.
"Apa kau tidak melihat penderitaanku. Kenapa kau diam saja melihat jalan hidupku. Jika kau hanya ingin mempermainkan diriku tidak seperti ini! Ambil aku, jemput aku dan bawa aku meninggalkan dunia yang sangat kejam." Sesak jika Dara meminta hal tersebut kepada Tuhan, tapi ia sudah terlanjur sakit hati.
"Tuhan ... aku lelah, aku ingin beristirahat dengan tenang. Apa kelahiranku adalah sebuah petaka? Kenapa aku ada, jika tidak diinginkan. Mereka, mereka tidak pernah melihat keberadaanku."
"Aku tidak menginginkan lahir di keluarga ini, aku tidak menginginkan menjalani takdir ini. Aku hanya anak yang tidak diinginkan." Dara mendongak memprotes takdir hidupnya. Matanya belum lelah untuk mengeluarkan air mata.
"Nenek, apa nenek melihat Dara dari atas sana? Bagaimana Dara menjalani kehidupan ini, apa nenek bahagia di sana. Bisa kah Nenek mengajak dara juga, setidaknya Dara tidak akan merasakan sakit lagi." Dara teringat akan Neneknya yang sudah tiada.
"Ayah, Ibu dan Andin tidak menginginkan kehadiran Dara, Nek. Mereka membenci Dara, tanpa Dara tahu di mana letak kesalahan Dara. Nenek pernah meminta Dara berjanji untuk tidak meninggalkan Ayah dan Ibu, tapi Dara tidak sanggup untuk bertahan, Nek." Dara mengadu pada Nenek yang hanya bisa ia bayangkan kehadirannya.
"Luka ini tidak ada artinya jika di bandingkan dengan luka di hati Dara, Nek. Ucapan Ayah sangat menyakitkan bagi Dara. Tidakkah mereka tahu ada Dara yang selalu menunggu kasih sayang mereka sebagai keluarga yang sampai saat ini belum pernah Dara rasakan." Air mata Dara bersatu dengan air dari shower. Ia amat tersiksa, ia lelah fisik dan psikis.
Merasakan perlakuan orang yang ia anggap sebagai keluarga, tidak layak di sebut keluarga. Dunia sangat kejam, seorang anak adalah anugrah bagi kedua orang tuanya, tapi Dara ia hanya dianggap pembawa sial. Hati anak mana yang kuat menerima kata itu terlontar dari mulut orang tuanya. Kalaupun mereka tidak menginginkan Dara kenapa tidak melenyapkan Dara saja sejak dari kandungan. Mereka tidak perlu repot-repot merawat Dara. Ah ya mereka hanya membiayai tidak merawat yang melakukan kewajiban sebagai orang tua adalah Neneknya. Nenek yang merawat Dara sejak bayi, lantas bagaimana dengan kakeknya. Beliau acuh, sama seperti orang tuanya. Kakek adalah sosok yang sangat menjunjung tinggi kepercayaan lama di mana anak pertama laki-laki akan membawa berkah, lain dengan anak pertama perempuan.
Tok tok tok
Suara ketukan pada pintu kamar mandinya, membuat Dara tersadar dari pikirannya, ia bangkit mematikan shower.
"Nak Dara, ini Bi Lastri. Jangan terlalu lama di kamar mandi nak nanti kamu bisa sakit," ucapnya.
"Iya, Bi." Serak Dara menjawab. Ia melepas pakaiannya dan menyambar handuk kemudian mengenakannya. Dara meringis saat kulitnya bergesekan dengan handuk.
Ceklek
Pintu terbuka. Bi Lastri tersenyum menyambut Dara yang juga menampilkan senyumnya. Bibi menuntun Dara untuk duduk di tepi ranjang.
Bi Lastri tersenyum pedih melihat wajah Dara yang lebam terkena tamparan belum lagi ia melihat bibir Dara yang terluka. Mata dan hidung yang memerah tanda Dara habis menangis tidak luput dari pandangan wanita paruh baya ini.
"Bibi mau apa?" tanya Dara saat Bi Lastri duduk di belakang Dara.
"Mengoleskan salep pada luka Nak Dara. Tahan ya mungkin sedikit perih."
"Tidak akan perih, Bi. Dara sudah merasakannya saat kecil." Bibi mengangguk meski Dara tidak melihatnya. Sangat pelan Bibi mengoleskannya. Ia tidak tega selalu menyaksikan penderitaan Dara.
"Nak Dara ikut bibi saja, ya. Kita pergi dari sini," ajaknya.
"Dara sudah berjanji pada Nenek untuk tidak pergi kemana pun, Bi."
"Bibi sedih lihat Nak Dara diperlakukan seperti ini. Kenapa tidak mencoba melawan kau sudah dewasa kau berhak menentukan kebahagiaan mu, Nak." Bibi meneteskan air mata memandang luka yang didapatkan Dara.
"Dara tidak bisa berbuat apapun, Bi. Dara terlalu lemah. Ingin rasanya Dara pergi jauh agar tidak merasakan sakit lagi. Dara ingin tertawa lepas tanpa tekanan, Dara ingin berlari menuju tempat yang banyak menyimpan kasih sayang. Sehingga Dara tidak perlu menunggu untuk mendapatkan kasih sayang," ujar Dara.
"Maka ikutlah dengan Bibi, Nak. Akan bibi pastikan Nak Dara mendapatkan apa yang diinginkan."
Dara menggeleng. "Aku akan pergi setelah usiaku 25 tahun, itu yang Nenek tulis di surat wasiat."
Bi Lastri mendesah kecewa atas penolakan Dara. Ia sudah beberapa kali membujuk agar Dara ikut bersamanya meninggalkan rumah.
Tanpa sengaja fokus Bi Lastri berpindah ke leher dan pundak Dara yang merah. Ia wanita tua dan ia tahu tanda apa itu, tapi tidak mungkin seorang Dara melakukan hal yang tidak baik. Ia percaya Dara tidak seperti apa yang ia bayangkan. Dara gadis baik dengan luka di hatinya.
***
Happy Reading
Bagaimana dengan hari ini? semoga lebih baik dari hari sebelumnya, ya. Ikuti terus kisah Dara.
Salam sayang dari aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
aquawomen
ajak saya aja bi
saya mau ikut bibi kemana aja asal jg ada disini
2023-02-20
0
Endang Winarsih
ceritanya sedih bnget
2022-07-24
0
Mia Lurve
mesti ayah dia bukan muslim yg baik kan..sbb kalau muslim mestilah percaya anak perempuan tu pembawa berkah..seperti yg diajarkn Rasulullah saw ..bahawa anak perempuan pertama bukan pembawa sial..Islam mengajarkn anak perempaun n laki2 sama taraf,jgn jadi mcm org zaman jahiliyah bunuh ank permpuan
2022-03-05
0