Perkelahian pertama

Steven berada di atas atap sekolah sendirian. Setelah mengelilingi sekolah di temani Aldo sebagai bentuk perkenalan pada lingkungan sekolah. Mereka melakukannya pada jam akhir pelajaran.

Dari tempat ia berdiri Steven bisa melihat kerumunan kecil anak-anak yang berjalan menuju gerbang. Sebagian besar dari mereka berjalan ke belakang sekolah menuju asrama.

Rata-rata anak-anak memilih tinggal di asrama karena padatnya jadwal sekolah. Tentu alasan padatnya jadwal bukan menjadi alasan Steven ingin tinggal di asrama.

Steven merogoh saku celananya dan mengeluarkan rokok elektrik. Rambut ikalnya mulai panjang dan menutupi keningnya. Angin sepoi membuatnya nyaman sebelum dering ponsel mengganggunya.

"Ne appa ..." jawabnya dalam bahasa asal ayahnya, Korea selatan.

"Arasso." jawabnya saat ayahnya menyuruhnya ke gerbang sekolah karena ia sudah sampai.

Steven menyesap rokoknya sekali lagi sebelum menyimpannya dan beranjak dari sana. Berjalan santai dengan kedua tangan di dalam saku.

Sekolah sudah mulai sepi, ia berjalan lebih cepat saat ponselnya kembali berdering, berdecak pelan saat melihat ayahnya yang tidak sabaran.

Bruk!

Steven sedikit mundur kebelakang karena baru saja menabrak bahu seseorang. Dia melihat di lantai sudah terduduk seorang anak perempuan. Anak yang tadi bertengkar dengan teman sekelasnya di kantin. Clara terduduk di lantai dengan wajah menahan sakit dan buku berserakan di sekelilingnya.

"Apa matamu tidak berfungsi?" tanya Steven, ekspresinya datar dan nada bicaranya sangat ketus.

Clara mendongak, menatapnya jengkel sambil bangkit. Melotot dengan wajah memerah menahan amarah. Masalahnya, wajahnya saat melotot bukan menakutkan malah terlihat lucu.

"Kamu yang salah kenapa malah kamu yang marah, dasar aneh!" sungut Clara kesal.

"Kamu yang jalan lihat ponsel. Aku sudah menghindar tapi kamu malah mengikuti langkahku!" lanjut Clara masih dengan wajah marahnya.

Steven tidak menjawab, ia hanya menatap Clara dari atas sampai bawah. Dilihat dari dasinya, Steven tahu Clara berada satu tingkat di bawahnya. Seperti yang diingatnya saat Aldo menjelaskan tentang sekolah tadi. Hal itu membuat dia merasa lebih memiliki power karena hirarki seorang senior.

"Hei! harusnya kamu minta maaf bukan hanya diam aja!"

Lagi, Steven hanya mengacuhkannya. Ia hanya menatap malas pada Clara yang akhirnya berdecih dan memungut buku-bukunya. Setelah itu Clara meninggalkannya dengan wajah kesal. Dia mwnggerutu pelan disepanjang jalan.

Steven terkekeh pelan sebelum melanjutkan langkahnya, merasa lucu saat melihat wajah Clara yang menahan kesal. Clara adalah wanita pertama yang tidak menatapnya memuja sejak ia menginjakkan kakinya di sini.

.

Steven lagi-lagi harus ikut ayahnya sebelum pulang kerumah. Ayahnya sedang melatih anak didiknya di lapangan namun ia tidak melihat adanya Aldo di antara pemain. Bagaimana kapten tidak ikut berlatih saat semuanya ada di sini?

"Bosan?" Steven mengambil botol air mineral yang di sodorkan ayahnya sambil menggeleng pelan.

"Cukup menyenangkan melihat mereka latihan, dimana kapten tim?" tanya Steven.

"Berada disekolah dengan tugas OSIS. Saat ini dia sedang mengejar ketertinggalan pelajaran karena pertandingan musim lalu."

Steven hanya mengangguk saja, ia jadi teringat Clara yang tadi banyak membawa buku. Dia juga sempat melihat beberapa milik anak kelas tiga.

"Bagaimana hari pertama di sekolah baru?" tanya ayahnya memecah keheningan.

"Biasa aja," jawabnya asal.

"Kata Nicholas kamu sudah terkenal di hari pertama dan memiliki basis penggemar,"

"Siapa Nicholas? mata-mata?"

Mendengar tuduhan Steven ayahnya tertawa renyah.

"Dia guru olahraga di sana, dia sahabat ayah," jelas ayahnya sebelum bangkit dan mendekati para pemain yang sudah kembali berkumpul.

Menjelang magrib, ayahnya menghentikan latihan. Menyuruh anak didiknya bersiap untuk pulang.

"Sudah selesai?" tanya Steven saat ayahnya berjalan ke arahnya dengan menenteng tas yang tadi tergeletak di atas rumput.

"Tentu, ini sudah terlalu sore. kajjaa....!"

Steven bangkit dengan tidak bersemangat dan mengikuti langkah ayahnya.

.

Steven berbaring di atas kasurnya dan menatap ponselnya sebelum akhirnya membuka pesan di sosial media miliknya. Menghela napas saat melihat sebuah nama yang sesungguhnya tidak ingin ia temui lagi. Sebuah nama yang ia hindari karena sebuah kesalahpahaman. Steven tidak ingin repot-repot menyelesaikannya. Bukan hal yang harus ia berikan atensi khusus, itulah alasannya.

Ia menghapus pesan itu tampa membacanya. Juga menghapus ratusan pesan dari penggemar tampa ia baca. Hanya beberapa pesan dari teman dekatnya yang ia biarkan.

Baru saja ia akan bangkit untuk turun, ponselnya berbunyi dengan notifikasi pesan chat. Ia mengernyit karena aplikasi itu baru saja ia buat saat tiba di Indonesia dan itupun karena permintaan ayahnya.

"Grup apa ini?" gumamnya saat membuka pesan. Dia berdecak malas saat nama-nama tidak di kenal mulai muncul di ponselnya.

Steven langsung keluar dari grup yang ternyata grub kelasnya. Dan dengan kesal memblokir semua nomor yang baru saja mengiriminya pesan tidak berguna.

"Ayah, besok saya akan ganti nomor," ujarnya

Ayahnya mendongak dan menghentikan kunyahannya sejenak. Mereka sedang makan malam di bangku taman belakang rumah. Ayahnya memang suka makan di luar rumah karena katanya lebih nyaman.

"Saya akan kirimkan nomor barunya nanti," lanjutnya tampa menoleh, menghindari pertanyaan-pertanyaan ayahnya.

"Hmm... Baiklah, makan yang banyak," Steven melirik sesaat namun tidak berbicara lagi. "Jika ada masalah bicarakan dengan Ayah, oke!" kata ayahnya lagi. Steven hanya mengangguk.

"Besok akan ada pertandingan persahabatan di luar daerah, kemungkinan ayah akan pergi dua hari. Pagi besok pembantu baru sudah akan bekerja. Untuk sementara kamu pergilah dengan taksi. Saat sudah hafal jalan ayah akan membelikanmu mobil. Apa kamu sudah punya SIM?" Steven mengangguk, dia sudah mendapatkan SIM saat kelas dua SMA.

"Internasional?" tanya ayahnya lagi.

"Hmm ... "

"Bagus, nah... Ayah masuk duluan. Jangan lupa cuci piringmu."

.

Clara menghapus jejak keringat di keningnya saat ia selesai menyusun berkas-berkas OSIS yang berantakan. Ini masih pagi namun ia sudah banyak berkeringat.

"Lelah? Sudah sarapan?"

Clara melirik sekilas pada Aldo yang baru saja memasuki ruangan sebelum mengacuhkannya. Melanjutkan pekerjaannya tampa berniat menjawab. Aldo tidak mempermasalahkan hal itu karena dia tahu Clara sedang kesal padanya.

"Even tahunan sebentar lagi, tapi kamu sibuk dengan duniamu sendiri kak Aldo... Kapan kita rapat untuk mengurus hal ini?"

"Ah! Itu... Aku baru saja akan memberitahumu bahwa aku akan keluar kota pagi ini. Ada pertandingan dan sudah dapat izin sekolah," jawab Aldo dengan nada bersalahnya.

Clara menatapnya tajam sebelum mendengus dan berjalan keluar. Dia kesal karena pasti nanti dia sendiri yang akan kerepotan. Selalu begitu dan Clara benar-benar kesal luar biasa.

Aldo tidak mencegahnya, dia menggaruk kepalanya bingung bagaimana agar Clara mau memaafkannya. Mereka akan pergi dua hari dan pastinya guru-guru akan menekannya untuk mengambil keputusan. Acara tinggal seminggu lagi dan persiapannya tentu saja tidak mudah.

Clara melarikan diri ke taman belakang sekolah yang terdapat kebun bunga. Dia selalu kesana jika mengalami hari yang buruk untuk mengembalikan suasana hatinya. Namun baru saja sampai, dia sudah di kejutkan dengan adanya asap dari balik pohon. Tentu saja dia tidak bodoh tentang dari mana asal asap itu. Maka dengan perasaan kesal dia berjalan ke sana. Hendak memarahi siapapun yang berani merokok di sekolah.

"Ini masih pagi dan kamu udah merokok!"

Clara membulatkan matanya saat si pelaku menolehkan kepalanya, orang itu bangkit berdiri dan menghadap ke padanya. "Oh, kamu ternyata! Anak baru tapi sudah berulah."

Steven menghisap rokok elektriknya dan memajukan wajahnya tepat di depan wajah Clara. Menghembuskan asap rokoknya dengan sengaja.

"Ish! Apa yang kamu_"

Perkataan Clara terhenti saat tiba-tiba Steven menarik pinggangnya mendekat. Mendekatkan mulutnya ke telinga kanan Clara dan berbisik di sana.

"Jangan mengurusiku kalau masih mau hidup nyaman di sekolah."

Clara mematung, tiba-tiba saja jantungnya berdetak lebih cepat. Ada gelenyar aneh saat suara rendah itu memasuki rungunya. Sebelum ia tersadar, Steven sudah melepaskan tangannya dan kembali duduk bersandar. Dia melanjutkan kembali acara merokoknya.

Clara menarik napas dalam-dalam saat sudah menguasai diri. Menatap kesal pada Steven yang sudah mengacuhkannya. Akhirnya tampa berbicara lagi, ia meninggalkan Steven tepat saat bell masuk pertama berbunyi.

Steven berdecak malas dan mengedarkan pandangannya ke seluruh tempat itu. Saat ia melihat bangku panjang tidak jauh dari sana, ia beranjak dan berbaring disana menghadap langit. Tidak peduli kelas sebentar lagi akan dimulai.

.

Pelajaran pertama sudah selesai saat Steven memasuki kelas. Saat ia sudah duduk di bangku, Irfan dan yang lainnya langsung membombardirnya dengan pertanyaan. Ia bahkan mengorek telinganya dengan tidak sopan sebelum membuang semua kotak kado di mejanya ke tong sampah belakang kelas. Membuat semua orang menganga dengan ekspresi berbeda-beda.

"Wah! Anak sialan ini ternyata punya sifat yang buruk!" Anak pertama.

"Keluar dari grup kelas tampa izin, memblokir nomor teman sekelas dan pagi ini sepertinya nomornya sudah ganti." Anak lainnya.

"Memangnya apa peduli kalian, itu urusannya maka biarkan saja," itu adalah Lea yang melakukan pembelaan. Dalam sekejap anak perempuan lain ikut membela Steven.

Akhirnya terjadilah perang debat antara anak laki-laki dan perempuan. Steven yang merasa muak akhirnya menggebrak meja dengan kuat sebelum menedang bangku di sampingnya. Seketika kelas menjadi hening.

"Berhenti berisik sialan!" umpatnya dengan nada rendah yang dingin.

Salah satu anak laki-laki di sana, yang Steven tidak peduli namanya menghampirinya. Anak itu langsung melayangkan pukulan ke wajah tampannya.

"Pikirmu siapa kau merusak suasa kelas, Hah!" katanya dengan logat batak yang kental.

Steven tersenyum sinis sebelum melayangkan tendangan ke perut anak itu sampai ia terjungkal kebelakang dan jatuh ke lantai.

Anak laki-laki itu tentu saja tidak terima. Dia bangkit dan dengan bantuan teman-temannya. Karena hal itu terjadi perkelahian di kelas.

Steven mampu mengimbangi mereka karena postur tubuhnya yang tinggi dan tentu saja, karena kemampuan bela dirinya. Dia sudah biasa berkelahi, melawan beberapa anak seperti mereka bukan masalah baginya.

"BERHENTI!"

Teriakan membahana Clara menghentikan perkelahian. Tadinya Clara akan membagikan brosur pendaftaran untuk acara sekolah, namun dia malah melihat hal yang tidak diinginkan.

Dengan berani Clara menarik tangan Steven pergi dari sana setelah menghempaskan brosur diatas meja begitu saja. Steven tidak berontak, entah kenapa dia hanya menurut saja saat Clara menariknya masuk ke dalam ruangan OSIS.

"Kelas kalian di lengkapi CCTV. Sebentar lagi pihak sekolah pasti memanggilmu, dasar pembuat onar! Kamu tahu siapa yang kamu pukul tadi? Salah satu di antara mereka adalah anak pejabat!"

Steven hanya diam saja saat Clara terus mengoceh. Dia bahkan menikmati ekspresi wajah itu. Clara yang tidak mendapatkan reaksi apapun akhirnya berdecak malas. Dia mencoba memahami Steven dan segala tingkahnya. Namun dari segi manapun ia melihat, Clara tidak menemukan hal yang baik satupun.

Terpopuler

Comments

fa_zhra

fa_zhra

mgk bapak nya steven ini STY🤭🤭

2023-09-06

1

TulisanRusak

TulisanRusak

Mampir like saja kak tak berani membaca jauh, takut pikiran ku berkelana membaca novel cinta

2021-11-23

3

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!