Pagi hari menyapa menenggelamkan sang bulan dalam sudut ruangan tak terlihat. Menggantikan tugasnya untuk menyinari semesta alam.
Dara yang baru saja tidur beberapa jam karena pulang larut serta harus menghadapi drama Ayah dan anak, membuat matanya enggan untuk terbuka. Rasa sakit pun masih terasa di tubuhnya, apalagi pada wajahnya yang dapat dipastikan sedikit bengkak.
Byur!
Guyuran air yang dingin menerpa wajah Dara. Ia membuka mata melihat Ibu berdiri dengan tampang kesalnya.
Dara bangkit mengusap wajahnya yang terkena air. Sudah biasa baginya menerima perlakuan ini. Dara tersenyum samar melihat keberadaan Ibunya. Wanita yang telah melahirkan dirinya dan wanita yang menolak kehadirannya. Wanita yang belum pernah Dara rasakan dekapan hangat seorang ibu. Wanita yang tidak pernah sama sekali bersikap layaknya seorang ibu di mata Dara. Ia sudah kehilangan figur orang tua dari kehidupannya.
"Waah nyonya besar baru bangun. Nyenyak tidurnya? Bagus ya pulang dini hari, lalu bangun telat supaya gak ngerjain pekerjaan rumah, iya?" deliknya marah.
"Maaf, Bu. Dara telat, tubuh Dara sakit, boleh ya untuk hari ini Dara istirahat," pinta Dara. Jujur kepalanya pening dan tubuhnya mati rasa.
"Gak ada alasan. Kamu di sini cuma numpang ingat batasanmu. Cepat bangun ada banyak pekerjaan," perintah Ibu dengan pandangan meremehkan.
"Dara beneran gak enak badan, Bu."
"Gak usah banyak alasan, gak bakal ngaruh apapun. Saya makin benci lihat kamu,"
"Dara sayang ibu. Dara sayang kalian, tapi kenapa kalian tidak menginginkan kehadiran Dara di sini. Dara cuma ingin kasih sayang. Dara gak minta yang mahal, yang Dara minta sangat sederhana."
"Kamu tidak lebih dari beban bagi saya, saya menyesal melahirkan kamu anak yang tidak pernah diharapkan kehadirannya harus tahu diri."
"Ibu dan Ayah sangat menyayangi Andin, tapi kenapa tidak denganku?"
"Karena Andin lebih pantas mendapatkannya!"
"Dan Dara tidak pantas untuk mendapatkan hal yang sama, begitu maksud Ibu," ucap Dara tersenyum miris.
Ibu melenggang pergi tanpa membalas perkataan Dara. Apa yang bisa Dara harapkan? tidak ada. Ia pun masuk ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhnya. Setelah berpakaian lengkap ia pergi ke dapur untuk membantu Bi Lastri.
"Kak, bikinin susu coklat!" teriak Andin, padahal dia berada di meja makan yang tidak jauh dari dapur.
Dara hanya bisa mengelus dada mendengar perintah adiknya. Ia pun mulai memasukkan susu bubuk ke dalam gelas.
Gerakan Dara yang akan menuangkan air panas berhenti saat ucapan Andin terdengar olehnya.
"Ganti susu putih, Kak," ucapnya.
Keinginan Andin di atas segalanya, perintah harus dilaksanakan, dan ucapannya bak putri raja yang harus selalu dituruti, tak pikir itu benar atau salah, baik atau buruk. Sejak kecil Andin memang sudah dimanja oleh Ayah dan Ibu, sehingga tak heran jika sikap Andin semaunya sendiri karena dibelakangnya ada sosok orang tua yang akan membela Andin di situasi apapun. Mereka berdua selalu membenarkan segala tindakan Andin tidak heran jika Andin memiliki sikap ingin menang sendiri alias egois.
"Kak mana susunya. Lelet banget sih, padahal cuma minta susu." Andin bersedekap tangan dengan wajah cemberut.
"Andin sayang kenapa mukanya cemberut gitu. Masih pagi loh sayang," ucap Ibu penuh kelembutan yang hanya bisa Dara dengar.
"Andin udah telat loh, Bu, tapi Andin belum minum susu," rajuknya seperti anak kecil.
"Dara! Kamu gak dengar Andin bilang apa. Kamu tuli atau sengaja gak dengar hah!" teriak Ibu menggelegar. Dara terburu-buru melangkah dengan segelas susu ditangannya.
"Ini susunya, Din. Tadi salah ambil susu," terang Dara meski tak sepenuhnya kebenaran, karena tak lain yang menghambat pekerjaan Dara adalah Andin sendiri. Meskipun Dara berterus terang pasti Andin tidak ingin disalahkan.
"Halah dasar kamu aja yang lelet, gak udah sok kasih alasan," ucap Andin bak pisau tajam.
Dara hanya bisa diam, terlebih melihat kedatangan Ayah ke meja makan, ia ingin segera pergi dari mereka bertiga, tapi ia tidak bisa menghindar karena perintah sang Ibu.
"Cepat hidangkan makanan," perintah Ibu.
Terpaksa Dara melayani mereka terlebih dahulu. Ya, ia bukan bagian dari keluarga ini, jadi Dara cukup tahu bahwa ia tidak akan diterima makan satu meja bersama mereka. Ia memang putri keluarga ini, itu yang ada dalam pikiran orang lain, tapi bagi mereka ia tak lebih dari pembantu.
Andin menyeruput susu dan dia pun menjerit kepanasan karena lidahnya yang terbakar.
"Ahh panas panas. Air mana air," panik Andin meminta air. Dara menuangkan air dan menyerahkan ke Andin yang langsung di ambilnya kemudian di minum.
"Kamu sengaja ya mau mencelekai anak saya," tuduh Ibu melayangkan tatapan penuh permusuhan.
"Gak, Bu. Dara gak bermaksud begitu."
Salahkan Andin yang tidak melihat asap mengepul dari susu. Lagi dan lagi Dara hanya menunduk diam menerima disalahkan atas tindakan Andin.
"Selera makan saya hilang karena kamu," ujar Ayah.
Beliau meraih gelas berisi susu, lalu menarik tangan kanan Dara. Menuangkan susu panas tersebut pada tangan Dara.
"Tanganmu yang membuat susu panas ini dan melukai putri saya, maka rasakan luka dari tindakanmu." Terus menyiram tangan Dara hingga susu itu habis terbuang.
Tangan putih Dara berubah menjadi merah. Si pemilik hanya menahan air mata agar tidak jatuh. Dara menarik tangannya setelah dilepaskan oleh Ayah.
"Pergi dari hadapanku sekarang." Dara pergi.
Ia mengguyur tangan di bawah air mengalir agar tangannya tidak melepuh. Perlahan Dara mengusap tangan yang memerah.
"Hah kau bodoh Dara, untuk apa kau berusaha menyembuhkan lukamu, jika nanti kau akan mendapatkan luka baru," memandang sendu ke arah tangannya.
Dara menghembuskan nafas kasar. Menguatkan hati untuk bertahan beberapa bulan lagi saat usianya genap 25 tahun dan ia akan pergi dari rumah ini untuk selamanya. Dara akan pergi sejauh yang ia bisa.
Dara menghapus air mata yang tidak ia sadari menggenang di pelupuk matanya. Ia bergegas berangkat bekerja, setidaknya dengan bekerja pikiran Dara akan teralihkan dari masalahnya.
Angkutan umum menjadi pilihan Dara untuk tiba di restoran tempatnya bekerja. Ia tidak memiliki kendaraan pribadi baik motor atau sepeda sehingga ia menggunakan fasilitas umum. Tidak perlu nyaman yang terpenting Dara bisa sampai tepat waktu hanya itu.
Suasana restoran masih sepi baru beberapa karyawan yang masuk dan terlihat sedang membersihkan tempat, Dara tersenyum menyapa karyawan yang dilaluinya, menunjukkan tidak ada beban di hidup Dara.
Diambilnya kain dan semprotan yang akan digunakan Dara membersihkan meja.
"Dar, how are you," jerit Fera dengan penuh kebahagiaan melihat keberadaan sahabatnya.
"Fine," sahut Dara.
"Dar, kenapa muka lo kok bisa bengkak gitu dan ini tangan lo kenpa merah." Fera bertanya penuh kekhawatiran.
Dara hanya tersenyum menggeleng menyiratkan jika ia baik-baik saja.
"Tanpa lo jujur sama gue. Gue udah tahu ko apa yang sebenarnya terjadi," ujar Fera.
"Lo pasti belum sarapan, 'kan. Gue bawa Nasi uduk nih beli dekat simpangan tadi. Yuk sarapan dulu, ini bisa dilanjut nanti," ajak Fera meraih tangan Dara masuk ke ruangan khusus karyawan.
Kenapa orang asing terasa seperti keluarga dan keluarga seperti orang asing. Batin Dara.
***
Happy Reading
Selesai sholat, buka HP baca Novel sampe larut malam. Rasanya ahh mantap .... 🤣
Salam sayang dari aku
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
YK
umur 25 tahun sudah terlalu dewasa utk diperlakukan kyk gini. seharusnya lebih muda lagi, Thor. 21 atau 22 masih pantas lah.
2023-11-23
1
♕FiiStory_
saya mampir Thor, salam kenal dari my Dream High, mampir juga ya Thor di karyaku 😊
2021-07-24
1
Nila Nila
bodoh kali dara ni
2021-06-19
1