Clara sedang berbincang dengan para anggota OSIS saat Sonya dan gengnya menghadangnya di tengah jalan. Ini masih sangat pagi dan ia baru saja keluar dari asrama.
Sonya tidak tinggal di asrama, dia tidak bisa bebas di asrama, selain itu dia adalah anak yang biasa dilayani oleh pelayan. Berbeda dengan para anggota OSIS, karena mereka harus selalu mendiskusikan kegiatan mereka dimalam hari di ruang pertemuan asrama. Mengharuskan mereka memilih tidur di Asrama.
Belum selesai dengan geng Sonya, Clara di hadapkan lagi dengan Lea dan dua teman setianya. Menatapnya nyalang dengan sorot penuh kemarahan.
Clara melirik teman-teman OSIS yang tampak tidak tertarik dengan kedua geng itu, namun mereka bisa menduga penyebab kedua geng populer sekolah menghadang Clara. Karena foto yang di pasang pada buletin sekolah.
"Ada rakyat jelata yang sedang bermimpi ingin jadi sinderela disini," sinis Sonya.
"Jauhi Steven! dia tidak pantas untuk rakyat jelata!" lanjut Lea dari sisi lain.
"Dan kamu juga jangan berani mendekati Steven!" ancam Lea pada Sonya dengan wajah angkuhnya.
Kedua gadis populer itu saling lempar tatapan sinis sebelum Sonya menghentikannya. "Urusan kita nanti setelah si benalu dari Aldo ini disingkirkan!"
Clara bisa melihat, dia tidak akan bisa menang jika melawan dua geng sekaligus, terutama Lea yang merupakan seniornya. Maka dengan keberania yang tersisa, ia memilih pergi dari sana. Namun baru saja melangkah rambutnya sudah dijambak oleh Sonya, lalu Lea mendorongnya sampai tersungkur ke tanah.
Seluruh anak-anak yang baru saja keluar asrama segera berkerumun untuk melihat mereka. Tidak ada yang berani melerai apalagi melawan, Lea dan Sonya memiliki orang tua yang berpengaruh. Mereka tentu saja takut jika terlibat. Hanya Sinta, anak OSIS yang memang sedikit dekat dengan Clara yang berani menolongnya. Selebihnya hanya berdiri mematung dengan wajah syok. Mereka hanya membantu memungut buku dan tas Clara yang terlempar.
Clara menatap keduanya dengan kesal. Ia bangkit dan merapikan seragamnya yang sedikit kotor. Menghembuskan napas, mencoba menahan rasa perih ditangan dan lututnya.
"Apa yang kalian inginkan?" tanya Clara dengan berani.
"Kamu tahu apa yang kami mau, jelata!" sahut Lea dengan nada merendahkan.
"Steven untukku, jauhi dia atau kamu akan menderita disini!" itu adalah ancaman penuh intimidasi dari Sonya.
"Aku tidak mendekatinya!" Bentak Clara tidak terima.
Lea dan Sonya sama-sama menatapnya remeh. "Jadi kamu mau bilang Steven yang mendekatimu? Halooo...! Sadarlah kamu siapa! Steven adalah pangeran sempurna dan dia tidak akan mau dengan anak bodoh sepertimu!"
Itu adalah Lea, yang menghinanya karena ia berada di kelas dengan kapasitas kecerdasan biasa saja. Membuat Clara mendengus. Dia tidak peduli dengan hinaan pada kemampun akademiknya, toh banyak anak yang memiliki kemampuan yang sama.
Sonya maju dan mencengkram kerah seragamnya, menatapnya nyalang sebelum menghempaskannya kembali ke tanah dengan keras. Sonya memandang berkeliling dan mengancam jika ada yang berani merekam atau melaporkan mereka. Sonya pergi begitu saja setelah melayangkan tendangan ke kaki Clara.
Lea bahkan tampak terkejut karena kelakuan Sonya yang diluar dugaannya. Dia bisa melihat siku dan telapak tangan Clara yang lecet dan mulai mengeluarkan darah.
"Hanya ingat dan jaga kelakuanmu!" kata Lea sebelum pergi.
Clara terdiam diposisinya, dia masih terjerembab di tanah. Tulang ekornya terasa sangat sakit dan sikunya nyeri. Kakinya yang di tendang juga jadi sedikit lebam. Clara yakin besok akan membiru.
Sinta menatapnya dengan kasihan ketika membantu Clara bangun. Anak-anak sudah pada bubar dan meninggalkan mereka. Sebagian merasa kasihan dan sebagian lagi tertawa mengejek.
"Kita ke UKS," ajak Sinta.
"Jangan, kalau guru tahu mereka bisa semakin parah. Aku tahu Sonya seperti apa."
"Kalau begitu kita ke ruang OSIS saja, disana ada P3K," usul Sumi yang memegang tas Clar, dia anggita OSIS lain.
Sesampainya di ruang OSIS, mereka di kejutkan oleh kehadiran Aldo dan Steven. Mereka sepertinya sedang berbicara serius. Keduanya menoleh saat mereka masuk.
"Kenapa dengan Clara?"
Aldo segera bangkit dan mengambil alih Clara. Mendudukannya di sofa dengan hati-hati. Menatap dari kaki sampai kepala sebelum menatap mata Clara meminta penjelasan.
Sinta segera mengambil P3K dan membawanya ke dekat temannya itu. Tidak begitu peduli jika ketua dan wakil OSIS mereka sedang mode serius. Anggota lain segera mencari posisi masing-masing, sesekali memandang Steven takut-takut saat melihat mata tajam itu tidak bergerak sama sekali dari Clara.
"Siapa yang berani melakukan ini padamu?" tanya Aldo, siapapun tahu jika ada kemarahan dalam suaranya. Sudah jadi rahasia umum bahwa Aldo selalu melindungi Clara.
"Aku hanya terpeleset saat turun tangga asrama," bohong Clara.
"Clar!"
"Ini bukan masalah besar, tolong jangan berlebihan!" potong Clara tegas. Ia menyadari tatapan Steven sedari tadi mengarah padanya. Entah mengapa hal itu membuatnya gelisah.
Tidak mendapatkan jawaban dari Clara, Aldo memutar tubuhnya menghadap Sinta yang baru saja kembali dari kamar mandi, dia membawa lap basah untuk mengelap kaki Clara yang kotor.
"Sinta?"
Sinta yang ditatap begitu, segera melirik Clara yang menggeleng. Dia berdehem dan meletakkan gayung diatas meja.
"Itu... Clara tadi..." Sinta tampak ragu.
"Klise sekali, bukan?"
Semua mata kecuali Clara menatap Steven yang akhirnya bersuara. Wajahnya datar, dia masih menatap Clara dengan tatapan yang menyimpan begitu banyak makna.
"Aku sering melihat kejadian seperti ini sejak dulu," lanjutnya.
"Apa maksudmu?" tanya Aldo.
"Sudah jelas dia di bulli karena kemarin bersamaku. Buletin sekolah pasti sudah mencetak banyak foto kami dan kamu juga pasti melihatnya, kan?" Steven menyeringai sebelum melanjutkan. "Dia tidak akan mengatakannya karena para ****** itu akan semakin membullinya," lanjutnya. Matanya beralih pada Aldo yang tampak semakin marah.
"Kenapa kamu melibatkannya?" geram Aldo.
"Aku?" Steven menjeda sesaat, "Karena ingin tentu saja!" lanjutnya enteng, lalu bangkit untuk pergi dari sana.
Aldo mengepalkan tangannya, wajahnya memerah menahan amarah. Dia menarik nafas beberapa kali untuk mengatur emosinya. Berjongkok dan mengambil alih pekerjaan Sinta untuk mengobati Clara yang kini diam seribu bahasa. Bahkan matanya sudah berkaca-kaca.
Clara terus saja menunduk. Suasana hening masih tercipta. Aldo masih menunjukkan wajahnya marahnya. Clara juga diam saja karena sibuk dengan pikirannya sendiri.
Entah mengapa Clara merasa sakit hati mendengar jawaban Steven. Steven seolah tidak perduli tentang akibat dari sikapnya. Padahal ini semua karena ulahnya, menyeret Clara dengan alasan ingin mengajarinya.
Steven mengajaknya ke area belakang sekolah. Dimana seluruh anak bisa menyaksikan mereka dari ruang kelas masing-masing.
.
Usai suasana canggung di ruang OSIS tadi pagi, Aldo bersikeras menemani Clara saat keluar dari kelasnya. Takut-takut jika ada yang menyerangnya lagi. Dia bahkan memisahkan diri dari rombongan Fajar, Robi dan Rafael. Mereka saat ini sedang menunggu mereka di meja kantin. Ketiganya sudah mendengar kabar Clara dari Aldo melalui pesan. Tentu saja mereka mengerti. Aldo memang selalu berlebihan kalau sudah menyangkut Clara.
Steven baru saja datang, dia tadi harus ke ruang guru untuk keperluan olimpiade, langsung duduk bergabung dengan Fajar dan yang lain di kantin.
Sonya yang melihatnya, segera mengambil tempat duduk tidak jauh dari mereka. Dia segera bagkit dan melakukan jurus pendekatan. Ia sudah menyiapkan jus jeruk untuk Steven.
"Pasti lelah ya, kak Steven! Nih aku bawain jus untuk kakak!" ujarnya dengan manis.
Steven bersandar di kursinya. Menatap Sonya datar sebelum mengambil jus itu. Tentu saja Sonya kegirangan dan tampak sangat senang. Namun alih-alih meminumnya, Steven mencabut pipetnya dan membuka tutupnya. Berdiri dengan dan menyeringai. Tangannya terangkat tinggi, lalu menuangkan jus itu pada kepala Sonya. Sontak saja Sonya menjerit, ia menatap Steven dengan mata berkaca-kaca.
Steven membuang asal gelas plastik itu dan menarik senyum tipis disudut bibirnya. Sama sekali tidak merasa bersalah.
Seluruh penghuni kantin ramai-ramai mengabadikan kejadian itu. Bahkan ada yang tertawa dan tampaknya sebagian besar menikmati pertunjukan.
Selama ini Sonya selalu melakukan apapun yang ia inginkan tampa takut hukuman. Bahkan Aldo hanya memperingatinya melalui kata-kata karena hubungan baik keluarga mereka.
Dengan menahan malu, Sonya berlari dari sana. Anggota gengnya segera mengejarnya. Steven mengmbil tisu dan mengelap tangannya. Acuh dengan tatapan teman-temannya yang memandangnya takjub.
"Always and forever. Like a devil! Steven Kim!"
Steven mengenal suara ini, orang yang sedang ia hindari. Seringai muncul di wajahnya saat ia bangkit dan memutar tubuhnya ke belakang. Menatap seorang anak laki-laki berpakaian bebas berdiri menatapnya dengan wajah dingin.
Steven mengangkat satu alisnya sebelum berlalu dari sana. Anak itu mengikutinya. Anak-anak disana menduga dia bukan orang Indonesia, hal itu karena warna mata dan rambutnya. Meski masih memiliki wajah Asia yang kontras.
Semua mata mengikuti mereka keluar dari sana, tak terkecuali Clara dan Aldo. Clara dapat melihat sorot lain di mata Steven saat ia menatap anak tak dikenal itu.
"Apa ada anak baru lagi?"
Itu adalah pertanyaan dari Fajar yang saat ini sudah bergabung dengan Aldo dan Clara. Rafael dan Robi juga mengikutinya.
"Setahuku tidak ada anak baru lain selain Steven," sahut Rafael.
"Dia anak luar tapi kenapa bisa dengan mudah masuk ke sekolah kita?" tanya Robi.
Aldo diam saja, di kepalanya muncul pertanyaan yang sama dengan teman-temannya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 81 Episodes
Comments