Hari pertama, pertemuan pertama

Steven berdiri di depan kelas barunya, kelas yang hanya berisi sekitar 20 anak saja. Kelas yang ia masuki adalah kelas unggulan dimana hanya berisi siswa berprestasi. Karena itu jumlahnya juga sedikit dari kelas lain.

"Silahkan perkenalkan dirimu," ujar gurunya

Steven menghela napas, ada banyak pasang mata yang mentapnya dengan pandangan angkuh. Kelas unggulan tentu saja berbeda, dia tahu tidak akan ada pertemanan di sini kecuali jika mendapatkan keuntungan.

"Steven Kim, you can call me steven. from Singapura international high school,"

Steven menyudahi perkenalan singkatnya lalu menoleh kepada gurunya.

"Kamu bisa duduk di belakang Irfan,"

Steven menoleh pada anak yang mengangkat tangannya singkat sebelum kembali fokus pada bukunya. Steven tidak ambil pusing, ia segera duduk dan mengabaikan pandangan ingin tahu anak lain. Baginya, memikirkan pandangan orang lain terhadapnya tidak berguna sama sekali. Dia hanya melakukan apa yang menurut pandangannya benar.

Setelah bel istirahat pertama berbunyi, semua anak tampak merenggangkan otot-otot yang tegang. Kemudian, beberapa anak perempuan menghampiri Steven.

"Hai, Aku Lea lalu ini temanku Fina dan Anggun. Kamu tidak masalah dengan bahasa Indonesia kan? Aku dengar ibumu orang Indonesia."

Steven tidak tahu dari mana anak bernama Lea ini tahu mengenai dirinya, namun ia tidak peduli. Wajah datarnya tentu sudah menjawab hal itu.

"Mau ke kantin bersama kami?" tawar Lea lagi, dia menampilkan senyum manisnya.

"Cih ... dasar genit, mentang-mentang ganteng," ujar anak yang tidak Steven ketahui namanya, berdiri angkuh dan memandang benci ke arahnya.

"Tidak ada urusannya denganmu ya ... Alfa!" bentak Lea dengan wajah tidak kalah angkuh. Mereka saling berhadapan dengan saling lempar tatapan sengit.

"Oh ... Steven sekolah di sini juga?"

Pengalih perhatian datang dari ujung kelas dekat pintu, semua mata menatap mereka tidak percaya. Bagaimana Steven sudah mengenal geng populer sekolah yang dipimpin oleh kapten tim sepak bola sekolah, sekaligus kapten timnas remaja. Ya, dia adalah Aldo, anak yang kemarin memperkenalkan diri padanya, tampaknya ia masuk ke kelas ini untuk menemui sahabatnya yang duduk di bangku paling depan.

"Ikut dengan kami?" ujar Aldo ramah.

Tampa pikir panjang Steven bangkit dan mengikuti Aldo yang langsung merangkulnya dengan bersemangat.

"Apa ayahku yang menyuruhmu untuk berteman denganku di sekolah?" tanya Steven dengan wajah datarnya saat mereka memasuki kantin.

"Oh ... kamu memang berbeda ya, pintar sekali. Tapi tidak di suruhpun aku akan tetap berteman denganmu." jawab Aldo santai. Dua temannya menyambut mereka bertiga di kantin.

Terdengar bisik-bisik dan juga banyak pasang mata melihat Aldo dan gengnya. Steven bisa melihat bahwa tidak buruk juga berteman dengan anak-anak ini, toh dia sudah terbiasa dengan situasi seperti ini di sekolah lamanya.

"Ini Fajar, yang sekelas denganmu. Dia kapten tim basket. Ini Bobi dan dia Rafael. Mereka semua anak basket kecuali aku." kata Aldo memperkenalkan teman-temannya.

Steven ikut memperkenlkan diri. Bobi sangat tinggi dan tubuhnya juga tampak bagus, tidak heran ia menjadi pemain basket. Fajar sang kapten tidak setinggi Bobi, bahkan Steven lebih tinggi darinya. Sedangkan Rafael terlihat seperti wanita dengan rambut panjang sebahunya. Steven bahkan heran bagaimana rambut itu bukan suatu pelanggaran di sini.

"Apa sekolah tidak melarangmu dengan rambut begitu?" tanya Steven ingin tahu.

"Dia anak kepala sekolah, mana mempan peraturan baginya," ujar Fajar dengan nada sindirannya.

"Hei! Kalau jalan pakai mata! Kamu mengotori sepatuku! Dasar kampungan!"

Fokus mereka teralihkan pada teriakan anak perempuan di dekat meja kasir. Steven bisa melihat bahwa wanita yang sekelas dengannya tadi sedang membentak anak perempuan lain.Seorang anak yang sepertinya tidak takut sama sekali padanya. Steven bisa melihat sorot mata penuh keberanian itu.

"Siapa yang kamu bilang tidak punya mata! Mata kecilmu itu yang tidak bisa lihat! Kamu yang salah kenapa malah marah, dasar sinting!" ujarnya dengan kalem, dia berbicara tampa eksperesi kemarahan, namun kata-katanya sangat tajam.

"Lihat anak kampung ini! dia mengataiku sinting?" Lea dengan wajah marahnya bertukar pandang dengan dua temannya sebelum melayangkan tamparan pada anak perempuan di depannya. Sayangnya tangannya di tangkap dengan mudah oleh anak itu. Steven menatap anak perempuan itu dengan tertarik. Aldo bangkit dan berjalan ke arah pertengkaran itu.

"Berhenti berbuat onar dan kembali ke tempat kalian masing-masing!" kata Aldo dengan wibawanya.

"Perhatikan perkataan anda kakak ketua osis yang terhormat. Yang buat onar hanya si cabe ini!" ujar anak perempuan yang menjadi lawan Lea tadi, lalu dia melengos menuju bangku temannya. Ia terlihat sangat kesal.

"Aku kan hanya membela diri Al_" lirih Lea dengan wajah yang dibuat sedih. Tentu saja Aldo tahu itu hanya akting belaka. Karena setelah itu Lea dan dua temannya dengan riang meninggalkannya mencari bangku mereka.

"Jadi dia juga ketua osis?" tanya Steven.

"Ya begitulah. Dia paket komplit di sini. Memang buat iri ... Tapi kamu jangan ikut iri! Aku yakin kamu akan sama terkenalnya, aku yakin akan bobrok juga seperti kami."

Oke, Steven termasuk baru lagi di Indonesia, Sedikit banyak ia tidak mengerti kosa kata baru yang tidak pernah ia dengar dari ibunya. Namun ia tidak akan dengan idiotnya bertanya apa arti kata 'bobrok' yang di sebutkan Bobi barusan.

"Anak itu sangat menyusahkan," keluh Aldo saat sudah duduk kembali di kursinya.

"Suruh siapa jadi ketua," sahut Fajar acuh.

"Tapi Lea memang seperti itu kan, jelas itu cuma untuk memancing perhatian kenapa kamu ladeni?" ujar Bobi.

"Itu karena dia sudah main tangan pada Clara" sahut Rafael.

"Aldo kan tidak mau Clara kenapa-kenapa,"

Sontak semua tertawa kecuali Steven, dia tidak menangkap dimana lucunya percakapan itu.

"Clara pacarmu?" tanya Steven tampa peduli Aldo yang langsung tersedak minumannya.

"Pacar apanya! Aku sudah bertunangan" jawab Aldo setelah menguasai diri.

"Sudah tunangan ... tapi tetap aja suka sama Clara," tuduh Bobi.

"Clara adalah wakil ketua osis omong-omong," lanjut Rafael.

"Cinta terpendam ketua osis," lanjut Bobi dengan seringai jahilnya.

"Jangan dengarkan!" pinta Aldo dengan datar.

Steve menatap anak perempuan yang bernama Clara tadi dengan intens. Ada sesutu yang membuatnya penasaran. Clara terlihat tangguh dan itu membuatnya tertarik. Selama ini ia di kelilingi wanita yang jenisnya sama. Membuatnya muak apalagi ketika mereka mendekatinya tampa malu-malu, lalu dengan santai mengajaknya berpacaran.

"Kenapa? tertarik dengannya juga?" Pertanyaan Fajar membuat Steven mengalihkan pandangnnya. Menatap Fajar meminta penjelasan.

"Kamu menatapnya terus, suka?" tanya Fajar lagi.

"No, just ..." perkatannya terhenti saat tatapannya beradu dengan Clara secara tidak sengaja. Clara mengernyit sebelum bangkit berdiri dan pergi dari sana dengan ekspresi galak.

"Just funny ..." lanjut Steve dengan pandangan yang sulit di artikan. Membuat Aldo yang duduk di sampingnya menatapnya dalam diam.

"Yah... ini tidak bagus," kata Rafael.

Mendengar itu Steven menyeringai sebelum menoleh pada Aldo yang masih menatapnya.

"Why?"

Keduanya saling tatap sebelum Aldo yang memutus pandangan dan terkekeh pelan.

"Bukan apa-apa ... Ayo kembali ke kelas, sebentar lagi bel masuk berbunyi." ucap Aldo. Ia mendahului yang lain pergi dari sana.

Ketiga temannya saling bertukar pandang sebelum ikut bangkit. Fajar mengajak Steven kembali ke kelas saat dua temannya sudah jalan duluan.

Sesampainya di kelas, meja Steven sudah penuh dengan minuman dan jajanan yang membuatnya mengernyit. Menatap teman sekelasnya sebelum akhirnya menyadari ada gerombolan anak perempuan yang sedang mengintip dari jendela dan beberapa di pintu untuk melihatnya.

Steven kesal tentu saja, bahkan saat ia duduk laci mejanya penuh dengan kartu ucapan. Ia mengambil beberapa dan membacanya. Rata-rata ucapan selamat datang dan pujian-pujian untuknya. Begitu bel berbunyi, gerombolan anak perempuan itu akhirnya meninggalkan kelas mereka. Fajar tertawa terbahak-bhak melihat ekspresi Steven yang tampak kesal.

"Ini hari pertamu tapi kamu sudah terkenal, tidak heran sih ... Dengan wajah itu," ujarnya sambil duduk di samping Steven, guru mereka belum datang.

"Sudah terbiasa kelihatannya, apa disana kamu punya banyak penggemar juga?"

Steven hanya berdecak malas sebelum akhirnya menyingkirkan makanan dan minuman di mejanya dan meletakkannya di meja sebelahnya yang kosong.

Ya, Steven memang sudah terbiasa dengan banyaknya penggemar meski ia hanya acuh dan terkesan dingin. Hal itu sebenarnya membuatnya muak karena ia tidak suka banyak perhatian tertuju padanya. Namun di singapura ia jauh lebih di gilai karena satu sekolah sudah tahu bahwa ia anak dari publik figur. Tentu saja anak dari artis bukan menjadi alasan satu-satunya. Itu hanya alasan pendukung dari segudang alasan lain. Dimana Steven dikenal dengan segala kekaguman tertuju padanya.

Terpopuler

Comments

JA Chrysant

JA Chrysant

uwwh kpn nih pertemuan dgn heroine nya?

2022-03-01

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!