Anwar berjalan mendekati Vero yang terduduk di atas tanah. Setelah berada di dekatnya, ia kemudian duduk jongkok sambil menatap mata Vero dengan tatapannya yang tajam. Vero semakin merasa takut.
"Jangan Mas! Jangan ... !" Sahutnya sembari meneteskan air mata.
Anwar melihat pisau yang ada di tangannya lalu ia pun menoleh kembali ke arah Vero. Vero tampak panik, ia pun berusaha menghindar walau dalam keadaan merangkak. Tanpa mengulur waktu lagi, Anwar kemudian mengarahkan pisaunya itu tepat ke posisi jantung Vero berada.
Dan tak berapa lama kemudian, dengan sigap ia pun menusukkan pisau itu ke jantung Vero.
"Aaaaaaaaaa."
Vero menjerit dan langsung tersentak terbangun dari tidurnya. Ia pun meraba dadanya tepat di area jantung.
"Syukurlah ... ternyata kejadian barusan hanyalah sebuah mimpi." ujarnya dengan perasaan lega.
Vero menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskannya.
"Betapa menakutkannya mimpi itu,"
"Mimpi itu terasa begitu nyata," ujarnya dalam hati.
********
Keesokan harinya ketika Vero dan Anwar sedang sarapan pagi.
"Mas, tadi malam aku mimpi seram!"
"Emang, kamu nggak baca doa?" tanya Anwar
"Iya, sih aku lupa. Soalnya aku belum hapal," jawab Vero.
"Emang kamu mimpi apaan sih?"
"Aku bermimpi ada banyak mayat wanita di sekitar ku. Mukanya nggak ada," ujar Vero dengan serius.
"Maksudnya, mukanya rata?"
"Bukan. Mukanya hancur kena sayat-sayat. Dan yang lebih mengejutkan lagi, ternyata yang membunuh para wanita itu adalah, Mas."
"Ah! Kamu ada-ada aja. Jangankan orang, anak kucing aja Mas nggak sampai hati membunuhnya," sahut Anwar.
"Ini pasti gara-gara kasus Bu Sinta, jadi kamu sampai ke bawa mimpi. Sudahlah Bu Vero jangan dipikirkan lagi! Itu kan hanya mimpi. Sebaiknya kamu lupa in aja, Ok!" sahut Anwar sembari tersenyum.
Vero mengangguk dan melanjutkan sarapannya. Setelah mereka selesai sarapan pagi, Pak Anwar pergi menuju kamarnya.
"Bu Vero ... Bu Vero ...," panggilnya.
"Iya. Ada apa, Mas?"
"Bu Vero, ada nggak liat jam tangan Rolex ku? Rasanya sudah cukup lama aku nggak liat," ujar Anwar.
Vero tiba-tiba teringat dengan jam tangan yang ia ambil waktu itu. Namun, Vero sepertinya tidak bisa berbohong.
"Iya, tunggu dulu! Aku akan ambilkan," sahut Vero sembari pergi ke kamarnya.
Tak berapa lama kemudian, ia pun datang membawa jam tangan milik Anwar.
"Ini Mas, jam tangannya," ujar Vero dengan wajah cemberut.
"Kamu kenapa? cemburu ya Mas pakai jam tangan pemberian bu Rina?" ujarnya sambil tersenyum.
Vero tetap memasang wajah cemberut dan diam seribu bahasa.
"Ini. Ambillah! Biar mas pakai jam tangan yang lain aja," ujarnya sambil memberikan jam tangan itu ke tangan Vero.
Vero menerimanya dengan wajah tersipu malu.
"Besok, aku akan beli in mas jam tangan yang lebih bagus dari jam tangannya mbak Rina," ujar Vero.
Vero melihat Anwar hendak memakai dasi.
"Tunggu dulu! Dasi itu nggak cocok dengan warna bajunya, Mas," ujarnya.
Vero lalu mengambil dasi dengan warna yang lain.
"Nah, yang ini baru cocok untuk Mas," sahut bu Vero sambil memasangkan dasi itu ke leher Anwar.
Wajah mereka begitu dekat membuat jantung Vero menjadi berdebar-debar. Anwar lalu menatapnya dengan tatapan yang membuatnya serasa meleleh. Vero pun berusaha mengontrol pikirannya.
"Sudah ... sudah cakep!" ujar Vero sembari tersenyum.
Anwar lalu membelai lembut wajah Vero.
"Terima kasih, ya! Atas perhatiannya," ucap Anwar.
Setelah itu Vero menemaninya berjalan menuju pintu rumah. Sesampai di pintu rumah, langkah Anwar tiba-tiba terhenti.
"Kenapa Mas?" tanya Vero keheranan.
"Itu sepatu siapa, ya?" tanya Anwar ketika melihat dua pasang sepatu wanita terletak di rak sepatu.
Vero melihat sepatu itu, tiba-tiba ia teringat perihal teman-temannya yang berkunjung dan menginap semalam di rumahnya.
"Oh! Itu sepatunya milik Bu Sarla dan Bu Rina," jawabnya.
"Mereka disini? Kok, kamu nggak bilang?" tanya Anwar keheranan.
"Aku lupa, semalam mereka berdua datang ke sini mau membahas masalah bisnis dengan Mas. Tapi ... kemana mereka, ya?" tanya Vero kebingungan.
"Apakah mungkin mereka masih tidur di kamar?" tebak Vero.
"Kok, jam segini masih belum juga bangun?" tanya Anwar keheranan.
Mereka berdua saling berpandangan merasa ada yang aneh. Vero lalu bergegas pergi di ikuti oleh Anwar dari belakang menuju kamar tamu. Sesampainya mereka berdua di sana, Vero pun mengetuk pintunya.
"Tok tok tok."
"Mbak Rina, Mbak Sarla!" panggilnya.
Namun, tidak ada Jawaban sama sekali. Anwar dan Vero pun kembali berpandangan merasa ada yang aneh.
"Coba di ketuk kembali pintunya!" ucap Anwar.
Vero lalu kembali mengetuk pintu kamar itu.
"Tok tok tok."
"Mbak Rina, Mbak Sarla! Apa kalian sedang berada di kamar?" panggilnya kembali.
Namun, lagi-lagi tidak ada jawaban apapun yang terdengar.
"Mas, kok nggak ada yang menjawab?" tanya Vero lirih.
"Apa mungkin mereka sedang keluar barusan?" ujar Anwar berargumen.
Vero mencoba menyentuh gagang pintu dan membukanya, tapi ternyata pintu masih terkunci dari dalam.
"Tidak, mereka tidak keluar, pintunya masih terkunci dari dalam," ujarnya mulai was-was.
Vero kembali mengetuk pintu sambil memanggil-manggil ke dua wanita itu. Namun, tetap tak kunjung ada jawaban. Akhirnya, Anwar mendobrak pintu kamar sebanyak tiga kali, lalu ... pintu itu akhirnya terbuka.
"Aaaaaaa."
Vero langsung berteriak histeris melihat tubuh temannya yang sudah menjadi mayat berlumuran banyak darah. Vero tak kuat menyaksikan kejadian sadis di hadapannya itu, ia pun pingsan dan terjatuh ke lantai. Melihat Vero pingsan, Anwar langsung membawa dan membaringkan tubuhnya ke atas sofa. Ia pun kemudian menelepon polisi.
Tak berapa lama kemudian, polisi datang ke rumahnya Anwar. Mereka langsung memeriksa kamar dimana Sarla dan Rina tewas. Setelah selesai melakukan pemeriksaan, mereka lalu membawa jasad kedua wanita itu kemudian memberikan garis batas polisi di depan pintu kamar. Sesudah itu para polisi itu pun pergi meninggalkan rumahnya.
beberapa jam kemudian Vero terbangun dari tidurnya. Tampak Anwar tertidur dalam posisi sedang duduk di sebelah menemaninya. Ia memandangi wajah Anwar yang sedang tertidur pulas. Selang beberapa menit kemudian, Anwar terjaga dan melihat Vero sedang memandang wajahnya.
"Bu Vero, sudah bangun?"
"Apa yang telah terjadi, Mas? Apakah aku tadi sedang bermimpi?" tanyanya dengan nada lemah.
"Apakah mbak Rina dan mbak Sarla benar-benar telah tiada?" tanyanya kembali dengan serius.
Mendengar pertanyaannya Vero itu, Anwar hanya diam saja. Vero lalu bangkit dari tidurnya dan pergi ke kamar tempat Rina dan Sarla tewas. Tampak garis polisi di depan kamar itu. Anwar datang dan berdiri di belakangnya.
"Apa yang terjadi, Mas? Siapa yang melakukan semua ini?" tanya Vero sambil meneteskan air mata.
"Katakan, Mas! Siapa pelaku dari semua ini? Kenapa mereka sampai terbunuh di rumah kita? Katakan! Katakan, Mas!" ujarnya sambil memegang kedua kerah baju Anwar.
Vero menangis dan bersandar di dadanya. Anwar lalu memeluk Vero berusaha untuk menenangkannya.
"Mas, apakah polisi sudah mengambil hasil rekaman CCTV?" tuturnya.
"Sudah. Tapi, Mas telah menyalin video rekaman itu sebelum menyerahkannya ke polisi," jawabnya.
"Kalau begitu, ayo kita lihat bersama, Mas!" pinta Vero.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments