Tujuan Steven

Steven memiliki reflek tubuh yang baik. Hal itu tentu saja di ketahui Arnold. Sehingga ia tidak terkejut saat tembakannya berhasil di hindari. Namun karena suara yang cukup keras, memancing orang yang tinggal beberapa meter dari sana untuk mendatangi lokasi mereka. Terdengar beberapa suara keras bertanya dan juga langkah kaki yang berlari.

Arnold menatap Steven yang kini sudah kembali berdiri tegak dengan kilat berbahaya. Teddy dengan cepat bergeser dan berdiri di depan Arnold saat ia mengacungkan kembali senjatanya. Kemudian, Sam dan Bob juga berdiri berjejer. Membuat Arnold terkekeh sinis.

"Kita pasti akan bertemu lagi, aku tidak suka mengotori tanganku. Sangat beruntung dengan orang-orang tolol yang melindungimu." kata Arnold dingin.

Rombongan Arnold pergi dengan cepat sebelum warga datang. Meninggalkan kekacauan disana. Raga yang panik ikut berlari namun berbeda arah. Ia tampaknya takut untuk mengikuti Arnold kembali.

"Kita juga harus pergi," kata Teddy.

Mereka berempat naik ke mobil masing - masing saat orang-orang mulai berdatangan dengan wajah tegang dan bingung. Tidak membiarkan mereka di serang pertanyaan dan langsung pergi dari sana.

.

Sesampainya di apartemen yang mereka beli, Steven merebahkan diri di sofa diikuti oleh teman-temannya yang duduk memperhatikannya. Seakan menunggu penjelasan dari apa yang mereka dengar tadi.

"Steve ...."

Bobby menghentikan ucapannya karena Steven yang memberi isyarat tangan untuk diam. Tidak ingin diganggu. Ketiganya saling pandang dalam diam. Hanya bisa menunggu.

"Aku akan ambil minuman," kata Sam dan berlalu menuju kulkas di dapur, dia kembali dengan empat botol kaleng minuman ditangannya.

Steven segera duduk dan meraih sekaleng coca cola. Meneguknya sampai setengah dan meletakkan kembali kaleng itu di meja. Ia merogoh sakunya untuk mengambil ponsel dan menghubungi seseorang.

"Tim ... kirimkan aku seluruh rekaman CCTV markas saat itu dalam waktu seminggu. Apa kamu sudah menyelidikinya?"

Steven diam mendengarkan lawan bicaranya, mata tajamnya menatap lurus dinding di belakang Sam yang duduk di hadapannya.

"Begitu? aku akan periksa sendiri kalau begitu."

Steven mematikan sambungan telfon internasional itu dan menyeringai tipis.

"Tim berhianat padaku," gumamnya.

Mata tajamnya menatap temannya satu persatu sebelum bersandar dengan tangan di lipat dan kaki menyilang.

"Siapa Tim?" tanya Teddy.

"Seseorang yang biasa aku bayar untuk menerima beberapa file rekaman CCTV secara ilegal. Dia seorang hacker. Sejauh ini ia masih setia, tapi untuk satu ini ia menghianatiku."

"Dari mana kamu yakin dia berhianat?" tanya Bobby. Menghasilkan geplakan pelan di belakang kepalanya. Pelakunya adalah Teddy yang duduk di sampingnya.

"Steven bisa mengetahui kebohongan melebihi siapapun, bodoh!"

"Lalu ... kamu menyuruh Tim itu melakukan apa?" tanya Sam lagi.

"Memeriksa CCTV markas. Selama ini aku tidak berminat mengurusi kematian adik Arnold. Bukan siapa-siapa dan bukan hal yang penting. Tapi kesalah pahaman kakaknya menggangguku sekarang."

"Jadi... yang menyebabkan kamu pindah kesini bukan karena kematian adiknya yang tergila-gila padamu itu? Aku pikir karena dia, maksudku aku pikir kalian memang memiliki hubungan yang sedikit dekat...."

Sam menghentikan ucapannya saat menangkap mata Steven yang menyuruhnya berhenti.

"Kamu tahu tidak ada yang membuatku tertarik. Aku bahkan tidak bernafsu saat melihatnya telanjang dihadapanku. Keputusanku pergi karena aku muak dengan kehidupan disana. Kematian adik Arnold tentu saja tidak diinginkan. Meskipun aku tidak menyukainya, Arnold tetap temanku. Aku menghargainya karena pernah menolongku. Bagaimanapun ... dunia kelamku disana berkaitan dengan mereka."

"Itu artinya ada seseorang yang mencoba menghancurkan kalian? dengan cara membunuh adiknya dan membuatmu seolah jadi pelaku?" tanya Teddy.

"Wah ... sebenarnya apa pekerjaan sampinganmu itu? kamu bukan anggota mafia kan?" tuduh Sam dengan nada tidak sukanya.

Senakal-nakalnya teman-temannya, Steven tahu mereka hanyalah anak rumahan yang selalu mengikuti arahan dan perintahnya.

"Aku memiliki beberapa bisnis, terkadang ... itu melibatkan dunia gelap karena beberapa dari mereka mencoba mengganggu."

"Bis-Bisnis? Wah ... Steve! kita masih SMA dan apa kamu bilang tadi? Beberapa? Itu artinya bukan hanya satu?" heboh Sam yang sudah bangkit dari duduknya. Menatap Steven tidak percaya. Sementara dua lainnya hanya menatapnya melongo.

"Aku memiliki beberapa saham diberbagai perusahaan, sejauh ini hanya beberapa orang yang tahu. Aku selalu menggunakan orang lain. Seseorang bekerja untukku sampai aku selesai dengan pendidikan memuakkan ini. Saat ini ... aku sedang membangun kerajaanku sendiri di sini, aku akan menjadikan pusat kerajaan bisnisku disini karena negara ini lebih mudah dikendalikan."

Teman-temannya menatap Steven dengan wajah syok luar biasa. Mereka tahu Steven itu sangat jenius. Mereka bahkan tidak ragu seberapa jenius otak yang dimilikinya. Namun tidak menyangka bahwa teman mereka ini sudah membangun masa depannya dari dulu. Dimana mereka masih meminta kepada orang tua masing-masing seperti anak normal lainnya.

"Steve ... " gumam Teddy dengan suara tercekat.

"Karena itu ... bukan hal yang sulit melenyapkan Arnold, hanya saja ... dia sangat mengganggu karena aku ingin kehidupan sekolah yang normal." lanjut Steven lagi.

"Steve ...." itu adalah gumaman Bobby yang tidak sanggup berkata-kata lagi.

"Kalian! Jadilah anak baik dan berguna untukku. Kita bisa menjadi rekan bisnis nanti." lanjutnya tanpa memperdulikan teman-temannya yang masih syok.

"Re-Rekan apanya! Kami mungkin akan jadi babumu!" kata Sam dengan polosnya. Membuat Steven terkekeh pelan.

"Kalian teman-temanku, bukan babuku." tegas Steven sebelum meneguk colanya sampai habis.

"Jangan biarkan siapapun tahu identitasku. Ada hal-hal yang pasti membuat kalian bingung. Nanti kalian akan tahu sendiri. Tapi... Jika kalian menghianatiku, kalian akan bernasib sama dengan Tim."

"Apa yang kamu lakukan padanya?" tanya Teddy.

Seteven tidak menjawab, dia hanya menampilkan seringaian menakutkan. Membuat teman-temannya bergidik ngeri.

"Aku lapar, Sam! Kamu pintar masak jadi masaklah sesuatu. Aku mandi dulu," ucap Steven dan bangkit. Namun suara ponselnya menghentikan langkahnya. Ayahnya menelfon.

"Ya, ayah?"

"Berapa lama?"

Steven menarik nafasnya sesaat sebelum bergumam.

"Kalau begitu berhati-hatilah. Jangan terlalu memaksakan diri. Uangku masih cukup tidak perlu menambahkan lagi ke rekening. Hmm ... Sampai jumpa." Sambungan ditutup dan Steven meletakkan ponselnya di atas meja.

"Ayahmu ada pertandingan lagi?" tanya Teddy. Hanya Teddy yang ada disana karena Sam dan Bobby di dapur.

"Ya, ke Kuala lumpur. Pertandingan persahabatan katanya."

"Itu artinya rumahmu kosong? besok menginap ya?" heboh Teddy yang di balas decakan malas.

"Ayolah ... Rumahmu nyaman dan aku suka taman belakannya. Kita barbeque disana,"

"Terserah," ucapnya dan berlalu menuju kamar mandi.

Bel pintu apartemen berbunyi beberapa menit setelahnya, membuat Teddy heran siapa yang datang. Mereka tidak pernah memberi tahu siapapun tentang alamatnya. Saat pintu terbuka, Teddy di kejutkan dengan beberapa petugas toko yang membawa puluhan paper bag. Bahkan ada yang tampak kesulitan membawa beberapa sekaligus. Seseorang menyeruak diantara mereka dan membungkuk hormat.

"Kami datang membawa pesanan tuan Steven. Kata beliau semua barang ini harus ditata di dalam kamarnya."

Teddy jelas terkejut dan bingung. Namun ia mempersilahkan orang-orang itu masuk dan menunjukkan kamar pribadi steven di apartemen mereka ini.

"Kalian dari toko yang berbeda?" tanya Teddy lagi. Sam yang juga melihat mereka dari dapur ikut menghampiri. Meninggalkan Bobby yamg sedang sibuk menggoreng.

"Kami dari toko yang berbeda namun semuanya masih milik tuan Steven." jawab pria yang sepertinya sebagai atasan yang lain.

"Tuan Steven memiliki beberapa butik, juga perusahaan yang saat ini saya kelola. Meskipun beliau tidak pernah datang." jawab pria dewasa itu, ada sedikit nada protes dalam suaranya.

"Jika sudah selesai cepat kembali, jika tuan Steven melihat kalian, nanti bisa langsung di pecat! cepat-cepat!" kata pria itu lagi kepada seluruh pegawai.

Semuanya bergegas meninggalkan kamar dan keluar dari apartemen kecuali pria yang kini berdiri di depan pintu kamar mandi. Bersiap menyambut tuannya. Sementara Teddy dan Sam duduk di sisi kasur dengan bingung.

Saat Steven keluar dengan baju handuknya, pria tadi segera mengambil handuk kering di atas kasur dan memberikannya kepada Steven untuk mengeringkan rambutnya.

"Pakaian anda sudah kami rapikan Tuan, saya juga sudah menyiapkan pakaian yang akan anda pakai," kata pria itu.

Steven tidak menjawab, ia hanya melirik pakaian di atas kasur sebelum menatap jengah ketiga orang di sana.

"Terimakasih Yuno ... dan kalian bisa keluar," ucapnya datar.

"Baik. Maafkan saya Tuan!" ucap pria yang di panggil Yuno itu.

"Kenapa aku tidak pernah lihat dia jadi kaki tanganmu selama ini?" tanya Teddy.

"Dia yang menjalankan bisnisku di sini saat aku masih di Singapura."

"Wah ... ini gila. Aku berteman denganmu selama 3 tahun tapi tidak tahu apapun," sungut Ted dan berlalu keluar dengan wajah masam.

"Tahu kaya raya kenapa tidak sewa chef sekalian malah menyuruhku masak," sungut Sam yang juga kesal.

Steven tidak menghiraukan, ia mulai memakai pakaiannya dan merapikan penampilnnya. Ia Keluar kamar dan mendapati Yuno masih setia menunggunya di depan pintu.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Steven dingin. Namun tidak menyurutkan pandangan memuja yang Yuno berikan padanya.

"Selama ini saya hanya mendengar perintah anda lewat telepon, Saya hanya sekali melihat wajah anda saat vidio call sebelum anda pindah ke sini. Anda sungguh memiliki karisma yang luar biasa!"

Steven tidak berminat mendengar ocehan memuja Yuno. Sekali lihat Steven sudah tahu Yuno dari awal sangat mengidolakannya layaknya seorang idol. Apa lagi saat dia diberi jawabatan dan kekuasaan mengatur perusahaan dibawah kendalinya langsung. Membuat Yuno merasa terhormat sebagi tangan kanan. Yuno tahu identitas Steven dan sepak terjangnya di dunia bisnis.

Namanya sudah tidak asing dikalangan pemilik saham-saham terbesar. Hanya saja sosoknya tidak banyak yang tahu karena Steven belum membuka diri dan hanya Yuno atau tangan kanannya yang lain yang mewakilkannya.

"Kembalilah bekerja, jangan sampai lalai dan membuat perusahaan rugi, kirim laporan hari ini secepatnya ke emailku."

"Baik Tuan!" jawab Yuno.

Steven meninggalkannya menuju ruang makan. Perutnya meminta di isi sejak tadi. Yuno juga segera pergi dan kembali ke perusahaan yang kini ia pimpin untuk sementara.

Jadi jelas, kepindahan Steven memiliki tujuan tersendiri meskipun yang terlihat ia lari dari kasus yang membuatnya seolah menjadi tersangka dari pembunuhan adik Arnold. Salah satu temannya dari dunia gelap.

Terpopuler

Comments

Anita

Anita

Yuk mampir di karya aku yg terbaru, wife or nanny. Terima kasih dukunganmu. ❤

2022-03-26

0

Uchi Ariana

Uchi Ariana

i like it....like.like.like

2022-02-22

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!