...Lyra POV...
Aku membuka mata perlahan, pandanganku tertuju pada langit-langit ruangan yang sangat asing bagiku. Kepalaku terasa berat, pusing dan rasanya aku ingin muntah. Sekuat tenaga aku bertahan dan mencoba membuka mata dengan sempurna. Ku usap kepalaku dan aku terlonjak kaget saat menyadari kepalaku tak terlapisi kerudung. Dan ketika itu juga pandanganku beralih pada seseorang yang tengah duduk di sofa menyilang kakinya sambil memainkan ponsel.
Dimana aku? mengapa dia ada disini? dan kemana kerudungku? ya Allah.
"Kenapa aku disini? apa aku sudah boleh pergi? aku punya banyak urusan," ucapku hendak turun namun aku tersentak merasakan sakit tenyata tanganku tersandra oleh infus yang terpasang. Aku menjerit sejadi-jadinya. Hingga lelaki itu melotot ke arahku.
"Kenapa berteriak?" dia bangun dari sofa, berjalan mendekat, aku menangis terisak. Tak pernah aku bayangkan ternyata saat ini jarum infus menusuk ke kulitku. Aku benci ini!
"Anda... seorang dokter, bukan? tolong lepaskan ini!" dengan suara yang terbata aku mengarahkan tangan kiriku ke arahnya.
"Jangan bertingkah, kamu pingsan dan menyusahkanku! dan aku nggak mau semakin di susahkan!" ucapannya terdengar sangat angkuh. Sialan! memangnya siapa juga yang butuh pertolongannya.
"Nggak perlu, aku hanya perlu kamu melepaskan infus sialan ini dari tanganku!" titahku kembali berteriak. Dia yang masih berdiri di sisi ranjang, semakin mendekat padaku. Menangkup pipiku dengan kedua tangannya. Hingga bibirku maju, dan aku membulatkan mataku saat dengan kurang ajarnya dia mengecup bibirku.
"Kalau kamu masih berteriak, aku akan lakukan lebih dari itu!" ancamnya. Aku hanya bisa menangis, menatap sekeliling, masih tak mengerti apa yang terjadi. Pikiranku tertuju pada dosen pembimbing yang pasti saat ini tengah menungguku atau beliau sudah pergi meninggalkan kampus karena aku tidak hadir.
Dan mataku menangkap kerudung, serta sepasang pakaian, yang tergantung pada gantungan baju di dalam lemari yang terbuka. kemeja dan celana yang begitu ku kenal. Itu milikku kan? lantas mengapa bisa? aku menoleh ke bawah melihat ternyata pakaian yang aku pakai sudah berubah.
Ternyata... apa aku di lecehkan? diakah yang mengganti pakaian ku tanpa permisi? oh tidak... tubuhku sudah ternoda. Laki-laki itu sudah melihat bentuk tubuhku. Ya, meski tidak ada yang salah karena tadi kami sudah menikah secara siri. Tapi, ini tetap tidak adil.
"Apa yang kamu lakukan padaku? mengapa begitu jahat? apa salahku? gara-gara dompet laknat itu aku harus terjebak bersamamu, dokter jahat!" Aku berucap cukup keras, dengan jantung yang berpacu tak karuan aku beranikan diri untuk mencabut infus itu "Aahhh... sakitnya," perih yang kurasa. Darah segar langsung mengalir dari bekas infus yang ku cabut paksa.
"Jangan bergerak!" titahnya, dia masih berdiri di sisi ranjang, meraih tubuhku, memelukku, meletakkan kepalaku di dadanya "Sepertinya kamu butuh obat penenang?" tanyanya lagi, satu tangannya meraih tisu di atas nakas samping ranjang, untuk menghentikan darahku yang keluar dari sana.
"Dasar perempuan bengal! sudah ku bilang jangan bergerak!" ucapnya saat aku meronta untuk melepas pelukannya.
"Hei ingat! nggak perlu se lebay itu, aku suamimu sekarang. nggak ada yang salah aku menggantikan pakaianmu dan melihat tubuhmu, bahkan kamu tahu? aku punya hak lebih dari itu!" kalimatnya terdengar penuh kemenangan, sementara diriku rasanya ingin sekali berlari dari sini. Apa katanya? suami? suami sialan!
Aku memilih diam, menenangkan diriku yang masih berada dalam dekapannya. Ku rasakan degup jantungnya juga berpacu cepat sama sepertiku. Lima menit lamanya kami saling berdiam diri. Tangan kanannya masih sibuk memegang tanganku yang terluka karena jarum infus.
Sejenak aku merasa tenang di dalam pelukan laki-laki yang membuat hidupku kacau seketika. Dia melepas pelukan saat pintu ruangan di ketuk, ia berjalan ke arah pintu.
"Masuk!" titahnya pada pegawai rumah sakit yang tengah membawa nampan berisi semangkuk nasi, dengan dua jenis lauk, sayur, beserta buah. Melihat makanan-makanan itu, perutku semakin bertingkah, mengeluarkan suara. Ada ikan kakap goreng, ayam semur, sayur bening, buah melon dan semangka yang di potong bentuk dadu-dadu. Sepertinya itu menyegarkan.
"Permisi, Tuan," ucap pegawai itu setelah meletakkan nampan di atas meja. Wira mengambil alih nampan berisi berbagai jenis makanan itu membawanya ke arahku.
"Makanlah!" titahnya. Aku masih diam, penuh gengsi. Aku memang sangat lapar, perutku belum terisi lagi sejak jam tujuh malam kemarin.
Melihatku yang tidak ada pergerakan, Wira mulai mengambil nasi, ikan serta sayur dia gabungkan dalam satu mangkuk. "Apa perlu aku suapi? jangan manja mentang-mentang aku ini suamimu. Jangan berharap lebih!"
Aku masih diam, ucapannya begitu menyakitkan. "Aku nggak lapar," ucapku pelan. Suasana ruangan itu cukup hening. Namun aku tak bisa berbohong saat perutku mulai berbunyi lagi. Dan dia menertawakanku dengan lantangnya.
Ku hempaskan rasa gengsi ku ambil alih mangkuk itu dari tangannya. Aku mulai makan dengan lahap, tak peduli lagi dengan Wira yang masih menertawakanku. "Gengsi dan bodoh itu sama aja, sama-sama menyebabkan lapar!" ucapnya, aku masih tak peduli.
Dua menit lamanya aku fokus menghabiskan makananku, hingga suapan terakhir, "Setelah ini, kita selesaikan urusan kita! coba kamu buka dompetmu, apa ada yang hilang? apa aku benar-benar mencuri sesuatu darimu, Tuan dokter?" aku berucap dengan nasi yang masih memenuhi mulutku.
"Ah iya... sampai lupa," Wira berucap cukup santai. Ia menggerakkan tangannya untuk merogoh saku jas dokternya. Ku perhatikan dia membuka dompet itu. Menghitung jumlah uang dan melihat segala idientitas kartu-kartu yang aku tak tahu itu apa.
"Masih utuh," katanya, kemudian menyimpan kembali dompetnya dengan begitu santai tanpa rasa bersalah setelah menuduhku pencuri.
Lantas aku yang sudah dituduhnya sebagai pencuri hingga terjebak dalam drama pernikahan konyol ini harus berbuat apa? semua sudah terjadi.
Wira meraih mangkuk kosong yang berada di tanganku, kemudian menyodorkan segelas air putih. Aku mengambilnya dan meneguk tanpa sisa. Emosi tersulut memang membuat lapar dan haus!
"Jangan ke geeran, aku lakuin ini semata-mata supaya aku nggak semakin disusahkan olehmu!" ucapnya, dia duduk kembali di sofa yang tak jauh dari ranjang dimana aku duduk bersandar.
"Kapan kita bercerai? minggu depan, bisa kah? aku pikir satu minggu cukup bagiku untuk berperan sebagai pasanganmu," ucapku mengingatkannya.
"Jangan bermimpi, Lyra! Minggu depan kita akan melaksanakan pernikahan yang sebenarnya. Resepsi juga akan dilangsungkan, jadi bertahanlah paling nggak tiga bulan lagi sampai calon istriku yang sebenarnya pulang ke Indonesia."
Aku terperangah mendengar setiap ucapannya. Dia gila atau apa?
"Kamu yang jangan mimpi, tuan dokter. Ceraikan aku dalam waktu dekat!" aku hendak turun dari ranjang, berjalan cukup pelan, menuju lemari untuk meraih kembali pakaianku. Lelaki itu hanya diam memperhatikan gerak gerikku.
"Oh ya, jangan lupa, kamu punya utang denganku. Kamu bilang tadi, sebelum mengucapkan akad, kamu berbisik, aku boleh minta apapun yang ku mau?" ku ambil kesempatan ini untuk menghemat uangku, ku tuntut dia untuk membebaskan biaya rumah sakit.
"Ya, apa yang kamu minta?" ucapannya terdengar cukup sombong seolah dia bisa mengabulkan apapun itu.
"Bebaskan biaya rumah sakit Ibuku, Ibuku sedang di rawat disini. Untuk idientitas dan dimana ruangannya akan ku kasih tahu nanti," aku berjalan menuju kamar mandi untuk mengganti pakaianku. Syukurlah dia membiarkanku dan tidak menahanku sama sekali.
***
"Nggak akan ada perceraian dalam waktu dekat! masalah biaya rumah sakit Ibumu, aku bisa mengabulkannya. Tapi nggak untuk bercerai dalam waktu dekat, kamu mau Ayahku meninggal tiba-tiba karena ulahmu?"
Aku merasa seperti tawanan, tawanan orang kaya. Memang, dapat ku rasakan Ayah mertua yang baru ku kenal itu begitu baik padaku. Mendengar ancaman Wira, sepertinya aku harus menggunakan hati nuraniku. Baiklah akan ku turuti, selama tiga bulan. Bukan demi Wira, tapi demi laki-laki tua yang tadi memaksaku memanggilnya dengan sebutan Ayah.
"Hei, mau pergi begitu aja? jangan bercanda, tinggalkan nomor ponselmu! aku bisa aja mencarimu dimanapun kamu berada. Itu gampang, tapi, bukankah ada baiknya kita sebagai suami istri saling menyimpan nomor?" Dia mencekal tanganku saat aku hendak berjalan keluar pintu.
Suami-istri katanya? entah mengapa aku begitu geli mendengarnya. Ku ambil ponsel dari tote bag ku, kuberikan padanya sebelumnya sudah aku buka kode pengamannya. Dia membolak balikkan ponselku seakan merendahkan ponsel milikku yang tergolong murah dan sangat jauh dengan tipe ponsel yang sedang dia genggam di tangan kirinya. Dan bahkan, lebih memalukan lagi layar ponselku sudah retak.
Dia tersenyum miring, entah apa yang dipikirkannya. Sekali lagi, aku memasang tampang tidak peduli.
"Nih," ku raih kembali ponselku dari tangannya. Aku benar-benar melangkah keluar. Dan dia menahanku lagi, apa sih maunya?
"Bahkan nggak ada ucapan terkmakasih setelah di tolong dan di beri makan?" ucapannya membuat aku mendesah kasar.
"Bukannya harusnya kamu ya Tuan dokter, yang mengucapkan terimakasih padaku? aku udah pura-pura jadi calon istrimu, menikah denganmu, aku terjebak dalam kehidupanmu yang rumit hanya karena di tuduh pencuri!" aku membalas tatapan tajamnya. Wajah kami saling berdekatan dan sangat dekat, namun tiba-tiba aku teringat akan sesuatu. Aku mundur dan menjauhkan wajahku darinya.
Tanpa ku duga lagi, dia mendekat, menundukkan kepalanya, miring, dan ******* bibirku tanpa permisi. Sial! dua kali sudah aku di perlakukan seperti ini.
"Terimakasih, kamu boleh pergi, tapi jangan pernah sekali-kali mengabaikan panggilanku, ngerti?" Aku masih melotot ke arahnya sebagai respon tidak terima atas perlakuannya. Bibir yang selalu ku jaga selama dua puluh satu tahun sudah tidak perawan lagi, dua kali di sentuh oleh bibirnya. Aku menjaganya dan akan memberikannya pada suamiku kelak. Eh tunggu, tapi dia suamiku bukan? benar memang, tapi bukan dengan pernikahan paksa dan konyol seperti ini. Bahkan kami belum saling mengenal.
Aku masih menatapnya tajam, ingin sekali aku memberi satu tamparan keras padanya. Tapi anehnya mengapa tak aku lakukan?
Jantungku berpacu cepat, harus ku akui dia cukup tampan dan gagah sebagai laki-laki. Penampilannya rapi, kulitnya bersih. Lengan dan tangannya di tumbuhi rambut-rambut halus khas cowok. Bibirnya lebih tebal bagian bawah, hidungnya pun boleh lah. Ah, apa yang aku pikirkan. Aku membalikkan tubuhku segera dan berlari tanpa menjawab ucapan terakhirnya tadi.
...Bersambung...
...Jangan lupa pencet like dan komentarnya ya, menurut kalian Wira itu gimana? 😁...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Dewa Rana
kok panggil tuan, memang majikan ya
2024-11-06
0
Nindi Silvana
ternyata karya kak Rizki tentang Wira udh lama juga ya dan aku baru tau skrng😂
2022-06-02
0
Julio Stevaning
Wira dokter cabul
2021-12-26
0