Seperti ada yg kurang jelas dari surat ini ... sudahlah, mungkin itu tidak terlalu penting. Notifikasi muncul lagi dari hologramku, tertulis bahwa aku harus kembali lagi ke kota Flamesea menemui Dinata.
Lagi-lagi misi yang melelahkan dimulai.
Aku kemudian pergi ke kota flamesea dengan menunggangi kuda yang diberikan oleh pak Opin. Walau awalnya aku terloncat-loncat hingga terbang ke sana sini, sampai tiga jam itu berlangsung, akupun sudah dapat menguasai kuda tersebut dan mulai berangkat ke kota Flamesea.
...Di tengah perjalanan....
Aku sudah sampai pada pertengahan hutan. Hutan ini begitu gelap, seberkas cahaya matahari pun tak tembus ke dalam hutan ini. Makin ke dalam hawa dinginnya semakin terasa tajam.
Sebelumnya aku juga pernah melewati jalan ini bersama lima orang para master dari kota Flamesea ke kota Boas. Tapi, sepertinya aku sudah mulai tersesat. Rasanya, aku memutari area hutan ini.
Kudaku semakin melambat. Aku kemudian turun dari tunggangan kudaku dan berjalan mencari tempat yang memiliki rumput dan air seperti sungai atau danau. Masih memutari hutan dan lagi aku masih kembali ke titik awal.
Aku kemudian berpikir bahwa aku harus menandai jalanku ini dengan menggores pohon menggunakan batu. Kupukullah satu persatu pohon hingga berbekas. Ternyata benar, lagi-lagi aku memutari hutan ini. Aku bisa melihatnya dari tanda yang kubuat.
Gelap, ini semakin gelap. Sepertinya matahari semakin turun di ufuk barat. Hutan yang tadinya sudah gelap, kini semakin gelap mencekam. Kudaku yang tadinya jinak, kini menjadi panik. Aku yang memegang tali kudaku, kini sudah tak dapat kutahan karena kuatnya tenaga kuda yang memberontak lari.
Sial, seandainya aku tadi meminta pengawal untuk mengantarku pergi ke kota Flamesea, mungkin tidak akan menjadi seperti ini. Namun apa daya, penyesalan itu selalu ada di akhir.
Aku yang merasa sendirian di hutan yang begitu gelap ini, perlahan juga mulai panik, pikiranku mulai ke mana-mana. Beberapa kali aku lari karena rasa takutku terhadap kegelapan hutan ini. Hingga pada akhirnya aku terjatuh lemas karena letih.
“Haah huh, apa apaan ini, aku sama sekali tidak bisa melihat apa-apa. Seseorang tolong aku!” aku merasa sangat lelah, saking lelahnya aku berteriak kecil berharap ada orang yang mendengarkannya.
Aku berusaha bangkit kembali.
“Shi tenang shi. Pasti ada cara, jangan panik, pasti ada cara!” aku memegang kepalaku dan berusaha menenangkan pikiranku.
Baru pertama kalinya aku merasa begitu panik di dunia fantasi ini. Bagaimana tidak, aku sudah mengetahui rahasia tentang dunia ini. Walaupun ragaku ada di real world, tetapi jiwaku ikut dalam mimpi yang bukan sekedar mimpi belaka.
“Tenang pokoknya aku harus tenang.” Aku duduk sila di tanah, mencoba berpikir apa yang harus kulakukan di tengah kegelapan ini. Hingga akhirnya aku berpikir untuk mencari batu atau kayu kering dan membuat perapian.
Kucari beberapa ranting kering dan batu dengan meraba-raba permukaan tanah. Terkumpullah beberapa batu dan ranting-ranting kecil serta rumput-rumput yang kurasa kering dan dapat dijadikan bahan bakar perapian ini.
Kubersihkan permukaan tanah ini dengan dahan kayu yang kupatahkan dan kujadikan sapu dari ranting-rantingnya yang berisikan daun. Setelah itu, aku mengumpulkan bahan yang telah aku sediakan ke permukaan tanah yang telah aku bersihkan.
Ctakk ... ctakk
Dua batu aku tumbukkan hingga tercipta suatu percikan api kecil dari batu tersebut. Sayangnya percikan ini terlalu kecil untuk membakar rumput-rumput kering dan ranting kayu ini. Karena gagal aku melakukan cara kedua yaitu memutar ranting kayu ke dahan kayu. Namun sayang ini juga gagal karena aku tidak mendapatkan dahan kayu.
Aku mulai merasa frustasi dan putus asa. Aku duduk terpaku sendirian di tengah hutan. Meratapi nasibku yang masih muda ini dibawah kegelapan yang sangat pekat.
Tidur? Aku tidak bisa. Hal yang bisa membuatku tidur di dunia ini hanyalah ketika tak ada rasa gelisah ataupun beban di kepalaku dan menikmati kehidupan di sini.
Beberapa jam kemudian
Sebuah cahaya kecil tampak dari kejauhan. Aku yang melihat itu langsung terbangun dari ratapan nasib. Kudekatilah cahaya itu.
Cahaya itu semakin terlihat jelas. Aku pun sampai pada cahaya itu. Ternyata cahaya itu berasal dari sebuah lentera yang tergantung di dahan pohon pendek.
Sreet ... sreet ....
Suara gesekan kayu terdengar di telingaku. Kepalaku seketika menoleh penasaran. Kulihatlah seorang anak perempuan, wajahnya tembem seperti anak kecil, rambutnya hitam pendek sampai seleher, kalau dilihat mungkin umurnya sekitar 14 tahun ke bawah.
Ia tengah duduk sambil memainkan kayunya yang digesek ke kayu yang lain, ia sangat fokus hingga tak mengetahui diriku yang berdiri di sini.
Kalau dilihat di depannya terkumpul ranting kayu dan dedaunan kering. Pada bagian tepinya sangat bersih, satu rumput pun tidak terlihat, hanya tanah bersih berwarna coklat kejinggaanlah yang terlihat. Sudah pasti anak ini akan membuat perapian.
Aku terkekeh hingga tak sadar aku menyindirnya.
“Loh, kok bocah kecil ada di sini. Mana perempuan lagi,” kataku sambil mendekati bocah itu.
Merasa tersindir akan ucapanku, bocah yang tadinya fokus memutar ranting kayunya mulai memberhentikan kerjaannya. Ia berdiri dengan raut muka yang siap menerkamku kapan saja, sebelah pipinya mulai mengembang, alisnya mulai mengernyit seperti tanduk kerbau.
“Bocah, bocah. Apanya yang bocah hah! Aku ini memang punya tubuh kecil, tapi aku lebih dewasa daripada kamu. Datang-datang langsung nyindir orang, mana gak salam lagi. Gak tau sopan santun kah, hah! Lagian kamu ini datang dari mana sih?!” Murka bocah itu sambil menatapku dengan tajam bagai kucing yang melihat tulang ikan.
“A ... ah maaf tadi aku kaget liat gadis sepertimu ada di tengah hutan yang sangat gelap ini,” rayuku agar bocah gadis itu tidak tambah marah. Aku tak mau ia akan mengusirku ke dalam hutan seram tadi.
“Bagus, aku maafin, tapi yang kutanya bukan itu. Kamu ini datang dari mana? Kok bisa-bisa ada di tengah hutan ini sih. Kesesat kah?!” bocah gadis itu masih menatap diriku dengan tajamnya. Refleks kedua tanganku naik hingga sebatas dadaku.
“ Eh, jangan marah dong. Jadi begini ....” Tak mau masalah menambah, aku pun menjelaskan kejadian tadi kepada bocah itu.
“Oh, begitu kah. Heh ternyata kamu itu bodoh ya,” sindir bocah itu. Mata sebelahnya sengaja dikernyitkan dan senyumnya adalah senyum sebelah mengolok, Ia berseringai.
“Iya aku memang bodoh. By the way namamu siapa,” tanyaku yang ingin mengganti pembicaraan.
“Aku? Namaku Raisa Nur Ameliah panggil aja Raisa,” Raisa kembali duduk dan memutar rantingnya.
“Raisa yah. Kalo aku Dayshi Andrian bisa dipanggil Dayshi. Ngomong-ngomong Raisa ngapain di tengah hutan gini?”
“Sebenarnya Raisa juga kayak kamu ....”
Belum selesai ia berbicara aku langsung memotong pembicaraannya
“Tersesat di hutan?”
Tanyaku berniat untuk membalas ejekannya yang tadi.
“Cih, Dayshi ini suka motong pembicaraan orang yah!” cela Raisa yang gampang naik darah, kemudian melanjutkan pembicaraannya, “Raisa sama kayak Dayshi yang juga datang dari dunia luar.”
“Dari dunia luar?”
“Aduuh, iya dari dunia luar. Luar dari dunia ini, dunia nyata,” gemas Raisa hingga menekan nada suaranya dan memutar rantingnya dengan kecepatan tinggi seperti dinamo.
Trck..
Bersamaan dengan nyalanya api, aku terkejut akan pembicaraan ini. Tubuhku dengan sendirinya berdiri dan menangkap tangan manis Raisa. Mataku membulat penuh dengan harapan.
“Bagaimana bisa kamu mengetahuiku bahwa aku dari dunia nyata juga, kamu juga kok bisa ada di dunia ini. Kita satu mimpi kah?” seru aku kepada Raisa.
“Lepasin tangan Raisa dan duduk manis di sana,”
Raisa melotot ke arahku lalu ia pergi ke arah pohon yang berada di sampingku, matanya yang hitam kemudian menatap mataku lalu menatap ke arah pohon yang terdapat lentara, seperti kode bisu yang menyuruhku untuk duduk di bawah pohon itu.
“Dah diam, dengarkan cerita Raisa,”
Ucap Raisa sembari duduk dan bersandar di pohon sebelahku.
Di bawah pohon yang rimbun dan di malam yang begitu sesak. Raisa pun mulai menceritakan kisahnya di hadapanku. Akupun terduduk menatapnya untuk menyimak. Siapa tahu ada informasi yang kudapat dari ceritanya.
Raisa yang mulai bercerita di bawah pepohonan malam yang sesak. ...
...~Raisa POV~...
Flashback....
Di dunia nyata Raisa adalah anak yang terlantar. Raisa tinggal di kolong jembatan bersama dengan kedua adik Raisa yang masih berumur 10 dan 13 tahun.
Walaupun umur kami berbeda jauh. Dari ketiga bersaudara, Raisa lah yang paling pendek dan terlihat seperti anak-anak. Meskipun begitu, Raisa sebagai kakak tetap berusaha keras untuk mendapatkan makanan kepada adik-adik Raisa. Raisa juga tetap tegas kepada kedua adik Raisa untuk selalu bekerja keras.
Hingga pada suatu ketika Raisa pergi ke sebuah tempat yang membuat Raisa sangat tertarik. Tempat itu adalah sekolah. Sekolah itu sangat berbeda dari yang lainnya, sekolah itu memiliki ukuran yang sangat luas dan memiliki berbagai jenis tanaman di dalamnya.
Tapi yang paling menariknya lagi, ketika Raisa mengintip ke dalam, ternyata sekolah itu sangat bersih dari dedaunan bahkan sampah sekecil bungkusan permen.
Para murid yang berada di dalamnya pun terlihat berpakaian rapi, Raisa juga melihat mereka sangat bahagia dalam sekolah itu.
Mulai hari itu pun, Raisa sangat berkeinginan untuk bersekolah. Setiap hari Raisa bekerja ke sana-sini dari jalanan hingga ke tempat sampah. Raisa juga terkadang belajar sendiri dan bermain kata-kata bersama kedua adik Raisa.
Di saat yang sama ketika Raisa sedang asik mengintip sekolah itu, Raisa melihat beberapa buku yang sudah tidak terawat di tempat pembuangan sampah yang berada di luar pagar dari sekolah tersebut. Tanpa pikir panjang dengan cepat Raisa pergi ke pembuangan sampah tersebut.
Terlihat banyak buku yang sudah kusam serta beberapa kertas lain berupa soal-soal dan makalah di dalam tempat sampah itu, dan yang paling menarik perhatian Raisa adalah buku-buku sains yang masih kelihatan segar tanpa ada coretan.
Raisa memungut semuanya karena merasa sangat tertarik, Raisa membawa pulang buku dan kertas itu.
Sehingga, waktu luang Raisa tiap hari adalah belajar dan belajar, membaca terus membaca. Inilah yang menjadi hobi Raisa yang terkadang Raisa hanyut dalam dunia Raisa sendiri.
Tak butuh waktu yang lama Raisa membaca hingga menghabiskan seluruh buku tersebut. Raisa tiap hari datang ke sana untuk menunggu tempat sampah penuh dengan kertas ataukah buku-buku yang sudah rusak dan kusam.
Namun sayang, Raisa sama sekali pun tak pernah mendapatkan buku lagi, apalagi buku yang seperti buku sains itu yang masih dalam keadaan terawat.
Raisa ingin sekali untuk bersekolah, belajar dan membaca kapan pun itu dengan sesuka Raisa. Raisa juga ingin menjadi orang yang berguna dan membantu adik-adik Raisa.
Memasak makanan, membuat segala jenis sampah menjadi uang serta pakaian yang cantik, dan mengetahui sains yang menakjubkan seperti yang ada di buku-buku tersebut.
Raisa selalu berpikir akan hal itu. Hingga pada malamnya, ketika Raisa sedang duduk menjaga adik-adik Raisa yang sedang tidur, Raisa berpikir seperti itu lagi dan sesosok pria yang berpakaian serba hitam datang kepada Raisa.
“Bocah, apakah kamu sangat suka belajar?” pria itu bertanya kepada Raisa. Ia berdiri di hadapan Raisa. Raisa yang merasa aneh langsung berdiri dan meregangkan tangan Raisa untuk menjaga adik-adik Raisa.
“Siapa kamu?! Bocaah bocah, Raisa ini bukan bocah, jangan lihat dari penampilanku saja. Walaupun Raisa terlihat bocah, Raisa ini sudah dewasa tahu. Apa mau mu di sini. Ingin memalak kami atau merebut kebebasan kami!?” itulah yang Raisa katakan kepada pria aneh itu.
“Tenang lah tenang. Maaf sudah mengira kamu ini bocah. Jadi aku datang kesini ingin hmm ...” Dan tiba-tiba pria itu menjeda pembicaraan Raisa, kemudian kembali lanjut. “Ah tidak, aku cuma kebetulan lewat.”
“Lewat? Kenapa jalan di bawah kolong jembatan? Bukannya ada jalan yang lebih baik?” Raisa heran dan Raisa menaikkan sebelah alis.
Kemudian pria itu menjawab, “ah, aku Cuma mau jalan-jalan, lewat kolong jembatan pun kan gak masalah.”
Raisa pun jadi was-was. Karena itu Raisa mengatakan, “ya sudah lah, pokoknya cepat pergi dari sini. Kamu mengganggu kami, awas kalau adik Raisa sampai terbangun.”
“Baiklah aku akan pergi. Nih ambil,” Pria itu melemparkan sebuah botol yang berisikan air kepada Raisa, lalu pria itu mengatakan, “tuh untukmu gratis. Kusarankan minum sebelum tidur biar nyenyak tidurmu.” Dan dia pergi, kembali naik ke atas jembatan.
Raisa yang merasa pria itu sudah tidak ada kemudian duduk kembali di samping adik-adik Raisa. Karena merasa haus, Raisa meminum air yang diberikan pria tadi tanpa ragu-ragu.
Seperti Dayshi, Raisa saat tertidur juga masuk ke dalam mimpi dan melihat cahaya putih yang meluas dan sangat terang, dan di saat itu pula Raisa terbangun di dunia fantasi ini.
Dunia di mana Raisa yang baru pertama kalinya melihat Padang rumput nan luas seperti di dalam buku bergambar yang pernah Raisa baca.
Raisa yang terbangun di dunia ini segera duduk merasakan perasaan bahagia bercampur dengan kesedihan. Bahagia karena bisa melihat dunia yang baru dan sedih juga khawatir karena tidak bisa melihat kedua adik Raisa.
Karena Raisa adalah orang yang selalu optimis dalam menghadapi sesuatu, Raisa dengan cepat menghilangkan hal yang merasa tidak penting dan memikirkan sebab apa yang membuat Raisa memasuki dunia ini.
Sebuah suara terdengar di telinga Raisa. Suara itu mengatakan bahwa Raisa harus bisa menyelesaikan semua tantangan yang diberikan agar Raisa bisa keluar dari sini.
Dan jika selama seabad tantangan yang ada di dunia ini tidak bisa diselesaikan, maka pikiran Raisa di dunia nyata akan menjadi tidak waras dan jiwa Raisa tetap tinggal di dunia ini hingga Raisa menyelesaikan seluruh tantangan yang ada.
Raisa juga diberkahi kekuatan yang aneh ketika masuk ke sini. Yaitu penglihatan unsur [Eye Elements]. Raisa dapat melihat seluruh unsur-unsur apa saja yang terkandung dalam pandangan Raisa. Ketika Raisa memang merasa memerlukannya, Raisa dapat mengaktifkannya dan menonaktifkan kekuatan itu.
Seperti udara, Raisa dapat mengetahui udara apa saja yang berada di sekitarnya apakah itu Oksigen, Karbon dioksida, dan unsur lainnya. Dalam penglihatan Raisa, itu adalah sebuah tulisan yang melayang.
yang dia lihat adalah tulisan singkat dari sebuah unsur seperti O2 yang tampak nyata dilihatnya, kalau unsur itu padat maka yang Raisa lihat adalah tulisan yang menempel di benda tersebut.
Begitulah cerita Raisa yang kemudian menjalankan misi dengan cepat karena pengetahuan Raisa yang cukup luas untuk membantu diri Raisa sendiri.
Hingga suatu hari, Raisa mendapatkan misi untuk membuat obat dan mencari bahan obat-obatan itu di hutan perbatasan kota Flamesea dan kota Boas.
Dan di sinilah Raisa bertemu dengan Dayshi. Raisa juga mengetahui tentang Dunia ini bahwa ini bukanlah sekedar mimpi melainkan dunia nyata. Semua itu Raisa tahu karena Dayshi menjelaskan ceritanya secara detail saat datang ke hutan ini.
...•••...
Sekedar informasi.
Raisa tak biasa menyebut aku kamu, tetapi ia lebih terbiasa menggunakan panggilan nama. Terkecuali jika Raisa sedang marah atau memiliki emosi lain yang membuatnya memakai aku kamu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 117 Episodes
Comments
Noname
menarik si MC punya kemampuan matematika sedangkan si Raisa punya kemampuan fisika jadi mereka mendapatkan kemampuan dari hobi atau keinginan kuat untuk mempelajari sesuatu toh... benar benar langkah novel kayak gini semangat Thor gw dukung terus lu 🗿👍
2022-03-19
0
Noname
kepalaku sakit setiap melihat angka-angka itu haduhhhh🗿
2022-03-19
0
valmira alknight
aaah begitu baca flashback nya raisa ngebuat aku merasa beruntung bisa ngerasain Yang namanya belajar disekolah:)
btw nama lengkapnya si mc bikin aku keinget sama mantanku, namanha mirip soalnya:v
2021-06-06
2