...Lyra POV...
Ada apa dia menghubungiku? tapi sepertinya ini akan ku ambil sebagai kesempatan untuk mengatakan bahwa Ibu memintanya untuk datang menemui Ibu sebelum benar-benar menikahiku.
^^^Tuan dokter, apa besok punya waktu sebentar? Menemui Ibuku, bagaimanapun aku masih punya orang tua walaupun tinggal ibu. Aku menikah, nggak mungkin tanpa sepengetahuan ibu. Tolong bertindaklah seperti laki-laki sejati. ^^^
Pesan aku kirimkan tanpa berpikir, entah dia tersinggung atau tidak dengan kalimat-kalimatku barusan, aku tak peduli. Aku hanya menyampaikan yang seharusnya. Menit demi menit, jam demi jam aku menanti jawabannya, ponselku tak kunjung berbunyi. Dia tidak membalasnya.
Pagi datang, aku mulai membereskan barang-barang ibu, karena siang ini kami akan segera pulang. Aku senang, bebas. Tak perlu lagi mondar mandir kesini. Tapi masih ada yang mengganjal, Wira sama sekali tak merespon permintaanku. Sementara katanya peresmian pernikahan kami akan dilangsungkan sekitar enam hari lagi.
Tok tok tok
"Selamat pagi," pintu di buka, aku kocar kacir mencari kerudungku, untung segera dapat dan ku pakai asal-asalan yang penting menutupi auratku di kepala.
"Pagi Dokter," sapa Ibu tersenyum ramah, aku sama sekali belum menoleh, masih sibuk menyusun baju-baju ke dalam tas. Itu pasti dokter yang selama ini menangani Ibu.
"Bagaimana keadaannya?"
Suaranya ku rasa sangat familiar.
"Alhamdulillah udah lebih baik dokter, pagi ini dokternya beda ya?" tanya Ibu, aku segera menoleh dan ternyata itu Wira! pagi-pagi sekali, belum jam delapan, lelaki itu datang secara tiba-tiba.
"Iya, saya mau menemui Ibu untuk urusan pribadi," Wira menyeret sebuah kursi yang tersedia di sekitar ranjang Ibu, ia duduk disana dengan tenang. Sementara aku gelagapan, aku hanya mengenakan setelan piyama tidur lengan panjang. Belum mandi, belum cuci muka. Kebetulan aku tidak sholat subuh karena ada tamu bulanan.
"Ya? maksud dokter?" Ibu heran, karena selama ini dokter yang datang tidak pernah duduk apalagi dengan jarak sedekat ini, hanya memeriksa, mengecek keadaan, bertanya-tanya kemudian pergi.
"Saya akan menikahi anak ibu, Lyra."
Tak ku sangka Wira akan sejujur itu, aku terdiam kaku di tempatku. Seketika Ibu menoleh ke arahku, dengan penuh tanya. Laki-laki ini penuh misteri, tak membalas dan merespon pesanku sama sekali, dan tiba-tiba datang menemui ibu sepagi ini? aku sedang tidak bermimpi kan? ya ampun, anehnya aku merasa tersipu saat ini. Seolah di datangi seorang pangeran yang memintaku menjadi istrinya.
Ku pukul pelan kepalaku, agar berhenti berkhayal yang tidak-tidak. Sadar, Lyra, ini hanya drama!
"Maaf saya belum memperkenalkan diri, nama saya Wira Mahesa Pranaja. Saya pewaris rumah sakit ini," ucapnya dengan bangga. Ternyata itu nama panjangnya, aku juga baru tahu. Padahal aku sempat melihat KTP nya kemarin namun tak sempat membaca namanya.
Ibu tercengang, melirikku lagi dengan tatapan aneh. Tatapan yang seolah mengatakan, kamu punya mantra apa? bagaimana seorang dokter dan pewaris rumah sakit ternama bisa ingin menikahiku?
"Ternyata dokter yang di ceritakan Lyra malam tadi? Ibu nggak nyangka, Lyra... sini Nak!" Ibu memanggilku, terpaksa aku mendekat. Aku tak tahu wajahku seperti apa bentuknya saat ini.
Wira menatapku, dengan tatapan yang sulit di artikan. Sekilas dia tersenyum, aku tak membalas senyumnya.
"Iya Bu, ini dokter yang Lyra ceritakan tadi malam," akhirnya aku bersuara, pandanganku tak lepas dari ibu. Jantungku sepertinya bermasalah, sejak mengetahui Wira ada disini, jadi berdetak tidak karuan.
"Apa Ibu bersedia, dan mengizinkan saya menikahi Lyra?" untuk saat ini aku terkesima, tak ada Wira yang berucap dengan nada kasar seperti biasanya. Nadanya cukup lembut dan ramah di telinga. Aku rasa dia memang jago berakting.
"Ya, dengan satu syarat," Ibu menjawab dengan tegas, baik aku maupun Wira menatap Ibu lekat.
"Jangan sampai Lyra pulang kerumah Ibu dengan air mata karena tersakiti, jangan!" suara Ibu penuh penekanan. Wira terperangah, aku yakin dia tidak bisa berkata iya. Dan aku yakin jika dia mengiyakan syarat dari ibu, pasti itu tidaklah sungguh-sungguh.
"Tentu saja Bu, walaupun saya baru mengenal Lyra. Saya yakin dia gadis baik, saya nggak pantas untuk menyakitinya," aku memutar bola mataku saat dia melontarkan kalimat itu. Mana mungkin aku percaya? baru beberapa jam kenal saja kemarin dia sudah membuatku menangis, bagaimana dengan hari-hari berikutnya.
"Bagus, sebenarnya ini terlalu mendadak, tapi Ibu nggak akan menghambat karena menikah adalah niat yang baik juga ibadah terlama, nggak ada salahnya, toh sebentar lagi Lyra juga wisuda. Nggak apa-apa kalau nanti hamil kan kuliahnya udah selesai," tutur ibu panjang lebar, tapi aku sedikit meringis mendengar kata hamil dari ibu barusan. Sejauh itukah ibu berpikir? aku bisa gila memikirkannya, membayangkan untuk hamil pasti ada proses yang harus dilakukan, bukan?
"Makasih banyak Bu, saya akan menjaga Lyra dengan baik. Dan pernikahan kami akan di selenggarakan kurang dari tujuh hari lagi," Wira menyodorkan tangannya ibu menyambut dan Wira mencium tangan ibu. Aku heran, mengapa sikapnya bisa semanis ini? oh ya tentu saja untuk melancarkan niatnya, demi restu bukan? pastilah dia akan melakukan apapun. Andai ibu tahu bagaimana awal mula pernikahan ini, pasti tidak akan ada izin dari ibu.
"Sama-sama," ucap Ibu. Ku lihat ibu cukup bangga anaknya di lamar seorang dokter, apalagi tadi Wira memperkenalkan diri sebagai pewaris rumah sakit ini. Ya ampun aku harap ibu tak akan pernah tahu yang sebenarnya.
...Wira POV...
Jam dua dini hari tadi, aku terbangun dan tersadar pengaruh wine bergelas-gelas yang ku minum cukup luar biasa. Mungkin karena sudah lama tidak menikmati ini, jadi respon tubuhku agak berlebihan hingga aku tertidur dengan kepalaku di atas meja, ponsel masih berada dalam genggamanku. Ku baca pesan terakhir yang di kirimkan Lyra, apa yang ku lakukan? Mengapa aku bisa berbalas chat dengan si judes itu?
Mataku sudah terbuka sempurna, ku baca kalimat demi kalimat yang di kirimkan gadis itu. Awalnya aku tak peduli, tapi setelah ku pikir lagi, tidak ada salahnya. Aku butuh dia, setidaknya ini adalah bagian dari usahaku.
Maka pagi ini, aku putuskan tiba di rumah sakit, langsung menemui ibunya, tak peduli ini masih sangat pagi. Apalagi malam tadi Lyra menantangku untuk bertindak sebagai lelaki sejati, oke! akan ku tunjukkan padanya hingga pagi ini aku sudah berada disini, bersama istriku dan juga perempuan paruh baya yang sudah menjadi mertuaku meski belum resmi.
"Lyra, temani aku sarapan, ya?" kini, pandangan aku alihkan ke gadis yang aku yakin belum mandi itu. Aku berucap cukup lembut, tentu saja ini demi citra ku di hadapan ibu mertua
"Ibu nggak bisa di tinggal, nanti ibu sarapan nggak ada yang suapi," bisa ku tebak dia pasti menghindar, menolak ajakanku.
"Ibu bisa sendiri kok, emang nggak lihat ini Ibu udah sehat? hm?" jawab Ibu, aku tatap Lyra tengah mencari-cari alasan lain.
"Aku belum mandi," dia menggeleng, aku barusan di tolak. Apa dia tak tahu kalau para perempuan di rumah sakit ini dari dokter, perawat, dan staff-staff lainnya berlomba-lomba untuk bisa makan bersamaku?
"Calon suami loh yang ngajak nduk, jangan gitu ah!" senangnya aku mendapat pembelaan, ku lihat Lyra menatapku dengan kesal.
"Aku mandi dulu," ucapnya lalu beranjak ke kamar mandi.
"Nggak usah, aku nggak punya banyak waktu. Aku harus kerja, sebentar lagi ada jadwal OP. Sebentar aja, nggak akan lama, lagian kamu nggak boleh telat makan loh. Nanti pingsan lagi?" rayuku masih dengan nada bicara yang enak di dengar. Ya kemarin aku mendiagnosa bahwa Lyra memiliki gejala magh, perutnya tidak boleh kosong untuk waktu yang lama.
"Sebentar," dia masih saja cuek. Padahal aku sudah cukup-cukup perhatian. Alasan perhatian yang ku berikan adalah dia harus tetap sehat apapun ceritanya, sebentar lagi akan ada hari dan acara besar. Tentu hanya itu, tak ada alasan lain. Dan, tak bisakah dia bersikap lebih manis terhadapku dihadapan ibunya.
"Lagi berantem apa gimana? Lyra, nggak boleh gitu loh sama Mas dokternya, calon suami kamu perhatian banget itu," lagi-lagi ibunya membelaku, tatapannya seolah mengatakan maaf atas perlakuan anaknya yang tidak mengenakkan.
"Iya Mas Wira, sebentar ya. Lyra benerin kerudung dulu, ini miring sana sini," manis ucapannya terdengar di telinga. Apalagi dengan seulas senyum paksa ke arahku, meski terpaksa tapi ya begitulah. Tak bisa ku jelaskan dengan kata-kata.
"Pinjam Lyra ya Bu," ujarku lagi sebelum kami keluar ruangan.
Dia masih mengenakan setelan piyama ala-ala jaman sekarang, dengan kerudung warna senada. Keluar dari ruangan itu, kami berjalan tak beriringan dia berjalan pelan di belakangku. Sementara langkahku cukup cepat, aku
lapar. Malam tadi aku tak menyentuh makanan, malah menyentuh minuman yang memabukkan. Patah hati memang menghilangkan selera makan, tapi pagi ini semangatku kembali lagi entah apa penyebabnya.
"Cepat, aku lapar dan nggak punya banyak waktu!" titahku saat berbalik menghadapnya. Dia berjalan santai, celingak celinguk.
"Sabar, kaki kamu panjang. Udah pasti langkah kamu lebih besar dari aku, Tuan." Aku benci ini, ketika dia menyebutku dengan kata Tuan, lantas yang ku lakukan adalah menarik pergelangan tangannya sama seperti kemarin, hari pertama kami bertemu. Aku lebih suka dia memanggilku dengan sebutan 'Mas' seperti tadi.
Mau tidak mau, suka tidak suka, dia mengikuti langkahku. Dan saat jarak kami begitu dekat, dia berdiri tepat di sampingku, tangan kiriku terulur begitu saja untuk merangkulnya. Tak ada alasan lain, biar lebih cepat itu saja. Dan kantin rumah sakit tidak jauh lagi hanya sekitar lima puluh meter.
"Aku bisa jalan sendiri, Tuan," suara Lyra cukup pelan, tapi aku mendengar.
"Mas Wira happy birthday! Maaf kemarin aku lupa ngucapin," Suara familiar ku dengar mendekat, aku menoleh, sebenarnya sudah menduga itu siapa. Aku berhenti, Lyra juga berhenti karena saat ini rangkulanku cukup kuat di lengannya.
"Mau sarapan kan? aku ikut," Sarah mendekat ke arah kami, dan tatapannya tak lepas dari Lyra. Tatapan penuh tanya, dan Sarah sedikit memicingkan matanya.
"Maaf Sarah. Pagi ini, kamu sarapan sendiri dulu ya!" tidak ingin membuat Lyra tak nyaman, aku menolak Sarah. Tapi si gadis keras kepala itu tak juga mundur.
"Nggak papa, aku gabung aja sama kalian, lagian aku nggak biasa sarapan sendiri, traktir aku ya!" dia justru berjalan mendahuli kami, menarik lenganku dan detik itu juga Lyra melepas rangkulanku secara paksa. Wajahnya cemberut, hei dia cemburu? tidak mungkin.
...Bersambung ...
...Berharap komentarnya banyak biar cepat lanjut ...
...😂...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 97 Episodes
Comments
Nindi Silvana
ngapain lyra cemburu, yg ada dia males SMA kamu😂
2022-06-02
0
Julio Stevaning
huh Sarah ganjen banget
2021-12-26
0
Yesi Triyanto
klu gua jadi lyra tinggal aja pusing amat, toh blm diapa2in msih tersegel punya suamj gak pekak aliaa cuek kudu diterapi cuekin balik
2021-10-19
0