Wira & Lyra
...Lyra POV...
Rumah sakit, adalah tempat yang paling aku hindari untuk di datangi. Seumur hidup, aku tak pernah menginap disana apalagi untuk menjadi pasien. Terlalu mengerikan jika sampai jarum infus menusuk ke kulitku. membayangkannya saja membuatku merinding ngeri, apalagi jika sampai mengalaminya.
Beberapa hari yang lalu, dengan sangat terpaksa aku menginjakkan kaki di rumah sakit karena harus mengantarkan Ibuku yang sakit dan mengharuskannya dirawat disana. Sudah lebih dari empat puluh delapan jam aku berada disini. Tak pernah aku sesali karena apapun akan aku lakukan demi Ibu biar bisa sembuh dari penyakit yang sebenarnya akibat ulahnya sendiri.
Mondar mandir dari kampus ke rumah sakit dengan jarak yang tidak dekat, tidak bisa di pungkiri memang membuat tubuhku sedikit lelah. Jangankan untuk beristirahat, untuk makan saja kadang tak punya waktu. Skripsi yang mengejar target, jadwal magang seminggu tiga kali juga benar-benar memenuhi jadwalku. Sepertinya memang sudah begini resiko seorang mahasiswi tingkat akhir. Belum lagi aku barus bekerja paruh waktu di kafe dan kebetulan selama dua hari ini aku sudah minta izin tidak masuk kerja dan tentu dengan konsekuensi gajiku di potong.
"Ibu, makan ya?" ucapku pelan sambil membuka wadah makanan yang beberapa menit lalu di berikan oleh perawat. Respon Ibu yang menggelengkan kepalanya membuatku mendesah pelan.
"Dikit aja Bu, Lyra mohon. Biar cepet sembuh, ya?" aku masih memaksakan, ku ambil satu suapan. Lalu aku duduk tepat di sisi ranjang dimana Ibu berbaring.
"Ibu nggak lapar," jawab Ibu dengan lantang. aku semakin gusar, ingin marah tapi tak mungkin. Ibu mengidap penyakit asam lambung hingga mengharuskannya berbaring disini, tapi masih saja menolak untuk makan. Kepergian Ayah dua bulan lalu masih menyisakan kesedihan mendalam, hingga berefek buruk pada Ibu yang tiba-tiba di diagnosa sakit maag akut.
"Ibu tolong... makan buburnya dikit, aja." Aku memohon, suaraku masih aku pelankan. Tapi Ibu masih saja menggeleng.
"Ibu, tolong lah. Lyra ngurus semuanya sendiri, Bu. Lyra harus kuliah, magang, juga kerja, kalau Ibu nggak mau usaha untuk sembuh, Lyra harus gimana?" Aku mendesah kasar. berucap cukup lembut agar tak menyakiti hati Ibu. Bukan aku tak ikhlas mengurus Ibu yang sakit, hanya saja... melihat Ibu tak memiliki niat apalagi usaha untuk sembuh, aku merasa putus asa.
"Kita pulang aja, Ibu nggak apa-apa kok. Jangan khawatir, kalau sakit Ibu nggak sembuh mungkin lebih bagus lagi, Ibu bisa ketemu Ayahmu disana." kalimat itu bukan baru sekali dua kali ku dengar, sudah sering. Cinta mati Ibu pada Ayahnya tak bisa di pungkiri, ingin sehidup semati mungkin?
"Ibu... dua suapan aja?" Aku raih jemari sang Ibu dengan cukup hati-hati, karena harus menjaga infus yang terpasang dengan penuh perjuangan saat suster hendak memasangkan jarumnya, Ibu malah meronta-ronta.
Tanpa menunggu persetujuan, aku langsung menyodorkan satu suapan dengan sendok berbahan melamin itu, ke arah mulut Ibu. Aku tersenyum saat Ibu membuka mulut tanpa paksaan.
Lima menit berlalu, bubur sudah habis setengah porsi. Aku bernapas lega. Ku tatap wajah lelah perempuan yang telah melahirkanku dua puluh satu tahun silam itu.
"Ibu, sebentar lagi... Lyra tinggal sebentar bisa?" Aku melirik jam tangan di pergelangan tangan kirin. Sudah jam setengah satu siang, aku memiliki janji untuk bimbingan skripsi bersama dosen pembimbing yang jarang punya waktu luang. Jadi, mahasiswa yang harus mengikuti jadwalnya. Tak bisa kapanpun, paling seminggu hanya dua kali saja.
"Iya, nggak apa-apa. Kamu pergi aja, mau ke kampus?" Ibu memberi izin, namun sebenarnya aku tak tega meninggalkannya tapi terpaksa ku lakukan. Demi skripsi yang hanya tinggal beberapa tahap lagi, aku harus sidang di awal tahu depan, harus wisuda dalam tahun yang sama juga. Jika tidak, aku harus bekerja lebih keras lagi untuk membayar uang semesteran.
"Maaf ya Bu, Lyra pergi. Assalamualaikum," setelah mencium tangan Ibu, aku pun pergi meninggalkan ruang pasien berjenis VIP itu. Meski kekurangan, aku ingin memberikan yang terbaik untuk perawatan Ibu. aku yakin tabunganku selama ini masih cukup untuk membayar biaya rumah sakit.
"Waalaikumsalam, hati-hati nduk," Ibu melambaikan tangan dan aku menutup pintu perlahan.
"Telpon Lyra kalau ada apa-apa ya Bu!" seruku sebelum benar-benar pergi.
Berjalan menuju parkiran khusus roda dua di rumah sakit itu, aku harus berjalan melewati koridor yang cukup panjang. Sesekali aku menunduk, kemudian ku angkat lagi kepala. Sebenarnya saat ini aku sedikit pusing, mungkin karena kurang tidur dan ternyata aku belum makan sejak pagi.
Aku mencoba membuyarkan lamunan karena begitu banyak hal yang berputar-putar di kepalaku. Rumah sakit tergolong sepi saat ini, mataku tertuju pada sebuah benda berwarna hitam, berbentuk persegi. Aku dekati benda itu. Dan... tanpa ragu lagi aku membungkukkan badan untuk meraih benda itu.
"Punya siapa ya? kasian banget ini yang kehilangan," Dengan sedikit keberanian aku meraih dompet berbahan kulit dan cukup tebal. Tapi aku tak punya keberanian sedikitpun untuk membukanya meski tergiur akan rasa penasaran siapa pemilik dompet bermerk LV yang ku yakin harganya pasti cukup untuk biaya makan ku selama berbulan-bulan.
"Gimana ini?" Aku pun bingung, melirik jam tangan, tak punya banyak waktu lagi. Perjalanan ke kampus juga akan memakan waktu kurang lebih setengah jam. Berdiri di tengah koridor dengan perasaan kebingungan. Memastikan keadaan sekitar bahwa benar-benar sepi, tak ada orang lain di dekatku. Aku memberanikan diri untuk membuka dompet itu, siapa tahu aku bisa menemukan idientitas dan menemukan petunjuk kemana harus aku kembalikan.
"Kembalikan dompet saya!" aku menoleh ke belakang, ke sumber suara itu berasal. Namun masih ragu apa benar laki-laki itu pemilik dompet ini, aku pun menyamakan foto yang terdapat dalam KTP itu dengan orang yang ada di hadapanku. Belum sempat aku menyamakan, lelaki itu langsung merampas secara kasar. Dan bukan hanya dompet yang dia rampas tapi dia juga pergelangan tanganku, menyeret ku untuk ikut dengannya.
"Lepasin saya!" hentakku sambil berusaha melepas cengkeraman tangannya yang begitu kuat.
"Menurut kamu, saya akan melepaskan kamu begitu saja? saya bahkan belum melihat apa saja yang hilang dari dalam dompet ini?" dia berhenti berjalan, tapi tak juga melepas tangannya dariku sambil menampilkan dompet yang katanya miliknya ke hadapanku.
"Sumpah! saya baru nemu dompet itu sambil jalan, saya buka untuk ngeliat idientitasnya saja, siapa tahu bisa saya kembalikan kemana! tolong lepasin saya Om!" aku masih berusaha keras untuk melepaskan diriku darinya. Hingga aku berjongkok sambil menarik tangan kananku, sialaan mengapa aku diperlakukan seperti pencuri. Jika tahu akan seperti ini aku takkan pernah menyentuh benda sialan itu.
Lelaki itu berhenti, melepas tanganku secara tiba-tiba. Hingga aku terjatuh dan terduduk di lantai. Tote bag yang aku kenakan pun terhempas di lantai.
"Om? saya belum setua itu! ikut saya sebentar! saya nggak akan ngelepasin kamu sekarang, urusan kita belum selesai, tapi saya buru-buru. Ada nyawa yang harus saya selamatkan."
Melihatnya setengah memelas, entah mengapa aku merasa iba. "Oke! saya bisa jalan sendiri, nggak usah di seret-seret!" Aku membersihkan bajuku yang kotor, meraih tas ku yang teronggok di lantai.
"Ikut saya!" titahnya lagi. Aku berjalan mengikuti langkahnya yang cepat, entah kemana. Langkahku terlalu lelah rasanya. Perjalanan dari ruangan Ibu di rawat ke parkiran motor saja sudah memakan waktu hampir lima belas menit. Rumah sakit ini tergolong rumah sakit swasta terbesar dan terkenal dengan pelayanan terbaik, maka aku tak ragu untuk membawa Ibu di rawat disini saja.
Sepanjang perjalanan, begitu banyak perawat dan pegawai di rumah sakit ini menundukkan kepalanya saat berpapasan dengan lelaki itu. Mungkin karena dia pasti salah satu dokter disini. Dapat aku pastikan bahwa ia seorang dokter dengan jas putih yang melekat di tubuhnya. Sudah berjalan kaki cukup jauh, akhirnya kami berhenti di depan lift.
"Masuk!" titahnya.
Aku melangkah masuk, berdiri tepat disampingnya membuat jarak semaksimal mungkin. Aku lihat jari telunjuknya memencet tombol angka delapan. Yang aku tahu rumah sakit ini memiliki lantai hingga delapan itu artinya, kami menuju ke lantai tertinggi di gedung ini.
Tak ada percakapan hingga kami sampai ke atas, entah mengapa perasaanku tidak karuan. Terlebih aku tak punya banyak waktu, janji ku dengan disen pembimbing sekitar satu jam lagi. Jantungku berdegup, kepalaku terasa pusing, namun masih bisa ku tahan.
Hingga kami sampai di sebuah ruangan rawat kelas tertinggi di rumah sakit ini. Lelaki itu masuk, melihatku tak bergerak sama sekali dia pun menoleh.
"Tunggu apalagi?" tatapannya tajam ke arahku seolah ingin menerkam.
Aku masuk tanpa bertanya, tak ku sangka ternyata disana ada banyak orang. Dan mataku tertuju pada seorang pria tua yang tengah berbaring lemah dengan banyak alat-alat medis terpasang di beberapa bagian tubuhnya.
"Kenapa lama sekali kamu Wira? Ayah dari tadi manggil-manggil namamu!" ucap seorang wanita dengan air mata yang berderai di pipinya.
Ternyata lelaki kasar itu bernama Wira? oh... lantas apa peranku disini? untuk apa aku harus terlibat dengan orang-orang yang tak ku kenal. Terlebih, beberapa pasang mata menatap ke arahku dengan tatapan mengatakan kamu siapa?
"Wira..." ucap lelaki tua itu dengan suara lemah dan lirih setelah alat bantu pernapasan di buka.
"Ayah, butuh sesuatu? Wira disini, Yah." ucap lelaki itu dengan lembut sambil meraih tangan Ayahnya.
"Itukah calon istri yang kamu ceritakan?" dan saat itu juga semua mata tertuju padaku. Aku berdiri kaku tanpa bisa berbuat apapun. Calon istri katanya? bahkan kami baru saja bertemu beberapa menit yang lalu.
...Wira & Lyra aku pindahin kesini aja...
...Selamat membaca, jangan lupa bantu like dan komentarnya. Terimakasih 🥰...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
virgogirls
balik lg kesini .. kangen sama cerita ceritanya author .. hihihi 🤭
2024-05-03
1
Massunamiyatha
baru mampir thor, moga sebagus ceritamu yg lain
2023-03-02
0
Kireina
la iku dombet lv ny jebaķan betmen🤣🤣🤣
2022-08-25
0