...Wira POV...
Setelah Lyra pergi, aku kembali ke ruang sebelah, tempat Ayah berbaring. Ayah masih tertidur cukup pulas dan wajahnya terlihat sangat tenang. Apa Ayah segitu bahagianya? sementara aku... ini tak adil. Harus ku akui, Lyra memang cantik dan cukup menarik, sebagai laki-laki aku tak bisa memungkiri itu. Tapi, aku merasa kesal saat dia ternyata memiliki daya tarik tersendiri hingga tanpa sadar aku dua kali menyentuh bibirnya. Nafsu bejad terpendam selama ini, karena berjauhan dengan Hanna.
Tapi aku cukup tersentuh saat melihatnya begitu tulus berbicara dengan Ayah, tanpa beban hingga senyum pun merekah di bibir laki-laki yang begitu aku sayangi itu. Apa mungkin Tuhan memang mengirimkan Lyra pada keluarga kami hingga ia mampu mencairkan suasana yang tegang, dan bahkan mungkin mampu menyembuhkan Ayah?
"Wira!" Ibu menahan lenganku, saat aku hendak keluar lagi dari ruangan itu.
"Ya Ibu?"
"Jangan coba bermain-main dengan perempuan tadi!" Ibu menatapku cukup dalam, penuh peringatan.
"Maksud Ibu?" bermain-main? tentu aku akan bermain-main dengannya, apalagi nanti sudah serumah. Mana mungkin aku melewatkannya begitu saja.
"Jangan sampai kamu jatuh cinta dan nggak bisa lepas dari dia, dia nggak pantas buat kamu!" suara Ibu cukup keras, mungkin Ibu lupa bahwa saat ini ada yang sedang tertidur pulas hingga Ayah terbangun. Kami berdua cukup kaget.
"Maksud kamu apa Bu? mengapa Wira nggak boleh jatuh cinta dengan istrinya sendiri? bukankah sepasang suami istri memang haru saling mencintai?"
Aku heran, dimana Ayah yang lemah dan rapuh kemarin-kemarin? Ayah yang tak berdaya saat aku mengunjunginya hanya mampu melempar seulas senyum tipis ke arahku. Tanpa sepatah kata, tanpa semangat. Kini Ayah terlihat sangat berbeda, entah apa yang membuatnya begitu semangat.
"Ibu hanya bercanda, Ayah. Udah pasti sepasang suami istri harus saling cinta, perlakukan istrimu dengan baik ya Nak," Ibu membenarkan kalimatnya. Aku menjawab dengan anggukan, "Udah pasti Bu, Lyra cantik dan baik, nggak ada alasan untukku nggak cinta dan tentu harus baik kepadanya."
Drama apa ini? aku dan Ibu seolah sedang memainkan drama tanpa berlatih, dialog tanpa skenario.
"Aku permisi ya Bu, harus kembali bekerja," ya meski aku adalah pewaris rumah sakit ini nantinya. Aku mencintai profesiku, aku harus kembali mengurus pasien-pasienku dengan ramah. Menjalani profesi sebagai dokter bedah tidak lah mudah. Selama dua tahun belakangan ini, ada dua nyawa yang tak bisa aku selamatkan dengan tanganku. Aku sudah berusaha cukup keras dan berdo'a cukup banyak. Tapi jika Tuhan tetap mengambil mereka, itu sudah diluar kemampuanku.
***
"Dokter Wira, udah mau pulang?" Sarah menghampiriku, lengannya melingkar sempurna di lengan kananku. Dia perempuan cantik yang sudah enam bulan ini menjadi asistenku, dia tak hanya mengurus urusan pekerjaan saat di meja operasi, tapi dia juga rela membantuku dalam urusan pribadi. Meski baru enam bulan menjadi asistenku, bukan berarti aku baru mengenalnya. Kami sudah mengenal cukup lama, dia juniorku saat kuliah kedokteran dulu. Kami sama-sama mengambil pendidikan dokter di salah satu Universitas ternama di Jakarta. Dan bisa ku katakan aku sudah menganggapnya seperti adik sendiri.
"Sebentar lagi, aku mau ke atas dulu, ketemu Ayah sebelum pulang, tangan kamu Sarah..." aku mengingatkan, di sekitar kami ada banyak orang.
"Maaf," ujarnya. "Aku nebeng lagi ya, anterin sampe kosan," ucapnya manja. Aku laki-laki, aku paham Sarah menyukaiku, berharap aku membalas cintanya. Tidak, tidak akan... aku hanya mencintai Hanna.
"Ya, kamu tunggu disini dulu, nanti aku kesini lagi," aku melangkah, tapi dia kembali menahanku. "Ikut.. udah lama nggak jenguk Om Prana," ucapnya.
Dia juga sudah cukup akrab dengan keluargaku, termasuk dengan Ayah. Tapi sayang, mereka juga hanya menganggap Sarah seperti keponakan, tidak lebih.
"Boleh, ayo!" ajakku. Dan lagi-lagi dia memeluk lenganku. "Sarah..." aku benci ini, dia begitu agresif. Aku tak suka!
***
"Hai Om, apa kabar?" Sarah duluan masuk ke dalam, berjalan melewatiku mendekat pada Ayah. Jika biasanya Ayah tersenyum saat melihatnya, kali ini tidak sama sekali.
"Sedikit lebih baik," jawab Ayah tanpa ekspresi lalu pandangannya beralih ke arahku menatapku dengan tatapan tak suka. Aku tak merasa bersalah, apa salahku?
"Wira..." Ayah memanggilku dengan satu gerakan tangan terangkat ke udara.
"Ya Ayah."
"Ingat, kamu sudah beristri, ada baiknya menjaga jarak dengan wanita lain walaupun itu rekan kerja," ucap Ayah penuh peringatan.
Sarah menoleh ke arahku, agak tercengang. Ia mundur satu langkah, menjauh dariku.
"Ayah... kita nggak usah bahas itu dulu," ucapku lembut, agar tak menyakiti hatinya.
"Ayah hanya mengingatkan, dan Sarah... Wira sudah menikah secara siri, minggu depan pernikahan mereka akan diresmikan, jadi Om minta kamu jaga jarak dengan Wira," Ayah justru memperjelas. Aku hanya bisa mengusap tengkukku. Menatap Sarah yang tengah menahan sesuatu, aku yakin sebentar lagi wanita ini akan menangis.
"Maaf Om, Sarah nggak tahu soal itu, kalau begitu, Sarah permisi."
Benar kan dugaanku, dia pasti menangis. "Sarah tunggu!" Aku berusaha menahannya memberi penjelasan, ya meski aku tak menyukainya sama sekali. Tapi aku masih punya perasaan, setidaknya aku menenangkannya dulu.
"Wira!" tapi suara Ayah menahan langkahku. Sarah ku biarkan pergi, dan aku kembali mendekat pada Ayah.
"Persiapkan diri untuk pernikahan yang sebenarnya! kamu nggak perlu pusing memikirkan biaya serta apapun itu untuk persiapannya, kamu dan Lyra hanya perlu menyiapkan diri kalian. Ayah akan menggelar pesta ini besar-besaran."
Aku tertunduk, hidupku seolah tak berguna. Aku terus saja di atur oleh Ayah, ku harap ini tak akan lama. Ya, cuma tiga bulan drama ini akan berlangsung, sampai Hanna kembali, menyelesaikan kuliahnya.
"Iya Ayah," hanya itu yang bisa aku katakan.
***
Aku lelah, selama perjalanan pulang, aku sudah membayangkan akan berendam air panas di dalam bath up, atau mengguyur tubuhku dengan air dingin melalui shower untuk melepas lelah dan penat akan semua yang terjadi hari ini. Jalanan kota Jakarta akan selalu seperti ini. Macet, dan akan semakin parah di waktu-waktu tertentu. Mobilku melaju dengan kecepatan sedang, menuju apartemen yang aku pilih untuk menetap disana. Aku merasa sudah cukup dewasa untuk tinggal sendirian, dan sesekali saja pulang ke rumah Ayah.
Apartemen yang aku tempati cukup mewah, terdapat dua kamar, satu ruang keluarga yang luas, serta dapur yang lengkap dengan segala peralatan yang mendukung. Meski aku laki-laki, tapi aku senang memasak. Aneh bukan? selain membedah manusia, aku juga hobi membedah daging, ayam, atau ikan untuk ku jadikan santapan nikmat. Dan tentu aku harus belajar melalui youtube ataupun internet.
Ku buka pintu utama apartemenku, cukup menggunakan sidik jariku saja, meski disana tersedia tombol-tombol berupa angka. Tapi aku tak mau ribet, maka sidik jari aku gunakan untuk akses membuka pintu. Tak sia-sia ku beli hunian ini dengan harga delapan milyar.
"Surprise.." Aku berdiri kaku, mati kutu melihat siapa yang ada di dalam apartemenku saat aku melangkah masuk. Hanna berdiri sambil merentangkan kedua tangannya.
"Kamu?" aku masih tak percaya, oh mungkin aku terlalu lelah hingga berhalusinasi akan kehadirannya.
"Baby, kenapa diam aja? sini dong!" titahnya.
Aku melangkah mendekat, ku sambut dia dengan ciuman di bibirnya ku benam begitu dalam. Ini nyata, ini benar-benar kekasih ku tercinta.
Ciuman kami semakin dalam saat dia mengalungkan kedua lengannya di leherku, aku berjalan membawanya ke sofa hingga ia terbaring disana. Kecupan, ******* serta gigitan mesra sebagai tanda melepas kerinduan yang telah terpendam berbulan-bulan. Hari ini cukup rumit, namun terobati dengan kehadirannya. Cukup banyak kejutan untukku hari ini.
"Nggak sabaran banget sih, main nyosor aja? kangen banget ya sama aku?" Hanna melepas ciuman secara paksa. Tanganku sudah berada di atas dadanya.
"Kapan kamu sampe?" kalimat pertamaku untuknya.
"Setengah jam yang lalu, aku mau ngasih kejutan buat kamu. Hari ini ulang tahunmu sayang..."
Dia memberi satu kecupan di bibirku lagi, benar... aku sampai lupa kalau hari ini aku sedang berulang tahun. Saking sibuknya hingga aku lupa kalau hari ini usiaku tepat menginjak tiga puluh satu tahun.
"Aku lupa, sayang," ku usap kepalanya, kini dia tengah duduk di pangkuanku.
"Kita rayakan sama-sama, wait babe. Aku mandi dulu, bersih-bersih biar wangi," dia bergerak menggoda, memacu gairahku.
"Jadi kamu langsung ke sini, dari bandara?" tanyaku saat melihat sebuah koper dan satu travel bag tepat di samping rak TV.
"Iya sayangku... bahkan aku lebih duluin nemuin kamu di banding orang tuaku, i love you. Sebentar ya sayang." Dia beralih dari pangkuanku, berjalan menuju kamarku, dia memiliki akses tak terbatas di apartemen ini, sudah seperti rumahnya sendiri bahkan aku juga mengizinkan sidik jarinya untuk bisa masuk kesini.
Nakalnya dia terus menggodaku dengan melepas pakaiannya satu persatu sambil berjalan. Aku tergoda, tapi ini sedikit aneh. Ada perasaa bersalah membuncah saat aku ingin berniat menyentuhnya. Ada apa denganku? tiba-tiba aku teringat akan gadis aneh yang tadi siang aku nikahi. Aku pasti tidak sedang tidak waras.
Dia sudah menghilang dari pandanganku, aku memijat pelipisku pelan. Aneh, kehadirannya justru membuat isi kepalaku semakin rumit, berbelit. Bukannya selama ini aku selalu menantinya?
Ponselnya yang terletak di atas meja berbunyi, cukup berisik. Aku raih disana tertera nama Marvel, dari namanya bisa aku tebak pasti dia seorang jantan kan? siapa ini? karena aku memegang prinsip kami dari awal pacaran, menghargai privasi masing-masing, maka aku biarkan saja.
Deringan ponselnya berhenti, aku di rundung rasa penasaran. Cukup penasaran, ku raih ponselnya. Ternyata dia tidak menetapkan pengaturan kode pengaman. Mudah sekali untuk membukanya. Sebelum membongkar isi chat nya, aku memilih membuka galeri terlebih dahulu. Seperti biasa, dia tak pernah berubah. Cukup gemar berfoto selfi dengan pose seksi menggoda, bahkan sejak dulu dia sering mengirimkan ku fotonya hanya dengan menggunakan bra. Itulah salah satu alasan mengapa aku menjadikannya kekasih. Dia perempuan yang suka menantangku dengan gairah, aku suka perempuan seperti itu.
Aku berhenti ketika melihat sebuah video yang menampilkan dua orang tanpa busana, aku tersenyum kecil. Tak menyangka ternyata dia gemar dengan film-film seperti ini? ku sentuh ikon play dan seketika itu juga lututku melemas, jantungku berpacu tak karuan.
"Come on babe, faster..." aku mengenal suara itu juga sangat mengenal siapa pemeran wanita dalam video itu. Hanna? dengan seorang laki-laki bule? detik itu juga aku membanting ponsel keluaran terbaru itu dengan cukup keras hingga membentur ke meja yang ada di hadapanku.
Aku mengumpat dengan kata-kata kasar, tak menyangka Hanna juga akan menunggangi laki-laki lain di belakangku, selama ini begitukah tingkahnya saat berjauhan denganku.
Dasar perempuan ******! tubuhku kembali terhempas, di atas sofa. Hatiku patah, hancur sehancur hancurnya. Aku cukup menjaga hati, dan juga tubuh ini hanya untuknya. Tapi ternyata dia...
Video itu berdurasi lama lebih dari lima belas menit, mungkin karena ponsel itu cukup bagus hingga tak hancur dan padam meski sudah aku banting cukup keras. Terdengar suara-suara desahan Hanna tak beraturan, video masih berlangsung.
"Baby, kamu nonton..." Hanna keluar dari kamar, dia pun terdiam kaku saat melihat ponselnya di lantai dan menampilkan video dirinya yang terlihat begitu menjijikkan.
...Bersambung...
...Nikmati saja setiap episodenya ya, alurnya memang begini. Wira patah hati, adakah yang bisa menyembuhkannya? Pencet like dan komentar yak...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Efvi Ulyaniek
ta kira td mau lanjut ke ranjang untung deh keburu ngliht video nya... setidaknya Ndak zina setelah ijab qobul...sakno lyra .zina sebelum "nya anggeplah belum Nemu pawang alias khilaf
2022-08-24
0
Nindi Silvana
hahaha pak dokter patah hati ya🤣
2022-06-02
0
Fitriyani
klo udh liat ky gt, tp Wira msh ttp mau sm Hanna,bnr2 laki2 bodoh bin bego tu si Wira.😡
mf y thor,klo kt2 q kasar,abisnya kesel bgt q sm si wira🙏
2022-02-02
2