Kini mereka berempat ditambah Rafael sedang duduk di kamar Sam yang ada di asrama. Selepas dari ruang kepala sekolah, mereka berencana tidur di asrama karena Steven tidak ingin pulang. Sedangkan Rafael, ia mengekor karena sangat penasaran dengan sosok Steven yang tiba-tiba saja sangat mengagumkan di matanya.
"Jadi, apa yang kamu lakukan disini?" tanya Teddy yang menatap Rafael. Sementara Steven sedang berbaring dan menutup wajah dengan lengannya di kasur Sam. Sam sendiri duduk di kasur kosong lain bersama Bob yang memeluk bantal. Ya, Sam belum memiliki roomate.
"Sejak awal aku penasaran padanya. Dia pintar dan misterius. Sulit sekali mendapatkan info tentangnya. Apa lagi sejak Aldo bilang tidak ada yang tahu berapa IQ nya__"
Rafael menghentikan perkataanya saat Steven menurunkan lengan dan menatapnya.
"Aldo memata-matiku? dari siapa dia mendapatkan informasinya?" tanya Steven yang di jawab kerdikan bahu oleh Rafael.
"Untuk masalah informasi dari data sekolah lamamu, Aldo memiliki teman yang membantunya. Tapi akhir-akhir ini dia seperti membencimu. Aku yakin bukan hanya karena Clara. Tapi karena sesuatu yang ia tahu dan dia tidak menyukainya."
Steven menatap langit-langit kamar, ia sudah pasti tahu dan bisa menebak dengan gampang bahwa Aldo memiliki koneksi. Aldo pasti membayar seseorang untuk mencari info mengenainya.
"Jadi ... apa yang anak manja itu ingin lakukan? menjauhkanku dari Clara?" sinis Steven. Yang lainnya hanya diam, Rafael bahkan meneguk ludahnya susah payah.
"Kamu tahu? rasa penasaran itu berbahaya. Jadi berhentilah. Aku tidak membuat pengecualian meskipun Aldo anak pemilik sekolah. Dia bukan apa-apa bagiku."
Lagi, Rafael merasakan perasaan menekan yang membuatnya takut. Dia mengangguk kaku sebagai respon.
"Ta-Tapi aku boleh berteman denganmu, kan? Seperti mereka?" tanya Rafael dengan wajah penuh harapnya.
"Aku tidak pernah melarangmu sejak awal," jawab Steven.
Siapapun tahu akan ada batasan antara mereka berempat dan Rafael. Steven menutup wajahnya lagi, namun ponselnya yang berdering membuatnya segera duduk.
Steven tahu, jika bukan orang tuanya, kemungkinn besar adalah Clara. Karena selain ketiga temannya, hanya Clara yang mengetahui nomornya.
Meski sudah menduganya, tetap saja jantungnya seakan melompat saat nama itu tertera di layar. Ia menggeser ikon bewarna hijau itu sebelum mendekatkannya ke telinga. Lagi, ia mendengar suara isak tangis Clara.
'Kenapa anak itu sekarang gampang menangis?' tanyanya dalam hati.
"Kenapa?" Dia merutuki suaranya yang kaku.
"Tunggulah di sana, berhenti menangis aku tidak mendapat masalah apapun," kata Steven sebelum memutus sambungan begitu saja.
Ternyata Clara menelponnya karena mendengar kabar ia di panggil kepala sekolah mengenai perkelahian di kantin.
"Aku pergi sebentar," katanya, langsung keluar tampa memberi tahu kemana.
Dalam perjalanan menuruni tangga, ia menelpon seseorang. "Matikan CCTV bagian asrama putri di bagian sisi gedung kanan lima menit dari sekarang," ucapnya.
Steven berdiri di tembok pembatas asrama yang tidak terlalu tinggi, mengambil ancang-ancang dan melompatinya seolah tubuhnya seringan kapas. Dia berjalan santai melewati area belakang asrama yang memang biasanya sepi.
Steven menelpon Clara dan menyuruhnya membuka jendela. Dengan cepat Clara berlari ke arah jendela. Clara melihat dengan bengong bagaimana Steven dengan mudah memanjat dan sampai di balkon kamarnya begitu cepat tampa kesulitan.
"Bagaimana caramu naik? Ada cctv juga disana," Clara bertambah bingung saat Steven masuk begitu saja ke dalam kamarnya dan membuat Dena, teman sekamarnya menjerit dengan suara tercekat. Dia langsung terdiam ketika Steven menyuruhnya jangan berisik dengan tatapan tajamnya.
"Tutup mulutmu dan keluarlah. Hanya 10 menit!" ucap steven dengan nada memerintah.
Dena melirik Clara dengan wajah takut sebelum keluar dari sana. Menyisakan Clara yang masih bingung dan Steven yang sudah duduk di atas kasurnya. Clara berjalan ke kursi dekat meja belajarnya, bingung mau mengatakan apa. Sementara Steven menatap penampilan Clara yang sangat menyedihkan itu. Rambut belum disisir, mata sembab dan baju tidur yang berantakan. Sangat membuat mata terganggu, hanya satu hal yang menyelamatkan Clara dari semua hal itu. Apalagi kalau bukan wajah cantik yang terkesan polos itu.
"Kenapa kamu menangis?"
"Huh?" sahut Clara yang masih dalam mode tercengang.
"Kamu takut padaku?" Clara menggeleng dengan heboh.
"Kemari," perintah Steven.
Clara berdiri, perlahan berjalan ke arahnya dan berdiri tepat diantara kakinya.
"Lihat aku Clara!" Maka Clara segera melihat ke dalam bola mata yang sedang menatapnya itu.
"Aku sudah pernah katakan. Aku bukan orang baik. Tapi aku tidak akan menyakitimu. Jadi cukup percaya padaku. Kamu cinta pertama dan akan menjadi satu-satunya. Sebelum mengenalmu, aku adalah bajingan yang menganggap anak perempuan adalah penganggu tak berguna. Akan banyak yang akan kamu lihat mengenai aku, kegilaan di dalam duniaku. Sisi lain seorang Steven. Aku sudah mengatakannya, jika kamu menyerah. Maka aku akan melepaskanmu saat ini."
Clara tertegun, perlahan air matanya menetes. Ia terduduk dan menopang keningnya pada paha Steven. Dia menangis lagi. Entah kenapa dia merasa lega meski sadar Steven dimatanya seperti anak nakal.
"Maaf ... maaf karena sempat takut. Aku hanya tidak terbiasa dengan kekerasan. Aku ... aku ... aku tidak ingin di jauhi olehmu!"
Steven menatap pucuk kepala Clara dalam diam. Mengangkat tangan untuk mengelusnya. Membuat kepala itu mendongak menatapnya. Wajah yang sangat kacau jauh dari kesan cantik dan berwibawa seperti biasanya. Namun dimatanya Clara yang seperti ini tampak imut dan lucu. Sehingga dengan alami bibirnya tersenyum hangat.
"Aku juga tidak bisa lagi jauh darimu, rasanya mau mati menahan rindu."
Kalimat manis pertama yang keluar dari mulutnya sukses membuat wajah Clara memerah malu. Sungguh melihat Steven yang mengucapkan kata manis seperti ini terlihat bukan dia sekali. Namun perkataan itu membuat hatinya menghangat. Kerisauannya menguap begitu saja.
"Sudah sepuluh menit, aku harus pergi." ucap Steven lagi.
"Hmm! Hati-hati ... "
"Jangan kawatir," jawab Steven. Ia merogoh ponselnya dan menghubungi orang yang sama.
"Kembalikan keadaan setelah lima menit dari sekarang," ucapnya. Dia mengusak kepala Clara lembut sebelum melompat turun dengan sempurna. Meninggalkan Clara yang kebingungan tentang siapa orang yang diteleponnya.
.
Pagi ini Steven kembali mengikuti olimpiade. Dia harus melawan pemenang dari grup kelompok dua dan tiga untuk menentukan runner up dan pemenang dari propinsi. Selanjutnya ia akan melawan dari provinsi lain untuk mendapatkan gelar pemenang juara umum olimpiade. Baginya itu tidaklah sulit, yang tidak ia sukai adalah karena prosesnya yang lama. Hal yang dikawatirkannya adalah saat dia terluka di wajah akibat perkelahian. Hal itu akan menjadi pertanyaan banyak orang dan akan menarik perhatian lebih banyak.
Seperti biasa ia ditunggui oleh wali kelasnya. Steven memainkan pena ditangannya dengan bosan saat pertanyaan untuk lawannya di bacakan. 4 dari 5 bisa dijawab dengan benar. Steven ikut bertepuk tangan untuk menghargai. Saat tiba gilirannya, seperti biasa ia bisa menjawab dengan mudah. Dia tetap melakukan prosedur seperti anak lain, mencari jawaban di kertas kosong meskipun jawaban sebenarnya sudah muncul di kepalanya dua detik setelah pertanyaan di bacakan.
"Hebat sekali Steve, menang dengan nilai sempurna. Ibu tahu kamu sangat berusaha tadi, terima kasih!" ucap bu Mira saat mereka dalam perjalanan pulang.
Steven hanya mengangguk saja. Sangat berusaha apanya, dia bahkan ingin mati karena bosan menunggu pertanyaan selesai dibacakan.
Sesampainya di sekolah hari sudah mulai sore dan Steven diminta untuk mengambil contoh soal yang biasanya muncul ditingkat final provinsi. Maka setelah ia mendapatkan salinannya, Steven segera keluar dari ruang guru.
Steven melihat anak-anak yang lalu lalang, sepertinya festival sekolah masih berlangsung di aula karena masih banyak anak berkeliaran di lorong dengan pakaian bebas.
Steven mencari keberadaan ketiga sahabatnya sebelum matanya menatap pada satu objek yang membuatnya tidak berkedip. Di ujung lorong, tepatnya lorong yang menuju aula, Clara sedang berbicara dengan beberapa anggota OSIS. Ia tampak sangat cantik dengan gaun putih. Dengan langkah panjangnya ia berjalan ke arah mereka. Akan tetapi langkahnya terhenti, rahangnya tiba-tiba megeras, Aldo muncul begitu saja di hadapan Clara dan menarik tangannya kembali masuk kedalam.
Steven adalah tipe posesif. Dia tidak suka miliknya disentuh sembarangan. Karena itu dengan wajah murka ia menyusul dan menarik tangan Clara satu lagi sehingga pegangan Aldo terlepas. Mata keduanya saling bertemu untuk menunjukkan kekuasaan.
"Apa-apaan! Kenapa kamu tiba-tiba bersikap kasar?" gertak Aldo dengan emosi.
"Aku peringatkan ketua OSIS, Clara milikku dan aku benci saat milikku disentuh sembarangan." Setelah mengatakan hal itu tatapannya beralih pada Clara yang tampak merasa bersalah.
"Ma ... maaf! Lain kali aku akan lebih berhati-hati__"
"Kalimat yang salah Clar, yang benar adalah lain kali kamu akan menjaga jarak dengannya, cemburuku sangat buruk jadi jangan mengulanginya," potong Steven. Menekankan kalimat terakhir sebelum menarik Clara dari sana tampa mengucapkan apapun lagi pada Aldo.
"Menyerah?"
Aldo melirik Sindy yang tersenyum padanya. Aldo membalasnya dengan mendengus dan meninggalkan Sindy. Tentu saja Sindy sakit hati, namun Sindy tersenyum tulus saat melihat punggung Clara yang baru saja menghilang.
"Jangan merusak hubungan orang Al, kamu akan menyesal jika berusaha mendekati Clara karena mereka sekarang memiliki hubungan," kata Rafael yang menghampiri Aldo di stan minuman. Rafael memang menyaksikan dari jauh perang dingin tadi.
"Kamu pikir aku peduli? Clara hanya akan rusak jika bersama orang rusak!" marahnya di depan wajah Rafael.
"Bagaimana kamu bisa menyimpulkan hal semudah itu? Masa depan orang siapa yang tahu, lagi pula menurutku Steven bukan anak yang bisa kamu remehkan. Kamu pasti tahu itu. Terlepas dari siapa orang tuanya, dia adalah pribadi yang berdiri di kakinya sendiri. Peran orang tua tidak ada sama sekali untuk membangun pengaruhnya. Itulah yang aku amati sejauh ini, berbeda denganmu yang mengandalkan kakekmu, dia bisa membungkam orang dengan kemampuannya sendiri karena dia sangat cerdas. Jadi, sebelum kamu menyesal, lebih baik hentikan rencanamu," nasehat Rafael panjang sebelum meninggalkannya disana.
Aldo tampak murka namun ia tahu Rafael benar. Sayangnya ego mengalahkan nalarnya, ia ingin mendapatkan Clara dengan jalan apapun. Ia tidak ingin menikah dengan wanita yang tidak dicintainya nanti. Dia juga berambisi besar ingin menunjukkan sosok asli Steven pada dunia, dimana dia sangat yakin Steven hanyalah seorang kriminal yang bersembunyi dibalik topengnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments