"Siapa yang memasak semua ini?" tanya Mama berdiri di samping meja dengan menatap semua hidangan yang tersusun rapi.
"Dara yang masak, Ma," ucap Dara dengan tersenyum.
"Tidak kamu taruh racun, 'kan," selidiknya pada Dara.
"Tidak." Menggeleng
"Siapa tahu kamu berniat membunuh saya dan Raffa, kemudian kamu bisa menguasai harta kami. Itu, 'kan tujuan kamu menikahi putra saya." Mama menatap sinis pada Dara yang terdiam dengan senyum yang masih tercipta.
"Dara akan berpikir dua kali untuk melakukannya."
"Ada apa." Raffa berjalan menghampiri Mama dan Dara. Dara menoleh melihat Raffa yang mengenakan pakaian lain bukan pakaian yang ia pilihan kan. Ada rasa kecewa dalam hati Dara, tapi ia tetap tersenyum.
"Tidak ada. Ayo kita makan." Menarik kursi, lalu duduk. Raffa dan Dara melakukan hal yang sama. Namun, Mama memandang tidak suka pada Dara.
"Sedang apa kau," ucap Mama dengan mata tajamnya.
Dara tercekat karena tatapan sang mertua yang seperti ingin menguliti dirinya. Tangannya yang akan mengambil lauk pun terhenti. ia memandang sebentar pada Mama, tak lama menunduk.
"Makanlah di belakang saya tidak berselera jika ada kau di sini," ucap Mama.
Dara meremas pakaiannya di bawah meja. Tidak dihargai kehadirannya oleh mertuanya sendiri sungguh sakit. Tanpa menjawab Dara bangkit melangkah pergi. Sebelumnya ia sempat melirik ke arah Raffa yang hanya diam tanpa niat membantah perkataan Mama.
"Apa tidak keterlaluan, Ma." Raffa berkata.
"Kenapa?kamu mau membela dia? ingat dia yang sudah menghancurkan hubunganmu dengan Khanza. Bersikap keras hati padanya. Dia pantas mendapatkannya."
Selanjutnya tidak ada percakapan yang mereka lakukan. Mama dan Raffa menikmati makan malam mereka dengan damai. Suara dentingan sendok dan piring yang saling bergesekan menjadi pengiring makan malam ibu dan anak itu.
Dara menghampiri dapur yang sedang dibersihkan oleh pelayan.
"Lah, Nduk. Kenapa ke sini, sudah makan?" Mbok Sumi menghampiri Dara yang berdiri dekat wastafel. Beliau adalah pembantu rumah Raffa, sekaligus pengasuh Raffa dari kecil. Di usianya yang seharusnya menikmati masa tua bersama anak cucu malah dihabiskan sebagai pengabdi keluarga Raffa. Beliau melakukannya sebagai bentuk balas budi.
"Ndak papa, Bu." Dara menirukan logat Mbok Sumi yang menurutnya lucu. Ia menggunakan panggilan 'Ibu' karena menurutnya Mbok Sumi sudah seperti seorang ibu baginya dan Mbok Sumi tidak mempermasalahkannya.
Mbok Sumi tersenyum karena Dara berusaha menyembunyikan sesuatu darinya, tapi sepertinya tidak bisa. Mata tuanya dapat menangkap ekspresi yang diberikan Dara.
"Makan bareng Mbok yuk," ajaknya. Mbok tahu sang nyonya rumah tidak menyukai Dara. Maka setidaknya ada dia yang akan menyambut kehadiran anggota baru keluarga.
Dara meringis karena ketahuan menutupi sesuatu. Malu berusaha membohongi orang yang lebih tua.
"Tidak apa. Nyonya hanya kecewa, dengan berjalannya waktu. Nyonya pasti akan menerima kamu." Mbok Sumi mengelus rambut Dara dengan penuh kasih sayang.
Tidak ada pilihan lain. Dia juga tidak mungkin melewatkan makan malam. Akhirnya Dara bergabung dengan pelayan rumah lainnya. Bercengkrama dengan menikmati makan malam. Dara mengetahui, ternyata pekerja yang bersamanya saat ini hanya beberapa saja. Masih ada yang pekerja lain yang datang pagi hari dan pulang saat sore.
Selesai makan malam. Dara menikmati angin malam. membiarkan angin menerpa wajahnya dengan leluasa. Berharap beban hidupnya terbawa bersama angin yang menghampiri dirinya. Puas menikmati angin malam. Dara kembali ke kamar. Ia masuk dan melihat Raffa yang tengah duduk dengan kaki diluruskan pada sisi ranjang, dipangkuan pria tersebut ada laptop yang menampilkan bentuk grafik.
Mengabaikan Raffa, Dara memilih membersihkan wajah. Setelahnya ia berjalan ke sisi ranjang.
"Mau apa kau." Raffa memberi tatapan mengintimidasi saat Dara menarik selimut dan hendak mendudukkan tubuhnya di sisi lain ranjang.
Dara berhenti menatap bingung pada Raffa. Apa dia dilarang tidur? Sungguh Dara sangat lelah hari ini. Ia ingin cepat bertemu dengan mimpi.
"Saya tidak sudi tidur seranjang dengan wanita munafik seperti dirimu," ucap Raffa, lalu berdiri menuju lemari. Dara hanya memperhatikan apa yang Raffa lakukan. Pria itu mengambil selimut dari dalam lemari kemudian mengambil bantal dan menyerahkan pada Dara yang masih berdiri diam.
"Ambil, tidur di mana pun kau mau." Tangannya mengulurkan kedua benda tersebut. Dara dengan ragu mengambilnya. Ia menelisik pada Raffa yang kembali bertatap dengan laptop.
Apa Raffa tidak memiliki rasa iba sedikit saja pada Dara yang notabennya adalah istrinya, ibu anaknya. Seberapa menjijikan Dara di mata Raffa hingga diperlakukan seperti tidak memiliki harga diri.
Dara berjalan menuju sofa yang berada di dalam kamar. Merebahkan tubuh, mencari kenyamanan. Tubuhnya yang mungil memudahkan Dara dalam berbaring. Tanpa melipat kaki, bahkan sofa masih tersisa beberapa senti.
"Mas," panggil Dara.
Dara sudah merubah panggilan terhadap Raffa. Tidak sopan rasanya jika memanggil Raffa dengan nama. Toh sepertinya Raffa tidak terganggu dengan panggilannya.
Tidak ada sahutan. Raffa fokus berkutat dengan laptop. Sesekali mendesis kesal karena melakukan kesalahan.
Dara yang sudah siap menuju alam mimpi terganggu dengan lampu kamar yang masih menyala. Ia tidak bisa tidur dalam keadaan terang.
"Mas, tolong matikan lampunya. Dara mau tidur."
"Tidur saja, apa susahnya."
"Dara gak bisa tidur kalau lampunya masih nyala."
"Kau tidak lihat saya lagi apa!"
"Gunakan lampu tidur saja kalau begitu," usul Dara yang mendapat tatapan tak suka dari si pemilik kamar.
Tak ingin berdebat dengan Raffa. Dara pun memejamkan mata. Berusaha menjemput mimpi, tapi hingga beberapa menit rasa kantuk pun tak kunjung ia dapat. Dara mulai gelisah dalam tidurnya. Ia menaikkan selimut hingga menutupi seluruh tubuhnya agar ada rasa gelap yang ia dapatkan. Namun, yang ada Dara merasa sesak dan tidak bisa bernafas, ia pun membuka selimut, menghirup udara. Tangannya tidak bisa tenang menarik turunkan selimut.
Raffa yang terganggu karena suara yang ditimbulkan Dara pun mengalihkan pandangannya pada wanita yang tengah mengerutkan dahi dalam.
"Diam dan tidur," ucap Raffa seketika Dara membuka mata menoleh pada Raffa.
"Maaf, tapi Dara beneran gak bisa tidur," cicitnya lirih.
"Merepotkan," gumam Raffa mematikan lampu dan menggunakan lampu tidur sebagai penerangan.
Dalam gelap Dara tersenyum, setidaknya Raffa mau menuruti perkataan. Memandang Raffa yang terlihat lebih tampan dalam mode serius. Temaram cahaya yang menyinari Raffa sungguh menambah kadar ketampanan pria itu.
"Sadar, Dara dia milik Khanza. Kau hanya istri untuk beberapa bulan ke depan," bisik seseorang ditelinga kirinya.
"Kau berhak memiliki Raffa, Dar. Dia suamimu kalian sah menjadi suami istri," bisik yang lain di telinga kanan.
Dara mengenyangkan segala pikiran yang berada di kepalanya. Saling berdebat mencari siapa yang paling benar.
***
Happy reading.
Mana nih yang jam segini masih setia menunggu aku up hehe. Aku terlalu berharap ya, tapi tak apa siapa tahu itu awal dari kenyataan haha.
Salam sayang dari aku.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 112 Episodes
Comments
EndRu
a trauma kah?
2023-12-03
0
💞my heart💞
sungguh miris hidup mu dara TK pernah di anggap ada 😭
2021-07-31
2
Iciwa Aquilera
kasian dara😭
2021-06-25
1