Part 20

...Pencet like jangan lupa...

...Author POV...

Wira hampir frustasi kala mengetahui ternyata ponsel Lyra tertinggal di atas sofa. Jelas saja wanita itu tidak menerima panggilannya. Ia pun segera meraih ponsel itu dan menuju ke mobilnya. Satpam yang ia perintahkan untuk mencari Lyra pun mengatakan hasilnya nihil, dengan perasaan bersalah yang teramat dalam. Wira juga berpesan pada mereka bahwa kejadian ini jangan sampai terdengar ke Ayahnya.

“Jun... tolong pesankan aku taksi,” pinta Lyra setengah memohon pada Juna saat ia sudah berada di dalam mobil lelaki itu.

Lima belas menit yang lalu, di perempatan jalan yang masih berada di sekitar rumah itu. Lyra hampir mengalami kecelakaan, namun dia tak menyangka ternyata itu adalah mobil Juna yang hampir menabraknya. Juna panik dan langsung turun apalagi melihat orang yang hampir dia tabrak adalah Lyra.

“Aku antar aja, kamu mau pulang kemana? aku nggak mau tau masalah kalian apa, tapi tolong selesaikanlah baik-baik. Aku udah pernah bilang kan Wira itu nggak—“

“Bukan Mas Wira yang bikin aku kabur, tapi Mbak Wini kalian, dan aku merasa nggak pantas jadi bagian dari keluarga kalian,” Lyra masih terisak duduk tepat disamping Juna. Mereka sudah keluar komplek perumahan, dan berhenti di pinggir jalan.

“Udah aku duga pasti bakalan begini, Mas Wira nggak bisa lindungi kamu dari Ibu dan Mbak Wini.” sahut Juna menahan emosinya, siapa yang tidak terluka melihat seseorang yang mereka sayang menangis dan terluka seperti ini.

“Aku mau pulang ke apartemen, tapi... aku lupa unit dan lantainya, Jun tolong pesankan aku taksi,” pinta Lyra sekali lagi.

“Kamu nggak perlu antar aku Jun, aku nggak mau Mas Wira salah paham.” Lyra mengusap air matanya.

“Kamu yakin mau naik taksi dalam keadaan begini?”

Juna menunjuk ke arah kaki wanita itu.

“Ya ampun, nggak apa-apa lah, cepetan Jun tolong pesankan.” lagi-lagi Lyra memohon.

“Oke, sebentar.”

Lelaki itu meraih ponselnya, tapi sebelum memesankan taksi ke tujuan Lyra, ia melakukan sesuatu terlebih dahulu.

Mas Wira, aku kenal dekat dengan istri kamu hampir empat tahun lamanya, dan selama itu aku tau berapa banyak cowok yang mencoba mendekatinya, mulai dari teman seangkatan, senior sampai dosen. Jadi aku pikir, kamu adalah laki-laki paling beruntung. Jaga Lyra baik-baik, lindungi dia dari apapun termasuk dari Ibu dan Mbak Wini. Atau kalau kamu nggak mampu, aku yang ambil alih, Mas?

Pesan terkirim ke tujuan, Juna tidak memulai perang. Ia hanya mengingatkan agar tidak menyia-nyiakan Lyra yang banyak menjadi harapan orang, termasuk dirinya.

“Udah belum Jun?” Lyra terlihat gelisah, ia tidak bisa seperti ini. Meski Juna adalah iparnya, tetap saja Juna laki-laki. Ia tak mau timbul fitnah diantara mereka mengingat dia sudah bersuami.

“Udah, unit apartemen Mas Wira nomor 219, lantai dua.” Juna ingat, ia pernah beberapa kali kesana, atas perintah Ayah karena sesuatu. Bukan karena kemauannya.

“Beneran itu?” tanya Lyra sekali lagi.

“Iya... taksinya bentar lagi nyampe dan kalau kamu nggak yakin, taksinya aku batalin. Aku antar sampe depan pintu?” tawar Juna, yang terlihat khawatir dengan keadaan Lyra.

“Nggak usah, makasih ya Jun!”

...🌸🌸🌸 ...

“Jangan bercanda bangssaat, shareloc sekarang kalian dimana? masalah mengambil alih Lyra, langkahi dulu mayatku!!”

Emosi Wira memuncak kala melihat sebuah foto di sertai pesan yang panjang penuh ancaman. Lyra, istrinya sedang bersama Juna, lantas ia langsung menelpon Juna ketika membaca pesan itu setelah lima belas menit ia terima dan baru membacanya.

“Lyra udah pulang, ke apartemen kalian, tadi dia nggak mau di antar, cuma minta di pesanin taksi, sebaiknya kamu susul pulang aja, Mas.” Ucap Juna, yang lebih terlihat santai dari pada Wira yang terlihat seperti orang kebakaran jenggot. Sambungan telepon antara Wira dan Juna langsung terputus.

Sepanjang perjalanan, Lyra terus mengingat ucapan menyakitkan kakak iparnya yang amat sombong itu. Lyra rasanya ingin bersumpah, tadi adalah terakhir kali mereka bertatap muka. Tidak akan mau lagi berhadapan dengan mak lampir yang mulutnya pedas menyayat hati.

Satu jam perjalanan, Lyra sudah tiba di apartemen. Dia langsung berwudhu dan sholat isya agar emosi dan kesedihannya berkurang. Setelah sholat, Lyra memberanikan diri untuk membuka kamar sebelah, Lyra berniat tidur disana malam ini, sungguh ia ingin sendiri. Menenangkan diri. Kamar itu terlihat rapi dan bersih, disana ada beberapa foto yang terpajang. Salah satunya adalah tiga orang anak-anak satu perempuan dan dua laki-laki yang tengah berlibur di luar negeri. Dari wajah-wajah mereka, Lyra yakin itu adalah Wini, Wira dan Juna.

Merasa tidak penting untuk melihat itu, Lyra memilih mengabaikan dan merangkak naik ke atas tempat tidur. Ia berbaring disana, malam ini cukup lelah, hati, pikiran dan juga badan. Ingin tidur tapi sakit hati, rasanya nggak enak. Maka Lyra memilih memejamkan mata berusaha menenangkan diri, dan tengah berpikir dan memastikan bahwa dia tidak boleh jatuh cinta pada Wira, suami sementaranya. Lebih baik mencegah daripada mengobati, lebih baik berhenti di awal dari pada sakit hati di tengah jalan.

...Wira POV...

Juna sialaan, kenapa Lyra bisa bersamanya? atau dia sengaja sok mau jadi pahlawan di mata Lyra? jangan harap! Lyra nggak akan pernah ku serahkan kepadamu, jangan mimpi. Aku tidak akan melepaskan Lyra kepada siapapun. Dengan langkah tergesa aku berlarian setelah memarkirakn mobilku di basement berharap Lyra sudah tiba dengan selamat. Perasaanku campur aduk, kacau, lebih kacau daripada saat mengetahui Hanna berselingkuh di belakangku selama kami LDR.

Ku buka pintu kamar kami, Lyra tidak ada disana. Dia belum sampai? kemana aku harus mencari sementara ponselnya ada bersamaku. Aku menyadari sesuatu, sepertinya Lyra sudah tiba disini. Ku lihat sajadah terbentang di sertai mukenah di atasnya.

“Lyra...” panggilku pelan, ku dengar isak tangis di balik selimut. Ku dekati Lyra yang tengah menangis.

“Mas, bisa nggak kita selesaikan ini lebih cepat?” Dia menyibakkan selimut, ku lihat dia belum berganti pakaian. Masih mengenakan pakaian yang sama seperti kami pergi tadi. Rambutnya acak-acakan, wajahnya sembab.

“Maksud kamu?” aku duduk di tepi ranjang, tepat di sampingnya. Tanganku terulur untuk mencoba merangkulnya, dia menolak.

“Dari pada tiga bulan, gimana kalau tiga minggu?”

Aku yang bodoh, tak mengerti maksud dari ucapannya.

“Maksud kamu apa Lyra?”

“Pisah, kita pisah lebih cepat. Tiga bulan terlalu lama, aku nggak kuat, Mas. Tiga minggu, sepertinya lebih bagus setelah kita pulang dari Paris. Supaya Ayah nggak terlalu kecewa.”

Seperti di sambar petir mendengar permintaan pisah darinya, tidak! aku tak ingin itu terjadi. Bahkan aku sudah melupakan waktu tiga bulan yang memang pernah aku ucapkan di hari pertama kami bertemu.

“Lyra... jangan bercanda. Gimana nanti dengan Ayahku dan juga Ibumu? kamu nggak mau nyakitin mereka kan?”

Aku menjadikan Ayah dan Ibunya sebagai alasan, padahal... aku yang jelas tidak ingin itu terjadi.

“Dari pada terlalu jauh Mas, lebih baik di percepat. Tiga minggu aku rasa cukup. Aku nggak pantas, nggak layak jadi bagian dari keluarga kamu. Aku harusnya berdampingan dengan orang yang selevel denganku, bukan sepeti kamu,” Lyra menekuk lututnya, menundukkan wajahnya semakin dalam. Masih menangis, meski aku tahu dia mencoba menahannya.

“Tiga minggu? gimana kalau tiga tahun? tiga belas tahun atau tiga puluh tahun? sampai anak-anak kita besar nanti, biar kematian aja yang pisahin kita. Kita nggak perlu repot-repot mikirin kapan kita harus berpisah, biar waktu yang menjawabnya Lyra, kita jalani aja, selayaknya, sebisanya.”

Entah dimana akal sehatku, mengatakan itu. Oh ku rasa aku mulai tidak waras, baru kali ini ada perempuan yang mati-matian mengajakku berpisah. Baru kali ini juga aku mencegah perpisahan, perempuan-perempuan yang pernah singgah di hidupku dulu, semua aku yang mengakhiri lantaran aku bosan dengan mereka. Hanya Hanna yang terlama, tak ku sangka dia berkhianat. Tapi sungguh aku tak lagi memikirkan hal itu.

Aku memeluknya cukup erat, aku tak mendapat jawaban apapun atas kalimat ter-romantis sepanjang sejarah yang pernah aku ungkapkan pada seorang perempuan. Lyra tidak menjawab juga tidak membalas pelukanku, dia hanya diam namun isak tangisnya mulai mereda. Ku rapikan rambutnya yang sedikit berantakan, aku melepas pelukan sejenak, menunduk menatapnya.

Ku raih dagunya, agar membalas tatapanku. Ku rasakan kedua tangannya mulai terulur untuk membalas pelukanku.

Aku nggak tau apa yang aku rasain ke kamu, Lyra. Aku belum berani memastikan, juga aku belum yakin karena ku rasa ini terlalu cepat. Tapi yang jelas aku nggak rela lepasin kamu begitu aja.

Aku hanya berani mengungkapkan itu dalam hati saat kami bertatapan cukup lama, matanya masih berkaca-kaca. Aku tersenyum penuh arti ke arahnya. Lalu aku....

...Bersambung ya, netijen jangan kezel please ...

...🤣...

Terpopuler

Comments

ww

ww

ya emang ga pantad, dasar miskin mental

2022-11-27

0

ww

ww

sumpah gedek bnget ma ni bocahhh

2022-11-27

0

Eni Sulastri

Eni Sulastri

bagus ceritanya ,,cuman kurang suka kalo cerita kebanyakan pov dan kata hati

2022-11-04

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!