Sesaat setelah ia mendengar apa yang aku katakan. Mirai si gadis bermata biru seketika terbelalak dan menutupi wajahnya dengan tangan.
"Ada apa, Mirai?" tanyaku. Entah mengapa aku merasa bersalah menanyakan persoalan tadi.
"Maaf, aku tak bermaksud menyinggung. Tapi Mirai kamu itu berasal dari klan Fuctur ya. Klan yang memiliki mata fucturiesis dan dapat melihat masa depan orang lain." Resha dengan tidak berperasaannya ikut menimpali.
"Hei, kalian itu!" seru Raisa yang ingin membela Mirai.
"Ma, maaf," kataku berbarengan dengan Resha.
Mirai menggelengkan kepalanya lalu menunduk.
"Tidak apa-apa. Maaf, tadi itu hanya reaksi spontanku," kata Mirai yang kemudian diam hingga beberapa menit.
"Ja, jadi .... Baiklah biar aku ceritakan lebih rinci tentang diriku." Mirai kemudian meluruskan cardigan yang ia pakai. Sedikit menepuk-nepuknya lalu duduk ala Jepang[1].
"Namaku adalah Mirai Fucturieces. Orang-orang biasa memanggilku dengan nama Mirai. Usiaku saat ini masih 17 tahun. Dan, aku berasal dari clan fuctur yang berada tak jauh dari kota Flamesea.
"Klan fuctur yang kumiliki ini termasuk klan yang jarang menampakkan diri. Mungkin jika orang lain datang di kawasan klanku, maka kalian hanya melihat sebuah jejeran rumah pedesaan yang tampak biasa.
"Tapi jangan kira kalau klanku itu adalah klan yang tak terkenal. Klan yang kumiliki adalah klan yang memiliki kemampuan untuk melihat masa depan dari orang lain. Ya, klan ini layak juga disebut dengan klan peramal karena kemampuannya itu.
"Hahaha ..., Ah. Yah, andai saja klan itu terus ada sampai saat ini. Mungkin tak 'kan ada lagi yang perlu kukhawatirkan.
"Tapi semenjak saat itu, di mana perang perebutan kekuasaan wilayah ras human sedang panas. Klan Fuctur yang aku miliki seketika lenyap dari muka dunia ini.
"Wilayah Utopia, Si Raja Gila itu, mengetahui tempat keberadaan dari klanku. Dan, si Raja Gila itu sepertinya sudah lama mencari klan yang memiliki kemampuan melihat masa depan."
Mirai kembali merenung.
"Andai dulu aku tak berada di luar dari wilayah klanku. Mungkin aku bisa tenang bersama dengan penduduk klanku. Desa yang ramah, indah, dan .... Sekarang sudah menjadi kumpulan debu yang berterbangan. Dan tanah kosong yang dipenuhi rumput."
Raut wajah Mirai seketika berubah kembali menjadi lebih suram. Seluruh tubuhnya bergemetar.
"Asal kalian tahu. Jika kalian bersamaku, kalian bisa saja mati."
Mati? Apa mungkin karena dia selamat, sekarang dia diincar oleh si Raja Gila.
"Hei, apa maksud perkataanmu itu!?" Resha berdiri dan terlihat marah.
"Hahaha, tenanglah Resha." Pak Opin menarik kembali Resha untuk duduk dipermukaan tanah berisikan rumput dan dedaunan hutan.
"Bukankah kalian telah melihatnya sendiri. Para goblin itu mengincar nyawaku, ia pasti utusan dari si Raja Gila. Jika kalian terus bersamaku, masalah seperti tadi akan terus ada. Bahkan ini mungkin masih belum ada apa-apanya.
"Hahahaha aa hahahaha...." Mirai tertawa seakan perasaannya kini bercampur aduk. Ia menutup kembali wajahnya dengan kedua tangannya. Sesekali ia juga mengacak-acak rambutnya.
"Keluarga, teman, para penduduk, bahkan desa maupun kota. Orang-orang yang berada disekitarku tak ada yang tersisa, semuanya akan mati. Aku sudah tak memiliki tempat lagi.
"Sebaiknya kalian juga segeralah meninggalkanku. Akhir-akhir ini mereka mulai bergerak aktif lagi, kota yang dinamakan Flamesea pun kini sudah menjadi abu."
Ko, kota Flamesea?! Mendengar perkataan itu aku merasa sesak. Aku teringat akan kejadian tersebut, itu benar-benar di depan mataku.
Jujur, aku menghembuskan napas yang begitu berat setelah mendengar kata demi kata yang diucapkan Mirai. Begitu banyak hal yang pasti membuatnya menderita sampai sekarang. Aku merasa iba dengannya.
"Tunggu. Mirai, kamu ... arah tujuan kamu saat ini ke mana?" tanyaku.
"Hei pengawas! Jangan begitu naif." Resha yang telah duduk sila kembali ingin berdiri, tetapi ditahan oleh pak Opin.
Sedangkan Mirai dengan matanya yang biru langit seketika bercahaya dengan khas warnanya itu sendiri, ia menatapku dengan heran dan penuh kekhawatiran.
"A, apa!? Bukankah aku sudah bilang tadi ...."
"Aku bertanya, kamu mau ke mana?" Aku berdiri, dengan cepat tak membiarkan Mirai menyelesaikan kalimatnya.
Raisa yang duduk di samping Mirai, kini menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berkata seakan pasrah.
"Hadeeh, Dayshi Dayshi."
Mirai sendiri kini kembali mengunci mulutnya. Ia kembali merenung, entah apa yang ia renungi, tapi mungkin itu adalah sesuatu yang ingin ia hindari seperti hal-hal yang buruk.
"Hahaha, ada apa dengan kalian semua ... Resha," ucap pak Opin yang kemudian menatap Resha seakan memberikan sebuah kode kepadanya.
Resha sendiri kemudian menjawabnya dengan lesu. "Aaah, baiklah."
Sampai sekarang Resha sepertinya masih suka bersikap serius. Bahkan hal-hal kecil saja seperti persoalan "makan dulu atau tidak" ia tak menganggapnya remeh. Ya, mungkin seperti itulah sifat Resha.
"Tujuan? hahaha, aku sudah tak memiliki tujuan. Satu-satunya tujuanku sekarang ... sudahlah, aku tak ada tujuan lagi selain dendamku kepada si Raja Gila, "
Mirai, perkataannya benar-benar terdengar ambigu.
"Jika kau tak memiliki tujuan, ikutlah dengan kami. Dan, jika kau dendam kepada si Raja Gila, tetaplah ikut dengan kami."
Tak bisa dipungkiri kalau pada akhirnya kami juga akan melawan si Raja Gila, dan dia juga mengingatkanku pada hal yang aku takuti. Rasa iba, bukan. Lebih tepatnya ucapanku tadi adalah perasaan simpatiku kepada dirinya.
"Mirai, ingat meski kita nantinya akan menjadi rekan seperjalanan. Aku akan mewaspadaimu," ujar Resha.
"Mirai, tak usah dengarkan perkataan Resha dengan serius. Kamu sekarang adalah rekan kami. Dan, kami sekarang adalah teman kamu. Jadi, tak usah khawatir dengan persoalan si Raja Gila.
"Karena cepat atau lambat kita juga akan menghadapinya, meski kamu sebelumnya tak ada. Kita juga pasti akan melawan si Raja Gila. Untuk sekarang tenangkanlah dirimu."
Raisa juga telah setuju dan bahkan membujuk Mirai agar menjadi rekan kita. Pada akhirnya juga Mirai dengan senyum tulusnya kini menjadi rekan seperjalanan kami.
Sekarang kami mempersiapkan diri untuk melanjutkan perjalanan. Semua item dibagi rata dan dimasukkan ke inventory masing-masing. Meski item ini tak berguna tetapi harga jualnya pastilah mahal mengingat ras goblin berasal dari Underworld.
Kereta kuda kini sudah tak bisa dipakai karena kondisi keretanya hancur parah, penuh anak panah, kain sobek ke mana-mana, dan penariknya pun terkapar dengan darah.
bahan makanan juga sudah semakin menipis. Hal ini disebabkan karena pola makan kita juga boros saat di perjalanan, dan serangan Goblin tadi itu benar-benar mengurangi bahan makanan yang ada di dalam kereta.
Lalu sekarang apa? Ya, sekarang kita akan pergi mencari tempat untuk bersinggah. Tapi, ada satu hal lagi yang kita lupakan. Peta, di tengah hutan seperti ini sangat sulit untuk berkelana tanpa adanya sebuah peta 'tuk melihat sebuah area.
Kompas? Memang ada yang punya, tidak ada. Dalam perjalanan ini kita hanya terus mengandalkan pak Opin sebagai petunjuk arah jalan.
Dan, sekarang pak Opin mengatakan bahwa, "hahaha, kalian tahu, aku hanya mengatahui jalan secara acak dari mana yang telah aku tandai. Desa, kota, kerajaan, aku tak bisa melacak tempat seperti itu.
"Dan perlu kalian ketahui bahwa tempat orang yang akan kita cari ini berada di tempat yang tak berpenghuni dan ia seakan berada diantara dua dimensi yang berbeda. Jadi mustahil juga kalau kita tetap mengikuti jalan yang aku tunjukkan kan."
Terus sekarang apa yang akan kita lakukan? Tanpa adanya peta, perjalanan hanyalah seperti sebuah labirin besar. Belum lagi akan kebutuhanan pangan kita, yang mungkin dalam sekali makan itu sudah tak ada yang tersisa.
Hal ini membuat kami semakin lipu, dan kami tak tau arah yang akan kami tuju sebab penglihatan hanya melihat sekawanan hutan rimbun dan sebentang tebing yang menjulang.
"Hahaha, tamatlah riwayat kalian!" seru pak Opin.
"Bodoh! Kamu juga bakal tamat tahu," Sahut Raisa yang sudah berjalan beberapa meter bersama dengan Mirai. Sedangkan aku, Resha dan pak Opin menyusul dari belakang.
"Ma, maaf. Sebenarnya di sekitar sini tampaknya ada sebuah desa. Jika kalian ingin mengetahui letak desa tersebut, sebaiknya biarkan aku yang memimpin jalannya," kata Mirai yakin.
Tak ada yang menolak, kami semua mengikuti arah di mana Mirai berjalan. Masuk menulusuri pedalaman hutan, terus ke dalam, hingga terlihat sebuah pemandangan alam bukit terbentang luas berisikan pepohonan yang tinggi dan lumayan renggang.
Ouch, ini masih awalnya bung. Masih ada ratusan meter untuk melihatnya lebih jelas. Dikatakan oleh Mirai bahwa desa yang akan kita kunjungi adalah desa Rose. Desa yang penuh akan mawarnya.
Siang menjadikan sore begitu cepat, langkah kaki terpaksa ikut dipercepat. Keringat dingin pun terasa begitu jelas. Angin di sekitar sini sungguh begitu sejuk.
"Sebentar lagi!" Mirai menyemangati kami, kaki mungkin sudah terasa keram. Akibat pertarungan tadi, kami menjadi semakin cepat letih, haus, dan lapar.
"Persediaan makanan apakah sudah habis?" tanyaku. Berjalan di belakang dekat Raisa yang membawa tas besarnya yang berisikan obat-obatan.
"Lima hari tanpa singgah dengan pola makan tiga kali sehari, bagaimana mungkin masih ada yang tersisa." Resha berjalan di garis depan, memimpin jalan bersama dengan Mirai.
Sudahlah, bukannya mereka yang terlalu rakus. Kalau diriku sih, makanan pasti bertahan hingga sebulan ... rasanya aneh ya, aku seperti bukan manusia. Tidak merasakan lapar bahkan haus sekali pun itu.
Akan tetapi, bukannya lebih baik seperti ini, kondisi badanku pun juga tak berpengaruh tuh. Yaa, Dari pada itu, sepertinya jarak kita ke desa Rose sudah tak jauh lagi. Rasa lapar mereka pasti akan segera terobati.
Lihatlah, pemandangan tebing juga telah tiada, kini pemandangan telah berubah. Di tengah hutan terdapat sebuah mawar yang membentang luas menghiasi permukiman rumah para penduduk.
Di jalan masuk tak ada pagar penghalang, melainkan himpunan mawar berwarna warni sebagai gantinya, indah dan terkesan megah.
Masuk ke dalam terlihat para penduduk berpakaian rapi. Yang pria mengenakan setelan blazer hitam dengan kameja putih di dalamnya, terdapat pula hiasan mawar di samping kerahnya.
Yang wanita mengenakan gaun besar berbentuk seperti bunga mawar dengan sepatu hak tinggi yang serasi dengan warna gaunnya.
Tiap penduduk sepertinya mengenakan warna mawar yang berbeda rupa, ada sepuluh warna jika diperhatikan lebih masuk ke dalam. Putih, kuning, merah, pink, ungu, hijau, cream, peach, hitam, bahkan biru, itulah warna mawar yang menghiasi desa ini.
...***...
Sekedar informasi
Duduk al Jepang, Seiza, atau biasa juga disebut duduk berlutut. Posisi duduk di mana lutut berada di dasar (lantai, dll) dengan pantat berada di bagian atas kaki dan ujung kaki harus rata dengan dasar (lantai, dll.)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Ashidart
1614
2021-01-26
0
IrisBlue
Mantap
lanjut thor
Salam dari "Ruler of Night"
2020-12-02
2