...Lyra POV...
Istilah ‘orang kaya mah bebas’ ternyata benar-benar berlaku, nyatanya aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Dan itu Wira, suamiku sendiri yang rela mengeluarkan uang tidak sedikit untuk mantan-mantannya dulu? dan barusan dia sudah mengeluarkan uang hampir lima belas juta hanya untuk baju. Jika di beli di pasar biasa mungkin jumlah segitu sudah bisa membeli baju grosir berkodi-kodi dan bisa buka toko untuk di jual lagi. Luar biasa!
Pemandangan takjub kembali menghibur penglihatanku, apartemen yang akan kami tempati ternyata cukup mewah, sebanding dengan kamar hotel mewah yang kami singgahi dua malam lalu. Beberapa menit lalu juga Wira mengatur dan merekam sidik jariku agar bisa mudah keluar masuk apartemen ini. Apa yang hanya bisa aku lihat di drama Korea kini benar-benar nyata adanya. Orang kaya tidak perlu membawa kunci rumah atau kunci mobil. Hanya menggunakan sidik jari saja.
“Ini kamarku,” Wira membuka salah satu pintu di kamar itu. Ada dua kamar berdampingan.
“Terus, yang ini kamarku? dan aku tidur disini kan?” aku menunjuk pintu sebelahnya, seketika aku bernapas lega. Ternyata kami tidur terpisah, asyik! aku bebas darinya yang suka meminta hak tanpa tau waktu.
“Bukan begitu Lyra, maksudku ini kamarku, dan sekarang jadi kamar kita.” Dia cepat-cepat meralat ucapannya. Aku yang sudah berdiri di depan pintu kamar sebelah pun di tarik olehnya, untuk masuk ke kamar yang dia maksud.
“Tapi kayaknya ide bagus sih kalau kita pisah kamar, aku setuju.” saat sudah masuk ke dalam, aku masih membahas soal kamar yang sebaiknya terpisah saja.
“Tapi aku nggak setuju.” jawabnya cukup tegas tak mau di bantah. Aku diam saja.
Di dalam kamar ada kamar lagi, entah mungkin ruang kusus untuk pakaian dan perlengkapan lainnya. Aku di persilahkan masuk kesana untuk menata barang-barangku di sisi kosong yang tersedia.
Tangan usilku membuka pintu lemari di sebelahnya, terpampang baju-baju seksi kurang bahan yang aku yakin itu adalah milik seorang perempuan.
“Waw,” gumamku. Aku sengaja mengencangkan volume suaraku, agar dia yang hendak keluar mendengar.
“Ada apa?” Wira kembali mendekat.
“Tadinya pingin gantungin gamis disini, tapi gamis-gamisku kayaknya minder kalo berdampingan sama baju-baju itu.” aku menunjuk ke arah lemari. Ku rasa dia cukup sadar kalau aku sedang menyindir. Aku tak perlu cemburu, meski aku yakin pakaian itu pasti berasal dari masa lalunya.
“Jangan coba-coba sentuh itu ya! tunggu disitu, jangan berbuat apa-apa!” Dia memberi titah kemudian keluar kamar, entah kemana dan entah apa yang ia rencanakan.
Kurang dari lima menit, Wira kembali dengan memakai sarung tangan dan membawa satu kantong plastik yang aku yakin itu untuk membuang sampah. Aku terperangah menatap yang dia lakukan. Menurunkan pakaian-pakain itu dan tanpa ragu memasukkan ke dalam plastik.
“Kok pake sarung tangan? terus yakin ini baju-baju bagus mau di buang?” jelas aku heran dengan apa yang dia lakukan.
“Barang menjijikkan nggak boleh langsung di sentuh, dan harus dibasmi!” selesai, tak ada lagi baju yang menggantung disana. Lantas Wira keluar dengan menyeret kantong plastik yang ada di tangannya.
Apa katanya? menjijikkan? oke fix itu pasti milik perempuan bernama Hanna itu.
Aku kira Wira keluar kamar, ternyata dia masuk ke kamar mandi. Penasaran apa yang dia lakuakan, aku mengikutinya.
“Mas... Mas sebentar! itu skincare mahal, kenapa di buangin ya ampun isinya masih banyak, mubazir tau? jangan ih!” aku mencegatnya kala melihat body wash dan facial wash dengan brand terkenal, aku yakin harganya pasti fantastis.
“Kamu doyan ya pake barang sisa? udah biasa ya pake yang sisa-sisa? kalau iya, mulai detik ini buang kebiasaan itu! aku bisa beliin kamu yang lain, dan jangan sentuh ini!” hentaknya, aku mundur beberapa langkah. Aku memang orang yang tidak berada, tapi bukan berarti dia pantas melontarkan kalimat itu padaku.
Aku tak boleh nangis, hanya karena hal itu. Aku harus kuat. Dan untuk menghilangkan kesedihanku, aku memilih meneruskan kegiatanku, menyusun baju-baju dan barang-barangku yang lain.
Tak peduli dengan urusan orang yang sedang patah hati akut ternyata akan bertindak sekonyol itu. Ya sudah aku memilih diam seribu bahasa tanpa peduli, tanpa bertanya lagi apapun.
...Wira POV ...
Selain menjijikkan dengan barang-barang milik mantan sialann yang masih tertinggal disini, aku juga cukup menjaga perasaan Lyra. Dia yang akan tinggal bersamaku sampai... waktu yang tidak bisa ku tentukan, tentu dia harus nyaman tanpa berdampingan dengan milik masa laluku.
Sepuluh menit aku kembali, setelah membuang seluruh sampah itu langsung ke basement, agar benar-benar hilang jejaknya dari apartemenku. Ku lihat Lyra masih sibuk dan kebingungan menyusun baju-bajunya, aku menatapnya dari jauh tanpa dia sadari. Aku suka pemandangan ini, aku suka melihatnya tanpa kerudung. Dan aku beruntung hanya aku yang bisa melihatnya seperti ini. Tidak laki-laki lain, apalagi Juna. Pasti dia belum pernah kan melihat Lyra seperti ini? meski mereka lebih sering bersama dulunya.
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, aku yang tadinya hanya berniat untuk berbaring ternyata malah ketiduran. Aku mencari-cari Lyra di sekeliling kamar, tak ku temukan dimanapun. Gemercik air terdengar di kamar mandi, aku yakin dia di dalam sana.
“Lyra! buka pintunya!” Aku memaksa masuk, apalagi kalau bukan untuk mengambil kesempatan.
“Aku lagi mandi, sebentar lagi selesai.” aku tahu dia sedang marah, terdengar dari nada bicaranya.
“Iya, buka dulu, aku juga mau mandi.”
Lyra membuka pintu, tapi sudah selesai dan hanya berbalut handuk. Mendorongku paksa karena aku menghalangi jalannya. Sepertinya tidak akan ada jatah sore ini.
Hingga saat waktu memasuki sholat maghrib pun dia tidak berbicara, biasanya dia selalu memaksa dan mengajakku untuk sholat berjamaah hingga aku melewati sholat ashar, dia tidak membangunkan tidurku.
“Ayo Mas cepetan udah adzan, jangan di tunda-tunda lagi.”
“Jangan terlena sama dunia yang fana ini, hapenya tinggalin dulu, setann semua tuh isinya jadi bikin lupa sholat”
Atau
“Emang nggak mau kita sama-sama ke syurga?”
Aku rindu ocehannya itu di tiap waktu sholat. Tapi kali ini Lyra sholat sendiri, entah mengapa hati ku sakit rasanya.
“Nggak mau nunggu imamnya?” ucapku saat dia sudah mengenakan seperangkat alat sholat lengkap.
“Duluan aja ya.”
Lyra benar-benar tidak menungguku, untuk pertama kalinya kami tidak sholat berjama’ah dalam dua hari belakangan ini.
Tepat jam tujuh malam, kami sudah bersiap. Ku lihat Lyra tidak mengenakan salah satu dari pakaian yang kami beli tadi, sebenarnya ada apa dengannya? apa yang membuatnya begitu marah? Harus kah aku menerka-nerka. Ah Lyra tolong, suamimu ini dokter, bukan peramal.
...Lyra POV...
Hatiku masih cukup sakit, mengingat ucapannya tadi. Secara tak langsung entah sadar atau tidak dia sudah menghinaku menganggap aku suka memakai barang sisa hanya karena aku menghalanginya untuk membuang skincare sialaan itu. Aku bersyukur ternyata masih ada satu gamisku yang menurutku masih cukup layak aku kenakan untuk memasuki istana Pranaja. Jadi aku tak menyentuh sama sekali pakaian pemberiannya.
Hening, dalam perjalanan kami menuju ke rumah orang tuanya. Baik aku maupun dia tidak satupun dari kami yang memulai pembicaraan. Benar-benar diam hanya alunan musik di mobilnya yang menemani perjalanan kami. Empat puluh lima menit lamanya akhirnya tiba di sebuah rumah yang tak bisa ku gambarkan dengan kata-kata. Ya keluarga ini cukup kaya ternyata.
Mungkin hartanya tak akan habis sampai beberapa turunan dan tidak perlu bekerja keras cukup berdiam dan menikmati saja. Apalagi ada enam mobil mewah berjejer di sana, di tambah mobil Wira jadi tujuh. Mobil-mobil bermodel aneh yang biasanya hanya aku lihat di film-film. Ada juga mobil sport yang hanya dua pintu kiri dan kanan.
“Lyra, I’m so sorry, walaupun aku nggak tahu letak salah aku dimana, dan harus kamu tau... Ini adalah pertama kalinya aku minta maaf ke seorang perempuan selain Ibuku.”
What? pertama kali minta maaf ke cewek? percaya nggak percaya. Jadi kemarin-kemarin sama pacarnya gimana? nggak pernah buat salah? atau sama sekali nggak mau minta maaf. Rasanya nggak masuk akal. Kalau memang benar begitu, bisa di pastikan dia memang cuku egosi! Aku menghela napas pelan. Aku miris mendengarnya bahkan dia ternyata memang tidak menyadari kesalahannya.
“Nggak perlu minta maaf kalau memang Mas Wira nggak merasa bersalah, nggak perlu mempersulit diri sendiri dengan mengatakan maaf padaku.”
ucapku pelan, aku sedang malas berdebat. Hatiku dag dig dug, kami sudah di dalam perkarangan istana dimana ada nenek sihir dan mak lampir di dalamnya. Aku harus kuat hati dan kuat mental.
Dia sudah turun dari mobil, aku masih belum berani bergerak. Telapak tanganku cukup dingin. Ku lihat dia mendekat, membukakan pintu di sisi kiriku, mengulurkan tanganya. “Bisa sendiri kok,” jelas aku menolaknya, aku masih cukup kecewa padanya. Tapi tak ku sangka dia memaksa, menggenggam tanganku cukup erat.
“Kamu nggak perlu takut, walaupun Ibu dan Mbak Wini mungkin belum suka sama kamu, tapi kamu tetap akan aman. Kamu tetap menjadi pemenangnya tanpa harus melawan mereka, karena Ayah cukup menyukaimu Lyra. Jangan takut, ada aku.” sambil berjalan masuk dia menguatkanku. Meski di sukai Ayah mertua, sama saja kalau di benci dua mahluk perempuan di rumah ini. Aku tetap merasa asing.
Aku tak berharap banyak, apapun yang terjadi, aku hanya butuh dia untuk melindungiku. Bisa kah?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
anisa f
pas d katain murahan, malah cm nangis, g marah
seharusnya pas itu lbh marah
2023-02-03
0
ww
bnyak bacott lu lyra
2022-11-27
0
Efvi Ulyaniek
emmm..kl mau jaga perasaan harusnya sdh dr awal ijab qobul dah dibersihkan donk dr barang mantan...kl perlu ganti tempat... apartemen dan furniture e lah....horang kaya GT...biar ga ada tu namanya kasur bekas dipakai main bareng mantan...eh tar minta jatah istri diranjang bekas main bareng mantan
2022-08-24
0