Seminggu telah berlalu. Dara memilih mempertahankan anaknya. Ya, Dara teringat ucapan Fera anaknya merupakan bagian dirinya. Kehadiran anaknya membawa kebahagiaan tersendiri. Hidupnya tidak akan kesepian lagi, kini ia memiliki alasan untuk melanjutkan hidup.
Sehari setelah Dara keluar rumah sakit. Khanza sempat mengunjungi Dara di restoran, dia juga memarahi Dara karena langsung bekerja padahal baru keluar rumah sakit. Dara hanya menanggapi seperlunya. Dara sengaja menjaga jarak dengan Khanza, teringat jika wanita itu adalah kekasih dari ayah anaknya. Setelah kejadian itu Khanza rutin menghampiri Dara entah itu sengaja makan di sana atau sekedar minum, lebih parahnya hanya duduk memperhatikan Dara yang bekerja. Sudah 2 hari ini Khanza tidak lagi mendatangi restoran. Wanita itu mungkin sedikit tersinggung karena selalu diacuhkan oleh Dara.
Hari ini Dara pulang lebih awal. Senja belum menampakkan dirinya. Seminggu ini Fera menjadi tukang ojek bagi Dara. Berbagai cara Dara lakukan agar Fera berhenti mengantar jemput dirinya, tapi Fera selalu menolak dan menjadikan bayi Dara sebagai alasan. Jika seperti itu Dara hanya bisa menurut.
"Mau mampir dulu engga." Dara menyerahkan helm Fera. Mereka telah sampai di halaman rumah.
"Lain kali aja deh, kayaknya ortu lo lagi di rumah." Melihat mobil yang terparkir di garasi.
Dara memicingkan mata merasa heran di jam segini Ayah sudah pulang.
"Ya, makasih udah nganterin, hati-hati di jalan." Dara melambaikan tangannya menyertai kepergian Fera.
Dara segera masuk. Ia ingin mengguyur tubuhnya dengan air dingin, kemudian mengurung diri seperti biasa.
"Berhenti!" seru Ayah menghentikan langkah Dara menuju kamarnya. Dara menoleh melihat semua berkumpul di ruang keluarga. Dara mengerutkan dahi berpikir apa ia telang melakukan kesalahan. Hingga Ayah terlihat marah.
Ayah melempar kertas tepat mengenai wajah Dara. Kertas tersebut terbuka dan Dara dapat melihat logo rumah sakit. Dara tahu itu adalah surat miliknya, tapi bagaimana bisa kertas itu berada di tangan Ayah. Ia melihat Andin yang dengan santai duduk menyeringai puas. Ibu pun sama seperti Ayah menahan amarah yang akan segera meledak.
"Saya tidak pernah menyangka kau akan seberani ini," desis Ayah. Tangannya mengepal matanya berkilau marah.
Dara mengambil kertas, tersenyum memandang kertas tersebut. "Ternyata kalian sudah tahu, Dara tidak perlu lagi menutupi semua."
"Cihh... anak tidak tahu diri. Kau membuat malu keluarga." Ibu mendesis marah.
"Keluarga? Dara tidak salah dengar? Kalian tidak pernah menganggap Dara keluarga jika kalian lupa!" seru Dara memandang satu persatu wajah keluarganya, ia berkacak pinggang. Menatap sinis Andin.
"Andin satu-satunya putri kalian. Dia yang selalu kalian banggakan dan bela, tidak denganku yang kalian acuhkan kehadirannya." Dara seperti mendapat keberanian untuk melawan mereka.
Ayah mengusap wajah, ujung matanya sedikit berair, dia menghela nafas kasar. Dadanya naik turun.
"Katakan siapa ayahnya." Menghiraukan apa yang Dara ucapkan.
"Untuk apa Ayah tahu. Dia tidak akan bertanggung jawab," ucap Dara.
"Mana mungkin dia mau bertanggungjawab karena itu bukan anaknya. Kakak sudah mencoret nama baik keluarga kita, Bu." Andin memprovokasi Ibu agar bertindak menyiksa Dara.
"Perempuan yang hamil di luar nikah sama seperti wanita nakal," ujar Andin.
Dara menggeleng menolak pemikiran Andin yang terlalu melebih-lebihkan.
"Jika kau berusaha menyembunyikan identitas ayahnya, maka lenyapkan saja bayimu. Dia hadir dari kesalahan, dan pasti akan bernasib sama sepertimu." Dara tercengang mendengar perkataan Ibu. Wanita yang telah melahirkannya begitu tega menyuruh Dara melenyapkan bayi yang tidak berdosa.
"Tidak! Dara tidak akan pernah melenyapkan anak Dara sendiri. Dara akan merawatnya dengan atau tanpa dukungan kalian. Bulan depan setelah pengacara Nenek membacakan surat wasiat, Dara akan angkat kaki dari sini."
"Baguslah jadi kami tidak perlu repot mencari alasan menutupi kehamilanmu," ucap Andin.
"Jika kau menginginkan anak itu lahir." Menunjuk perut Dara. "Maka katakan siapa pria itu," lanjut Ayah.
"Untuk apa, Yah. Kakak pasti lupa diantara pria yang sudah tidur dengannya siapa Ayah bayinya."
"Diam!" bentak Ayah pada Andin yang membuat Dara dan Ibu menatap tak percaya.
"Ayah lebih membela kakak dan membentak Andin? Bahkan ucapan Andin tidak ada yang salah." Andin menatap Ayah meminta jawaban.
"Tidak seharusnya kamu meninggikan suara pada Andin, dia tidak salah apapun." Ibu membela, tidak terima Andin dibentak oleh suaminya.
Andin marah karena perubahan sikap ayah. Dia pun berlari meninggalkan ruang keluarga menuju kamarnya. Bunyi dentuman pintu terdengar begitu keras. Andin menjadikan pintu sebagai pelampiasan kemarahannya.
Ibu bangkit menghampiri Dara. Mencengkram rahang Dara hingga kukunya yang panjang menusuk pipi Dara.
"Puas kamu sudah berhasil membuat suami saya membentak anaknya sendiri. Puas kamu melihat pertengkaran tadi," ucap Ibu marah. Dara meringis tak kala cengkraman Ibu semakin kuat.
"Sa-kit, Bu," ucap Dara terbata. Tangannya berusaha melepas cengkraman Ibu, tapi gagal.
"Katakan siapa pria itu." Ibu mengalihkan pandangan pada Ayah yang masih menuntut kejujuran Dara. Ibu tak percaya Ayah belum menyerah.
"Untuk apa masih menanyakan hal yang sama. Dia tidak akan mengaku." Ibu pun melepaskan cengkramannya.
"Menikahkan mereka." Dara membulatkan mata terkejut dengan perkataan Ayah yang biasanya tidak peduli dengan apa yang menimpa dirinya selamanya ini. Ada sejuta kupu-kupu yang berterbangan di perutnya. Matanya mengembun, ia terharu.
Ibu mundur beberapa langkah dari Dara. Memandang Dara dari atas ke bawah dengan melipat tangan, kemudian mengalihkan pandangan kepada Ayah.
"Jika dia mengatakan yang ingin kita ketahui. Apa untungnya buat kita."
"Dia akan pergi dari sini lebih cepat tidak perlu menunggu sebulan." Dara sudah terbang tinggi lalu terhempas begitu keras hingga terdengar retakan yang tak terlihat.
Ibu tertawa mengiyakan ide bagus Ayah, sedangkan Ayah menyeringai menatap Dara yang menitihkan air mata.
"Jika kalian sudah muak melihat Dara. Sekarang juga Dara akan pergi." Melangkah pergi.
"Selangkah kamu keluar dari rumah ini. Saya pastikan anakmu akan lenyap," ancam Ayah begitu mengerikan. Dia tidak ingin mengambil risiko saat pengacara ibunya datang kemari dan menanyakan keberadaan Dara yang tidak ia ketahui. Jika Dara menikah itu akan menjadi alasan baginya agar harta warisan sang ibu tidak jatuh pada Dara anak yang tidak ia inginkan. Ayah menantang keras harta ibunya diberikan pada Dara yang bukan siapa-siapa.
Dara diam berbalik badan. "Apa kalian tidak bisa selain mengancam Dara. Untuk apa kalian mempertahankan Dara jika kalian memang sudah sangat muak."
"Kau boleh pergi, tapi setelah kau menikah," ujar Ibu kesal menghadapi keras kepala Dara.
"Katakan saja siapa pria itu dan semua akan Ayah urus."
Segitu gampangnya Ayah berucap dan begitu bahagianya Ibu membayangkan Dara yang akan pergi dari kehidupan keluarganya.
"Sedari kecil Dara selalu diam ketika keinginan Dara tidak kalian turuti. Dara terima perilaku kalian. Dara tidak pernah membantah dan melawan kalian. Tolong kali ini saja biarkan Dara pergi." Menatap sendu Ayah dan Ibu.
Ibu geram dia pun menjambak rambut Dara dan mengeluarkan sebutir obat yang telah ia kantongi setelah mengetahui berita kehamilan Dara. Berjaga-jaga dihadapi kejadian seperti ini.
"Kau lihat ini obat penggugur kandungan. Sekali kau menelan obat ini maka dalam hitungan detik saja anakmu akan mati." Ibu membuka paksa mulut Dara untuk menelan obat tersebut.
Dara menggeleng menutup rapat mulutnya. Ibu terus saja berusaha memasukkan obat tersebut.
"Katakan siapa Ayah anakmu atau kau lebih memilih kehilangan dia sekarang," ancam ibu.
Dara mengangguk dengan menutup mata. Ibu menjauhkan obat dari mulut Dara.
"Ra-Raffa Alfarezo, Presiden Perusahaan Gerdion." Ibu perlahan melepas jambakan. Kakinya lemas mendengar nama pria tersebut. Tangannya meraih pegangan untuk menopang tubuhnya agar tidak terjatuh. Dalam beberapa menit Ayah dan Ibu terdiam shock.
Dara membuka mata meninggalkan kedua orang tuanya.
"Siapkan dirimu malam ini kita temui keluarganya." Dalam keadaan shock Ayah mengingatkan Dara.
"Anak itu tidak salah menyebutkan nama, 'kan. Astaga dia memilih pria kaya," gumam Ibu yang terdengar oleh Ayah karena suasana yang hening.
***
Happy reading.
Waah masih nyambung gak nih cerita takutnya mlipir entah kemana haha. Canda guys 🤣
Salam sayang dari aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
YK
ya Allah, kenapa ada tokoh yang GOBLOKNYA MINTA AMPUN kayak gini ya???
2023-11-23
0
Syeren Esther
jangan sampe, habis menikah ntar di manfaatkan sama orang tua nya Dara
2021-08-04
1
💞my heart💞
hewan saja masih punya kasih sayang sama ank nya. nah ini orang tua gak punya hati hati nya seperti iblis 😠😠
2021-07-31
2