Jarak antara rumah Raffa dan restoran tempat Dara bekerja menjadi lebih jauh dan itu menambah ongkos bagi Dara. Bersyukur Mang Ujang mau mengantar Dara sampai restoran. Setelah mengucapkan terimakasih Dara pun masuk dan Mang Ujang kembali ke rumah.
"Dara, akhirnya lo datang juga. Emang ada acara apa sih sampai lo harus masuk siang." Fera menghampiri Dara yang meletakkan tas.
"Bantu bi lastri menyambut tamu ayah." Fera hanya membulatkan mulut dengan gerakan mengangguk.
Dara mengambil nampan didekat Fera, tetapi ia berhenti sejenak memegang kepalanya yang terasa pening. Efek tidak menggunakan helm sehingga panas matahari menyinari dirinya.
"Lo kenapa." Menahan Dara yang limbung.
"Cuma pusing aja, Fe," ucap Dara.
"Lo udah makan belum." Dara menggeleng teringat jika ia belum makan siang. Ia meringis malu karena hal sepele seperti ini harus diingatkan oleh Fera.
"Astaga, Dar. Lo lupa tau gimana sih sampai lupa gitu. Ingat Dar, lo itu lagi ham ...." Belum sempat Fera melanjutkan perkataannya. Dara sudah membungkam mulut Fera. Takut gadis itu keceplosan mengatakan ia hamil dan didengar oleh karyawan lain. Bisa panjang nanti urusannya.
"Mmm." Fera menepuk tangan Dara karena menghalangi jalur pernafasannya.
Dara menengok kanan kiri memastikan tidak ada karyawan yang mendengar mereka. Ia pun melepas tangannya, melihat wajah Fera yang memerah dan mengambil nafas banyak-banyak.
"Kamu gak papa, Fe." Menepuk punggung Fera.
"Gila lo ya mau bunuh gue atau gimana." Tersenggal-senggal Fera mengatakannya.
"Sorry, Fe. Aku sengaja." Fera menatap Dara tidak percaya atas apa yang Dara katakana.
"Sengaja ya," senyum misterius diperlihatkan Fera membuat Dara mencari akal agar terhindar dari amukan sang sahabat.
"Aunty makan aja yuk aku lapar," ucap Dara menirukan suara anak kecil sembari mengelus perutnya.
Trik tersebut berhasil menghentikan Fera yang ingin menggelitiki Dara. Melihat wajah memelas Dara akhirnya Fera mengalah dan menuruti keinginan Dara. Dia mengambil makanan, kemudian menyerahkannya kepada Dara yang disambut senyum merekah oleh Dara.
"Kamu gak balik kerja, Fe?"
"Gak, mending di sini liatin lo makan sampai habis. Gue pernah baca kalo bumil di awal kehamilan tuh nafsu makannya kurang."
"Sejauh ini masih baik-baik aja, aku masih bisa makan apa aja."
"Ya, syukur deh kalau gitu." Dara mengangguk melanjutkan makannya. Fera terus memperhatikan Dara yang begitu menikmati makanan.
"Jangan diliatin terus Dara jadi salting."
"Hamil enak engga sih, Dar." Perkataan Fera menghentikan gerakan menyendok Dara.
"Siapa yang hamil," suara bariton seorang pria mengalihkaan pandangan kedua wanita tersebut. Dara dengan perasaan was-wasnya, sedangkan Fera gelagapan menjelaskan apa yang ia katakana tadi.
Reza menaikkan salah satu alisnya merasa aneh dengan gelagat dua karyawannya.
"Ehh ... Pak Reza, ada apa pak kemari," ucap Fera mencari topik lain.
"Tidak ada saya hanya mengecek dan mendengar kalian membicarakan kehamilan memang siapa yang hamil,"
Ya, ampun nih orang kok masih ingat aja sih amnesia sesaat kek atau gimana. Gerutu Fera dalam hati.
"Sepupu saya haha ... iya ... sepupu. Iya, 'kan, Dar." Menyenggol bahu Dara meminta dukungan. Dara yang masih shock karena kehadiran Reza hanya mengangguk.
"Ooo ... ya sudah, setelah istirahat segeralah bantu yang lain. Restoran mulai ramai."
"Baik, Pak." Mereka menjawab dengan kompak. Reza menggeleng melihat kelakuan kedua wanita itu. Dia pun meninggalkan tempat itu kembali ke dalam ruangannya mengurus beberapa hal.
Dara dan Fera menghembuskan nafas lega selepas kepergian Reza. Mereka saling pandang, kemudian tertawa atas kejadian yang baru saja mereka alami. Tidak menyangka menyembunyikan rahasia akan sesulit ini. Ahh ... tidak terbayang akan berapa banyak kebohongan yang akan mereka ciptakan.
"Dar, sampai kapan lo akan menyembunyikan kehamilan lo. Semakin hari perut lo akan semakin terlihat," ucap Fera tiba-tiba.
"Entahlah, Fe. Aku gak tahu gimana cara bicarain hal ini sama Pak Reza. Aku takut dipecat tahu sendiri cari pekerjaan itu susah," ujar Dara sendu.
"Orang tua lo belum tahu hal ini juga?" selidik Fera.
Dara diam sesaat, lalu menggeleng sebagai jawaban. Ia bingung bagaimana menjelaskan keadaannya pada Fera. Tidak mungkin Dara membicarakan pernikahannya dengan Raffa. Dara takut Fera kembali kecewa padanya.
Tak lagi mengajukan pertanyaan. Dara dan Fera mulai melakukan pekerjaan mereka. Dara dengan cekatan menyambut pembeli dan mencatat pesanan, kemudian menyerahkan pada Fera agar pesanannya segera diantar. Dara pun membersihkan meja yang sudak kosong, membawa peralatan kotor ke bagian pencuci untuk dibersihkan. Setengah hari ini Dara habiskan dengan bekerja.
Selesai bekerja Dara pun menggunakan ojek untuk pulang. Ia menolak tawaran Fera karena mulai saat ini. Tujuannya pulang sudah berbeda. Ia akan menjelaskan pada fera nanti saat ia sudah siap untuk bercerita.
Sampai di rumah Dara meyerahkan helm, kemudian membayar ongkos. Ia mengintip pada garasi yang masih kosong itu tandanya Raffa belum pulang, setidaknya Dara menepati perkataanya pada Mama.
Membuka pintu yang ia lihat keadaan rumah yang sangat sepi. Dara berlalu menuju kamar. Ia ingin mandi dan mengistirahatkan punggungnya yang terasa pegal. Kakinya juga sedikit sakit karena ia gunakan ke sana ke mari mengurus pesanan pembeli. Dara mengambil pakaian kemudian menggunakan kamar mandi.
Sekitar 15 menit Dara berada di kamar mandi. Ia keluar sudah berganti pakaian. Wajahnya pun terlihat lebih segar. Merapikan sedikit rambutnya yang berantakan, ia pun duduk di tepi ranjang mengambil ponsel miliknya dan membalas pesan yang dikirimkan oleh Fera.
Pintu kamar terbuka dan Raffa masuk dengan jas yang bertengger di lengan kanannya. Dara spontan berdiri melihat Raffa yang berjalan lesu ke kamar mandi, tanpa melihat keberadaan Dara di sana. Dara mendekati lemari pakaian Raffa memilih satu set pakaian santai untuk suaminya. Itu yang Dara pelajari dari google, cara menjadi istri yang baik.
Dara keluar takut mengganggu kenyamanan Raffa. Ia berjalan mencari letak dapur, ia ingin membantu untuk menyiapkan makan malam.
"Rumah gede banget ya, di mana lagi nih dapur udah muter-muter kok gak ketemu," gerutu Dara pada dirinya sendiri.
Rumah Raffa sangat besar dan Dara kebingungan mengetahui letak tata ruang. Berjalan ke sana ke mari dan hasilnya nihil, ia kembali ke tempat semula. Lama kelamaan Dara frustasi sendiri. Ia yang sudah lelah bekerja harus bermain petak umpet dengan letak dapur sungguh menyebalkan.
"Di sini ada denah gak sih, Dara pengen lihat di mana dapurnya." Mengarahkan pandangannya pada setiap dinding siapa tahu benar ada denah. Dara kembali menghela nafas lelah, ia sangat frustasi dan kesal karena dapur. Rasanya ia ingin menangis saja.
Berada di posisi keputusasaan. Dara mencium aroma masakan yang begitu menggugah selera. Mengikuti dari mana arah datangnya aroma tersebut. Dara tersenyum bahagia karena berhasil menemukan dapur.
***
Happy reading.
Yah kagak nyambung nih ama part sebelumnya huhu. Maafkan aku yang gak ada stok ide.
Salam Repeatedly Hurt
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
Nova Septiarini
klo rumah gede pake gps biar gampang nyari dapurnya
2021-08-02
2
Nani Kusnandi
semangat
2021-05-31
2
Noor Dech
coba tanya mbah gugel dara..
2021-05-20
1