Insiden di restoran menjadi peringatan bagi Dara untuk tidak mendekati Raffa atau pekerjaannya yang menjadi korban. Beruntung sang pemilik restoran sangat baik hati terhadapnya.
Reza Aditama pengusaha muda yang memiliki banyak bisnis restoran. Hari ini Reza mengunjungi restoran Dream Love yang mengusung tema percintaan remaja. Tidak disangka ia harus berhadapan dengan pria yang menjengkelkan, menurutnya Raffa terlalu kekanak-kanakan, hanya karena jus yang tumpah, dia membesarkan masalah yang sangat sepele baginya.
Reza memang jarang mengunjungi Dream Love, tapi dia tahu tentang Dara. Dia selalu mendengar sang manajer membicarakan tentang Dara yang sangat pekerja keras dan tak mudah menyerah, selalu sabar melayani pembeli dengan berbagai karakter. Reza penasaran akan sosok Dara dan baru tadi dia berhasil melihat wajah Dara yang sangat cantik natural. Ada sesuatu yang aneh menyerang jantungnya hingga berdetak sangat kencang.
"Dara, lo kenapa muka lo pucat banget kaya abis lihat hantu," gurau Fera, tetapi khawatir dengan kondisi Dara.
"Hah ... aku hampir dipecat karena gak sengaja numpahin jus," ucap Dara menghembuskan nafas berkali-kali merasa lega juga sesak pada bagian dadanya.
"Terus gimana."
"Sudah diurus sama Pak Reza dan aku gak dipecat." Senyum Dara menatap Fera yang harap-harap cemas, jikalau Dara dipecat.
"Huft ... syukur deh kalau gitu."
"Dara kamu tidak apa-apa?" tanya Reza memandang wajah pucat Dara.
"Terimakasih, Pak. Saya baik," balas Dara tersenyum kikuk menjawab pertanyaan sang atasan.
"Ekhm...." Fera berdehem saat Reza sudah meninggalkan mereka.
"Cie ... kayanya bakal ada calon bu bos nih," canda Fera tersenyum jahil.
"Apa."
Dara dan Fera kembali melakukan pekerjaan mereka. Hingga sore hari, sang mentari mulai pulang ke peraduan menampilkan bulan yang bersinar.
Mereka mampir ke warteg untuk mengisi tenaga mereka yang terkuras habis saat bekerja. Makanan sederhana, masakan rumahan menjadi pilihan mereka. Fera yang katanya merindukan masakan sang ibu, sedangkan Dara karena harganya yang masih bisa dijangkau oleh isi dompetnya.
Dara ingin berhenti menjadi pelayan di club malam, karena sama saja mengingatkan malam terkutuk itu, tapi ia juga membutuhkan uang untuk menyambung hidupnya setelah keluar dari rumah. Mengenai pendidikannya ia sudah tidak memperdulikannya lagi.
"Dara ini tas lo kata syifa ketinggalan." Bartender menghentikan langkah Dara dan Fera.
Dara baru teringat jika ia meninggalkan tasnya kemarin.
"Terimakasih, Bang," ucap Dara mengambil tasnya. Melanjutkan langkah menuju ruang ganti.
"Pantes, gue telpon gak diangkat. Ketinggalan toh, tapi ko bisa ketinggalan?" Fera penasaran.
"Kak Syifa minta bantuan kemarin jadi tasnya ditaruh. Waktu pulang gak bawa tas deh." Tidak sepenuhnya Dara berbohong ia mengatakan setengah kebenaran.
Mereka pun bekerja. Dara mengantar minuman pada setiap orang yang memintanya. Ia tidak akan naik ke lantai atas lagi, sungguh ia takut kejadian itu akan terulang lagi. Baginya itu mengerikan, pertemuan di restoran tadi pun membuatnya takut berhadapan dengan Raffa.
Ahh mengingat Raffa dan Khanza yang terlihat sangat cocok dan sempurna berdampingan membuatnya muak. Takdir mempermainkan Dara lagi. Ia benci Raffa, tapi tidak bisa melakukan apapun. Ia lemah dari berbagai sisi. Tidak ada dukungan yang Dara dapat kecuali Fera yang selalu ada bersamanya. Dan tidak mungkin Dara menceritakan kehancuran dirinya pada Fera dan melukai kepercayaan sahabatnya. Dara bekerja di sini pun karena ajakan Fera, jika ia menceritakan hal buruk yang menimpanya pasti Fera akan menyalahkan dirinya sendiri. Maka dari itu ia lebih memilih memendam kejadian itu dan berusaha tidak mengingatnya.
Waktu berjalan begitu cepat. Dara dan Fera sudah diperbolehkan pulang. Meski jam sudah menunjukkan pukul 10 malam tidak jarang ada kendaraan umum yang bisa digunakan Dara untuk pulang. Ia selalu menolak ajakan Fera untuk mengantarnya karena tujuan mereka yang berbeda arah.
Keadaan rumah sangat sepi, mobil ayah pun tidak ada di garasi, mungkin saja ayah dan ibu sedang pergi dan balik besok itu yang Dara perhatikan setiap kali ayah dan ibu tidak ada di rumah malam hari. Setidaknya ia tidak akan menerima hinaan yang menyakiti hatinya.
Dara membersihkan diri, lalu berbaring mengistirahatkan tubuhnya yang lelah seharian bekerja. Dara harus mulai memikirkan tempat tinggal yang akan ia huni setelah meninggalkan rumah. Ia akan mengontrak saja dengan biasa sewa yang murah, sisa tabungannya akan ia gunakan untuk membuka usaha dan keluar dari club. Ya, Dara akan melakukan hal itu. Ia akan membuka lembaran hidup baru hanya sendiri. Ia pasti akan bahagia.
Tok tok tok
Dara yang hendak memejamkan mata mengurungkan niatnya. Pintu kamar yang diketuk membuat Dara penasaran, jika itu Bi Lastri pasti akan ada suara yang mengiringi, tapi ini tidak. Dara sedikit ragu untuk membukanya.
Buk Buk Buk
Kali ini bukan lagi ketukan melainkan gedoran yang sangat keras.
"Sebentar," ucap Dara. Ia khawatir pintu kamarnya rusak mendapat gedoran secara brutal.
Ceklek
Dara membuka pintu dan ternyata Andin sang adik yang menggedor pintu kamarnya. Dia terlihat kesal. Andin masuk dengan sedikit mendorong tubuh Dara untuk memperluas jalan masuknya.
Dara menutup pintu dan menghampiri Andin yang duduk di ranjang. Ada rasa bahagia Andin mau masuk ke kamarnya. Apa mungkin karena orang tuanya tidak di rumah sehingga Andin mengunjunginya. Dara sangat berharap sikap Andin terhadapnya ketika dihadapan orang tua mereka hanya tipuan belaka. Dan ia harap Andin saat ini akan menunjukkan sifat aslinya. Dara sangat berharap akan itu.
"Kamu tumben ke sini, Dek." Dara penasaran juga mengenai alasan Andin menemuinya.
"Gak boleh? Ya udah Andin keluar aja," ucap Andin kesal.
"Bukan, bukan gitu. Boleh kok cuma kakak penasaran aja," ujar Dara lembut agar Andin tidak merasa kesal.
"Andin minta uang." Dara membulatkan mata, mendengar alasan Andin. Tidak ada yang bisa Dara harapkan dari adiknya ini.
"Kamu, 'kan dapat uang dari Ayah kenapa masih minta sama kakak," ujar Dara.
Andin selalu menerima uang jajan yang lebih besar dari gaji Dara. Entah bagaimana uang itu bisa habis hanya beberapa hari saja dan ayah tidak mempermasalahkan. Dara sendiri sudah berhenti meminta uang ketika ia menerima gaji pertamanya.
"Apa susahnya sih kasih uang ke adik sendiri. Kakak sendiri kerja udah lama pasti uangnya banyak. Pelit banget jadi orang."
"Kamu minta uang buat apa, kasih alasan yang jelas. Buat jajan pasti gak mungkin ini udah malam. Bayar uang kuliah kamu? Pasti udah dibayar sama Ayah. Beli buku? Gak mungkin kamu jarang beli buku."
"Udahlah bilang aja pelit. Awas aja aku aduin ke Ibu," ancam Andin.
Andin tidak akan main-main dengan perkataannya. Jika sudah berurusan dengan Ibu. Dara angkat tangan, ia tidak sanggup jika harus menerima hukuman lagi. Tadi pagi saja tangannya sudah terluka.
"Bentar kakak ambil uangnya dulu," ucap Dara menghentikan Andin keluar dari kamar.
Dara menyodorkan lima lembar uang berwarna merah yang ditatap sengit oleh Andin.
"Segini mana cukup!" teriak Andin marah.
"Kamu butuh berapa." Dara masih bersabar menghadapi tingkah adiknya."
Andin berjalan ke lemari Dara dan mengambil uang yang Dara simpan. Ia sempat memperhatikan di mana Dara mengambil uang. Andin mengambil semua tanpa sisa. Hanya tinggal beberapa lembar uang yang ada di lemari.
"Andin jangan, mau diapakan uang sebanyak itu. Kakak mengumpulkan sedikit demi sedikit." Dara menghalangi Andin yang hendak pergi dari kamarnya.
Dara berusaha meraih amplop berisi uang, tapi selalu berhasil ditangkis oleh Andin.
"Andin kalah taruhan! Dan gak mungkin Andin minta sama Ayah yang ada nanti Andin dimarahi. Ya sudah pake uang kakak aja. Kakak masih bisa kerja kumpulin lagi aja."
Begitu mudahnya Andin berkata 'kumpulkan lagi' dia tidak merasakan lelahnya bekerja demi mendapat uang. Andin tidak merasakan apapun, dia tinggal minta dan langsung dikabulkan oleh Ayah.
Taruhan? Andin kalah taruhan dan uang Dara yang menjadi korban. Ini tidak adil, Andin yang berbuat kenapa Dara yang harus menanggung. Dara merampas paksa amplop dari tangan Andin.
Andin berusaha mempertahankan uang itu.
"Andin, lepas. Kakak gak bisa bantu. Kamu harus mempertanggung jawabkan perbuatanmu. Besok kakak akan bicara sama Ayah biar dicari jalan keluarnya."
"Sama saja kakak masukin aku ke kandang harimau." Andin menyentak tangan Dara hingga terlepas.
Matanya nyalang menatap Dara penuh amarah.
"Berani kakak aduin masalah ini ke Ayah Andin akan berbuat lebih." Dara meringis sakit karena Andin menjambak rambutnya begitu kuat.
"Andin dengerin kakak. Ayah sayang sama kamu pasti Ayah gak bakal keberatan bantuin kamu."
"Bilang aja kakak mau lihat Ayah marah sama aku."
Andin membawa Dara mendekat dinding kamar. Tangannya masih setia menjambak rambut Dara. Ia menghantamkan kepala Dara pada dinding begitu keras.
Seketika rasa pening menyerang kepala Dara. Setetes air mata jatuh dari pelupuk mata Dara.
"Andin kamu salah paham," ucap Dara meringis sakit.
"Omong kosong!"
Duk.
Sekali lagi Andin menghantamkan kepala sang kakak. Dara diambang batas kesadaran, dengan mata yang hampir menutup ia melihat Andin meninggalkan kamarnya dengan uang ditangannya.
Dara merasakan sesuatu mengalir dari hidungnya. Ia meraihnya dan ternyata darah yang keluar. Kepalanya sangat sakit dan di sisa kesadaran Dara bergumam sesuatu.
"Nenek." gumam Dara, kemudian pingsan.
***
Happy reading
Andin jahat banget yah. kalau kalian punya saudara kek Andin, sikap kalian gimana nih.
Salam sayang dari aku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
YK
maaf ya, umur 25 tahun TERLALU TUA utk bersikap seperti Dara.
2023-11-23
0
Febbie Bawengan
bodoh
2023-09-11
0
Anonymous
Kenapa org bisa tertindas ? Jawabnya karna dia bodoh…
2023-02-28
0