Sepulang sekolah, Steven hanya memperhatikan Clara dari jauh saat gadis itu berjalan pulang ke asrama bersama teman-temannya. Steven bisa melihat gurat sedih di wajah itu meski sikapnya tidak berubah. Steven meraih ponselnya dan mengiriminya pesan. Dari jauh ia melihat Clara membuka pesannya, namun dia tidak membalas. Pada akhirnya Steven menelponnya.
"Lihat ke arah jam 6 ... aku menunggumu di sini." kata Steven sebelum memutus sambungan.
Clara menghentikan langkahnya untuk menoleh ke arah yang disebutkan Steven. Teman-temannya tidak bertanya karena mengerti setelah mengikuti pandangan Clara. Clara berjalan pelan menuju Steven, bisa dilihat langkahnya sedikit ragu.
"Ada apa dengamu?" tanya Steven saat mereka sudah duduk di sebuah bangku panjang di taman belakang sekolah.
"Kenapa denganku?" tanya Clara balik dengan ekspresi dibuat sebiasa mungkin.
Steven menatapnya, mencoba memahami. Namun otak jeniusnya kesulitan, ia tampak frustasi sendiri. Dalam hal apapun ia tidak pernah kesulitan, tapi kali ini dia sungguh merasa sangat bodoh karena tidak mengerti.
"Kalau tidak ada lagi ... aku mau ke asrama." ucap Clara dan perlahan bangkit berdiri.
"Apa mungkin kamu tidak mempercayaiku?" tanya Steven tiba-tiba.
Clara berbalik dan menatapnya. Ia menggeleng pelan sebelum duduk kembali. Mereka masih saling menatap satu sama lain. Mencoba memahami masing-masing.
"Bukankah kamu yang tidak mempercayaiku?"
Steven seperti tertohok dengan kalimat itu meskipun wajahnya datar-datar saja. Dia mengalihkan pandangannya sesaat ke arah lain sebelum terkekeh sambil menggaruk alisnya dengan jari karena memahami kebodohannya yang baru tahu penyebab sikap Clara yang begini.
"Clara, ada hal-hal yang sebaiknya tidak dikatakan. Ada hal-hal yang lebih baik tidak diketahui meskipun kita dekat, Ini untuk kebaikanmu."
Clara menunduk, ia akhirnya memahami. Steven bukanlah sosok yang mudah terbuka pada siapapun. Bukan tidak menghargai dirinya seperti yang ia pikirkan sebelumnya, namun karena alasan yang Clara tidak ketahui.
"Kalau begitu ayo mulai saling kenal dengan baik terlebih dahulu," kata Clara, memutuskan akan mencoba memasuki dunia Steven pelan-pelan.
"Kita sudah kenal satu sama lain." sahut Steven bingung.
"Bagaimana dimuali dari pertanyaan ini, pakah kamu memiliki saudara?"
Steven menatapnya lama sebelum menjawab, menebak apa yang coba dilakukan gadis yang selalu membuatnya resah ini.
"Jawab saja," desak Clara.
"Anak tunggal."
"Kalau aku memiliki dua adik. Satu laki-laki dan satu perempuan. Aku anak pertama. Selanjutnya ... apa hobimu?"
"Tidak ada."
"Tidak mungkin, sebut satu kegiatan kesukaanmu," paksanya.
Steven berpikir sesaat, dia menggeleng lagi karena memang tidak ada yang benar-benar ia sukai. Membuat Clara cemberut. "Mana ada orang tidak memiliki hobi, itu sangat aneh. Kalau begitu ... akhir-akhir ini kegiatan yang kamu suka apa?"
Dengan senyuman tipis dibibirnya, Steven menjawab, "Menatapmu, mengganggumu dan mengawasimu."
Clara terdiam dengan wajah memerah. Steven semakin melebarkan senyumnya. Karena gemas ia tidak bisa menahan untuk tidak mengelus kepalanya dan mencubit pipinya.
"Apaan! itu mana bisa disebut hobi. Pertanyaan lain! Hmm ... apa sebelumnya kamu punya seseorang__"
"Kamu yang pertama," potong Steven saat ia tahu maksud pertanyaan Clara. Clara menunduk dan mengangguk.
"Lalu ... apa yang membuatmu menyukaiku?"
Steven tertawa mendengar pertanyaan itu. Sekali lagi, tawa yang membuat Clara terpesona. Sangat manis dan membuat candu orang yang melihatnya.
"Kenapa matamu sangat bersinar saat ini, hmm? Jatuh pada pesonaku?" goda Steven yang membuat Clara tersadar.
"Ish! jawab saja ...."
"Tidak ada."
"Huh?" Clara tidak mengerti.
"Tidak ada alasan, sayang. Kalaupun ada kehadiranmu adalah satu-satunya," jawab Steven dengan wajah serius. Membut Clara terdiam, tidak tahu hendak mengatakan apa lagi. Apalagi panggilan sayang itu terdengar sangat lembut untuknya.
"Sekarang giliranku," kata Steven. Clara hanya mengangguk.
"Apa kamu pernah menyukai Aldo meski sesaat?"
Mendengar hal itu Clara tersenyum sambil menggeleng.
"Kak Aldo itu adalah orang pertama yang menolongku saat dibulli di sekolah ini. Dulu ... saat kelas satu, kakak kelas sering melakukan penindasan dan aku adalah salah satu korban. Kak Aldo saat itu sudah berteman dengan tunangannya saat ini, Kak Sindy. Kak Sindy sangat baik padaku. Mereka sudah aku anggap kakak sendiri. Sama sekali tidak ada perasaan berlebihan. Hanya saja ... seiring berjalan waktu, Kak Aldo semakin bersikap posesif padaku. Bahkan saat perjodohan mereka tersebar. Ia semakin menjauhi Kak Sindy dan semakin menempel padaku. Hal itu membuatku sangat merasa bersalah, hingga akhirnya Kak Sindy memilih pindah. Saat itu ... saat itu aku baru sadar bahwa Kak Sindy selama ini menyukai Kak Aldo. Bahkan saat aku curhat tentang kelakuan Kak Aldo padanya dan betapa aku sangat tidak nyaman ... saat itu aku pasti sangat menyakitinya."
Steven mengusap kepala Clara yang menunduk. Clara menunjukkan kesedihannya.
"Aku mengerti," kata Steven kalem.
Clara mengangkat kepalanya dan menatap Steven dengan mata yang sudah berkaca-kaca. Membuat Steven terkekeh, merasa lucu melihat wajahnya.
"Tunangannya yang membuatmu saat itu tidak jadi menemuiku?" Clara mengangguk sebagai jawaban.
"Jangan memusuhi Kak Aldo. Aku juga merasa bersalah pada perasaannya. Dia anak baik, aku yakin dia hanya salah paham padamu," kata Clara dengan wajah memohon.
Mengetahui fakta ini membuat perasaan Steven lebih lega. Bahkan saat permintaan itu terucap ia tidak merasa marah seperti sebelumnya. Sejak awal ia tahu Aldo bukanlah orang yang picik, namun ia juga tahu, cinta bisa mengubah seseorang yang baik menjadi jahat. Karena itu untuk membuat Clara tenang ia mengangguk. Berbeda dengan isi kepalanya yang berlawanan.
Mereka berpisah saat Steven menerima pesan dari Sam. Sesampainya di parkiran, yang lain sedang bersandar di mobil Bobby untuk menunggunya.
"Sudah selesai?" tanya Sam yang tampak kawatir. Pasalnya mereka tahu Steven sejak tadi terlihat tidak tenang. Sam yang pertama menyadari penyebabnya bukanlah kemunculan Arnold, melainkan karena Clara.
Mereka sampai di sebuah rumah besar namun terlihat tidak terawat. Banyak semak disekeliling pekarangan. Pintu utama rumah itu terbuka dan muncullah sekumpulan laki-laki yang kebanyakan lebih tua dari mereka. Steven tentu saja tidak mengenal mereka, sebelum sosok Arnold yang dikenalnya muncul dari belakang kerumunan bersama beberapa temannya dari Singapura.
Steven tahu bahwa Arnold sengaja mencari sekutu terlebih dahulu sebelum menghadapinya. Karena tidak mungkin ia bisa menguasai suatu tempat tampa adanya orang dalam terlebih dahulu.
"Senang berlari seperti pengecut Steve! Ini tidak seperti dirimu," kata Arnold dalam bahasa inggris.
"Jadi dia ... yang kamu cari?" tanya anak laki-laki sebaya mereka.
"Ya, dia yang aku cari," jawab Arnold dengan mata penuh kebencian dan dendam.
Steven menatap anak disamping Arnold dengan pandangan menilai. Tidak terlalu tinggi, kulitnya khas Indonesia. Seringai jahat jelas terlihat di wajahnya. Tipe yang suka berbuat onar dan suka memancing di air yang keruh. Itulah yang bisa Steven simpulkan saat ini.
"Mereka hanya berempat?" tanya Saga.
Dia terbahak pelan sebelum akhirnya tertawa keras diikuti oleh anak buahnya. Arnold tidak tertawa, wajah kakunya sama sekali tidak terpengaruh ocehan Saga yang sombong itu. Begitu juga dengan tujuh teman yang ia bawa dari Singapura. Mereka tentu saja tidak akan memilih tertawa ketika tahu dengan pasti seperti apa sosok Steven selama ini. Begitu juga dengan teman-temannya yang tidak bisa diremehkan. Meskipun saat ini perbandingan jumlah mereka adalah 1 berbanding 7.
"Katakan!" lantang Arnold, menghentikan semua tawa. "Alasanmu membunuh adikku," lanjut Arnold dengan rahang mengeras. Saga yang berdiri disampingnya seketika menoleh dengan wajah syok. "Mem-membunuh?," ulangnya tampak tidak percaya.
"Aku tidak membunuhnya," jawab Steven dengan tenang.
Arnold maju sendirian dan mencengkram kerah kemeja seragamnya, menatapnya nyalang dengan mata memerah.
"Bagaimana bisa? Bagaimana bisa kamu berhianat! Menghancurkan adikku lalu lari!" bentak Arnold.
Baik Sam maupun yang lain sebenarnya tidak ada yang tahu apa yang terjadi sebenarnya. Adik Arnold ditemukan meninggal dengan keadaan mengenaskan di kamar yang digunakan Steven di markas mereka, dengan jejak dan bukti yang mengarah padanya. Arnold adalah orang dari dunia bawah, lapor polisi tidak akan menyelesaikan dendamnya. Hanya akan menyeretnya ke penjara karena polisi bisa mencium jejak kriminalnya.
"Aku tidak melakukannya," kata Steven, lagi-lagi ia sangat tenang.
Maka dengan emosi yang memuncak, Arnold melepaskan cekalannya dan merogoh sakunya. Mengambil pistol dan mengarahkannya kepada Steven tepat di kepalanya.
"Hei Bro! Kamu tidak bilang ini akan ada bunuh-bunuhan!" teriak Saga tampak kawatir. Saga didorong mundur oleh kawanan Arnold kebelakang sehingga ia terdiam.
"Steve," bisik Teddy yang berdiri paling dekat dengannya. Mereka tampak sangat kawatir padanya. Sementara Steven masih memasang wajah tenangnya. Tampa ekspresi sama sekali.
"Ucapkan selamat tinggal pada dunia," bisik Arnold dan melepaskan satu tembakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
Uchi Ariana
seru.tegang.romance.klop bnget
2022-02-22
1
hany
ceritanya menarik kk
semangat
lanjut
salam dari MAHABBAH RINDU
2021-01-01
2