Pagi ini Clara dan Steven tidak saling bertemu. Steven sudah pergi dengan wali kelasnya menuju tempat olimpiade, sementara Clara sendiri sibuk dengan OSIS. Mereka sibuk menata Aula dan menghiasinya. Festival sekolah puncaknya memang diadakan di dalam ruangan karena sedang memasuki musim hujan.
Aldo terus saja menatap aneh pada Clara. Sejak sejak pagi dia tampak berbeda. Jauh lebih bersemangat dan ceria. Bahkan saat ada yang berbuat kesalahan dia menanggapinya dengn santai. Tidak seperti biasanya yang akan mengomel sendiri.
"Ada hal baik apa? Sepertinya kamu bahagia sekali." tanya Aldo di sela-sela pekerjaan mereka, dia juga menyodorkan minuman dingin pada Clara.
"Terima kasih Kak, kak Sindy tidak datang lagi?" tanya Clara.
"Kamu belum jawab pertanyaanku Clar," tegur Aldo lembut.
"Hmm? yang mana?" Clara memang sengaja karena Aldo membenci Steven. Dia bahkan segera meletakkan minumannya asal di meja dan kembali bekerja. Membantu salah satu murid memasang spanduk-spanduk di dinding.
Aldo tidak melepaskan pandangannya, terus mentap Clara dengan pandangan penuh cintanya. Tidak peduli teman-temannya sudah datang dan berdecak malas melihat kelakuannya. Aldo bahkan sudah melupakan kemarahannya terakhir kali saat Clara membela Steven.
"Berhentilah Al, aku pikir kemarin-kemarin kamu tidak serius. Tapi semakin hari sepertinya semakin berlebihan, ingat tunanganmu!" kata Rafael.
"Biarkan saja dia... Setidaknya berjuang dulu walaupun hasilnya nol," sindir Fajar.
"Diamlah!" ujar Aldo dengan wajah tidak peduli.
"Aku kasihan dengan Sindy, apa yang ia harapkan dari pria sepertinya?" sarkas Rafael lagi. Membuat Aldo mendelik tidak suka padanya.
"Kalau mau ambil saja, kenapa malah menyalahkanku? aku tidak memaksanya," sengit Aldo, dia mulai terpancing.
"Si bodoh ini bicara apa sih? jangan menyesal kalau Sindy nanti pergi darimu. Karena aku pastikan Clara tidak akan jatuh padamu Al... dia sudah jatuh pada sainganmu!" kata Rafael lagi.
Perkataannya benar-benar memancing kemarahan Aldo, terlihat dari rahangnya yang mengeras.
"Kalian tidak tahu! Aku akan melakukan apapun agar mereka tidak bersama! Steven bukan anak baik-baik!"
"Apa yang tidak kami ketahui? Kamu seolah benar-benar yakin dengan penilainmu. Aku juga menyelidikinya, dia hanya anak biasa seperti yang lain, kenakalannya hanya tidak taat peraturan." sahut Rafael tidak kalah sengit.
"Perlakuan kasarmu bisa membuatnya tidak ingin membantu sekolah. Apa kamu tahu ayahku selalu menekanku untuk mendekatinya? Lagi pula, itu juga perintah kakekmu. Kakekmu juga pasti ingin sekolah ini menjadi sekolah nomor satu. Apa kamu tahu itu?" lanjut Rafael lagi.
"Keuntungan sekolah? Dulu mingkin aku peduli, tapi sekarang tidak lagi."
Aldo menghempaskan kaleng minumannya kedalam tong sampah, lalu pergi meninggalkan mereka. Melanjutkan tugasnya sebagai ketua OSIS. Rafael menatapnya dengan sengit sebelum ikut pergi dari sana. Tinggallah Bobbi dan Fajar yang menggaruk belakang kepala mereka dengan wajah masam.
"Kenapa jadi begini? rahasia apa yang diketahui Aldo tentang maskot sekolah?" tanya Fajar.
"Hah... Aku tidak tahu. Semoga saja hanya perkiraan atau salah paham. Aku berfikir anak sejenius Steven tidak akan melakukan hal yang membahayakan masa depannya, entahlah. Hanya saja... Rasanya aku sedikit mempercayainya," lanjut Fajar lagi.
"Tunggu saja, kita bisa apa memangnya?" Kata Bobbi sekaligus menyudahi pembicaraan mereka.
.
Sementara ditempat lain, Steven sedang duduk mengerjakan soal matematika dengan wajah bosan. Setelah selesai, Steven menekan bel dan memberikan jawaban saat petugas pertandingan mengambilnya. Menunggu dengan bosan anak-anak lain.
Dia harus menunggu sekitar 15 menit sampai waktu habis dan menikmati wajah kecewa semua saingannya. Sepertinya beberapa dari mereka mengalami kesulitan.
Selanjutnya adalah soal rebutan dan Steven tetap dengan wajah malasnya, menunggu soal yang dibacakan. Ketika pertanyaan pertama disebutkan, dimana anak lain sibuk mencari di kertas dia malah mencoret-coret kertas dengan menulis nama Clara berulang-ulang. Teman sebelahnya mengangkat tangan dan memberikan jawabannya. Namun sayangnya salah. Begitu juga saat lawannya satu lagi menjawab salah sehingga juri memberinya kesempatan menjawab.
"Minus 9," jawabnya datar.
Gurunya, Ibu Mira menepuk jidatnya akan prilaku Steven yang ogah-ogahan. Dia takut Steven tidak ingin memenangkan pertandingan ini dan berakhir dialah yang akan kena marah kepaka sekolah.
"Benar!" jawab juri dengan semangat.
Kedua lawannya menatapnya tidak percaya, karena soal tadi memang memiliki tingkat kesulitan yang tinggi. Karena itu, walaupun mereka termasuk berprestasi, mereka kesulitan menjawabnya dengan cepat.
Pertandingan selesai dengan kemenangan mutlak oleh Steven. Saat para juri hendak menyalaminya, ia hanya menunduk singkat dan pergi begitu saja. Ibu Mira bahkan harus minta maaf dan membuat alasan palsu bahwa dia sedang buru-buru karena harus ke rumah sakit.
Steven memesan taksi dan kembali kesekolah tampa ibu Mira. Dia meninggalkan gurunya itu dengan tidak sopannya. Tahu kenapa ia cepat-cepat kembali kesekolah?
Itu karena sejak satu jam yang lalu Clara tidak membalas pesannya.
Sesampainya di sekolah ia langsung mencari Clara karena teleponnya juga tidak diangkat. Ia hanya kawatir kalau wanitanya itu di bulli lagi. Namun saat matanya menangkap siliuet itu dari jauh, dia menghela nafas lega. Clara sedang ada di atas lantai dua gedung olahraga, dimana ia tampak sedang memasang pamflet, Steven segera berjalan kesana.
Ketika sampai di lantai dua, hatinya langsung panas saat melihat Clara sedang tertawa dengan dua orang anak laki-laki yang tidak di kenalnya. Steven menghampiri mereka dan menatap tajam kedua anak itu ketika sampai. Dia berdiri tepat di belakang Clara.
"Kalian kenapa?" tanya Clara.
Bingung melihat teman sekelasnya itu tiba-tiba mematung menatap ke arah belakangnya. Penasaran, ia memutar kepalanya kebelakang dan melotot saat Steven sudah menatapnya tajam.
"Oh, sudah selesai?" tanya Clara yang kini berbalik sepenuhnya.
"Siapa mereka?" tanya Steven dengan nada yang tidak ada ramah-ramahnya.
"Oh, mereka adalah... uh! mereka kemana?" Clara binfung ketika hendak mengenalkan temannya itu pada Steven. Mereka sudah hilang entah kemana.
"Sudah lari, jadi siapa mereka? kenapa kamu tertawa dengan mereka?" Clara mengerjap bingung harus menanggapi bagaimana. Ia sedikit gelagapan saat Steven menatapnya seperti terdakwa.
"Hanya teman sekelas, bukan siapa-siapa."
"Sungguh... !" lanjut Clara saat Steven menatapnya saja tampa menjawab.
"Ayo ke kantin, aku lapar!" kata Steven, pada akhirnya melupakan dua anak itu lalu menggenggam tangannya. Menariknya di hadapan ratusan anak yang mereka lewati dari gedung olahraga sampai kantin sekolah.
Sesampainya di kantin mereka disambut oleh suasana hening yang tidak biasa. Steven mengajak Clara duduk di sudut ruangan, dimana keberadaan mereka hanya disadari beberapa anak. Fokus semua orang terarah ke tengah-tengah kantin.
"Nikmati pertunjukannya," bisik Steven mendapati wajah bingung Clara.
Bingung akan ucapan Steven, Clara mencoba memeriksa keadaan. Ketika matanya melihat teman-teman Steven disana, barulah Clara sadar akan ada pertengkaran. Dia segera bangkit hendak melerai. Sebagai wakil ketua OSIS, tentu saja ia harus menghentikan perkelahian di sekolah, namun Steven menahannya dengan cepat.
"Lihat saja dulu," suruh Steven.
Saat pesanan mereka datang, saat itulah kehebohan mulai terjadi. Terdengar bangku yang dilempar dan beberapa teriakan anak perempuan.
Steven mendesis saat Clara dengan beraninya bangkit dan meneriaki mereka. Menyuruh mereka berhenti dengan ancaman akan memanggil guru dan pihak keamanan.
"Jangan ikut campur sialan! Anak miskin sepertimu diam saja!" umpat Vino dengan wajah emosi.
Steven yang mendengar Clara dihina tentu saja tidak terima, namun ia memilih menunggu sampai waktu yang tepat untuk bertindak.
"Terserah, jika kalian tidak berhenti maka aku akan segera memanggil guru!" ancam Clara lagi, dia sudah hampir pergi ketika terhenti karena bentakan Vino yang keras.
"Gadis sialan!"
Vino menghampirin Clara dengan emosi. Tangannya sudah melayang kalau saja Sam tidak menendang pinggangnya untuk mencegahnya. Steven tahu Sam akan bertindak, karena itu dia masih duduk dengan tenang.
Perkelahian kembali terjadi, Steven yang melihat Clara yang keras kepala segera bangkit lalu berdiri di sampingnya. Menjaga gadis itu agar tidak ikut campur terlalu jauh.
"Sam... Bob... Ted!" katanya dalam nada menyeramkan.
Ketiga temannya berhenti seketika. Mengelap sudut bibir mereka yang sedikit pecah.
"Wah... Jadi kalian tikus yang mengikuti anak pencari perhatian ini?"
Steven tidak bereaksi apapun atas ejekan Vino. Ia hanya menatapnya datar. Teman-teman Vino tertawa mengejek pada mereka karena mematuhi perkataan Steven.
"Berhenti tebar pesona pada pacarku, sekali lagi aku peringatkan sialan! Kalau tidak aku akan menghancurkan kalian!" ancam Vino.
Mendengar ancaman Vino, Sam tertawa terbahak-bahak. Pasalnya peringatan itu di tujukan padanya. Dimana ia sama sekali tidak pernah merasa melakukan hal yang dituduhkan.
"Jangan salahkan pesonaku, pacarmu saja yang tertarik padaku. Aku bisa apa?" kata Sam dengan tawa mengejek.
Vino tampak lebih murka dari sebelumnya, ia berlari menerjang Sam yang tampak santai. Namun dengan cepat Sam menghindar, teman Vino ikut menyerang Sam dan di hadang oleh Bobby. Ketika Vino mengambil mangkok keramik di meja dan melemparnya kearah kepala Sam, Steven maju dan menendang mangkok itu hingga mengenai meja di depannya. Dengan langkah besar Steven menghampiri Vino dan mencengkram lehernya dengan satu tangan.
Teman-teman Steven yang menyadari aura berbahaya darinya segera berhenti dan berusaha menenangkannya. Teman-teman Vino yang menarik tangannya dari leher Vino juga tidak berkutik. Cengkraman itu sangat kuat.
"Akh ... Akh!" suara Vino sudah nyaris habis.
"Katakan kamu tidak akan pernah mengganggu temanku lagi!" dingin dan tajam. Sorot mata itu mengerikan. Bahkan guru sudah datang bersama satpam, berusaha melepaskan tangan Steven namun mereka juga tidak mampu. Tubuh Steven yang tinggi dan besar membuat mereka kualahan. Steven bahkan menghempaskan mereka dengan mudah.
"Katakan!"
"Akh Akku... Jan-jjjanji!" lirih dan serak.
"Stev kumohon lepaskan dia... hik hik, dia bisa mati!" isak Clara yang sudah lepas dari Aldo.
Ya, sedari tadi Clara tidak bisa menghentikan Steven karena Aldo mencegahnya. Padahal hanya mendengar suaranya, Steven kembali kedunianya dan dengan segera melepaskan Vino. Steven menghampiri Clara dan menghapus air matanya dengan cepat.
"Apa aku keterlaluan?" tanyanya dengan wajah tampa dosa. Terkekeh sebelum menarik Clara dari sana. Menatap tajam Sam saat melewatinya. Ciri khasnya saat ia ingin teman-temannya menemuinya dan memberi penjelasan.
Sungguh pemandangan yang menyeramkan dari seorang Steven. Bahkan Clara tidak ingin melawannya saat ini meski tubuhnya bergetar ketakutan. Dia ikut takut dengan Steven.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments
💗vanilla💗🎶
bucin 😀
2025-01-25
0