Cemburu

Kepala sekolah memberikan libur belajar hari ini karena keberhasilan Steven mendapatkan medali emas dan menjadi juara umum olimpiade matematika. Rencananya ia akan mewakili Indonesia di kancah internasional. Sayangnya, Steven masih menyandang status WNA. Karena ia berkewarganegaraan Singapura dimana ibunya tinggal. Karena itu sekolah sedang berupaya mengurus hal itu tampa sepengetahuan Steven. Pihak sekolah hanya melibatkan ayahnya. Sesungguhnya ada kesalahan komunikasi. Karena ayah Steven mengira anaknya sudah tahu, sehingga dia tidak bertanya lagi.

Steven sedang berkumpul dengan teman-temannya di taman sekolah, dia duduk dengan sebuah buku di tangannya. Ia sebenarnya sangat bosan karena tidak bisa mengganggu Clara. Gadis itu sibuk dengan anggota OSIS yang sedang mengurus kegiatan organisasi.

Dari kejauhan, ia melihat Clara sedang berjalan bersama seorang anak perempuan, sepertinya mereka akan menuju gerbang sekolah. Karena penasaran Steven mengikutinya. Teman-temannya yang melihat apa yang dia lakukannya juga melakukan hal yang sama.

Clara terus keluar gerbang menuju supermarket, sesekali ia terlihat berbicara serius dengan temannya itu. Hingga seseorang menghampirinya dan membuat Steven terpaku pada kakinya. Ia bahkan menjaga jarak pandang dan sedikit menyembunyikan diri. Ingin melihat apa yang terjadi.

"Bertemu lagi, Clara."

"Ung! Ya, apa Kakak tinggal dekat sini?"

Arnold mengangguk, jelas sedang berbohong. Beberapa hari ini ia memang sedang menunggu moment dan sengaja datang setiap hari ke sana. Ia menatap Clara dengan sangat intens. Membuat Clara lagi-lagi merasa risih.

"Ingin mencari sesuatu?" tanya Arnold.

"Ya, kami sedang membutuhkan perlengkapan untuk mading. Hmm kalau begitu saya permisi." jawab Clara dan menarik temannya hendak pergi.

Namun temannya hanya diam di tempat, menatap Arnold dengan pancaran kekaguman. Membuat Clara harus menyeretnya.

Arnold sendiri sebenarnya tidak begitu memahami kalimat Sakura karena bahasa Indonesianya yang buruk. Jadi dia angsung mengambil langkah saja, "Boleh minta nomor ponselmu?" pinta Arnold, menahan lengan Clara untuk mencegahnya pergi.

"Hmm, Itu_ "

"Jangan salah paham, aku hanya ingin menambah teman karena disini aku orang baru." kata Arnold.

Clara jelas bisa langsung tahu karena Arnold berbicara dengan logat asing dan masih bercampur antara bahasa Inggris dan bahasa Indonesia.

"Sayangnya aku tidak mengizinkannya."

Steven sudah berdiri beberapa langkah dari mereka. Berjalan dengan sorot mata tajamnya. Menatap Arnold dengan dingin dan pandangan yang menakutkan. Arnold yang sesaat terkejut kembali menguasai diri. Menatap Steven dengan sorot tak kalah menakutkan. Teman-teman Arnold yang sedari tadi menunggunya di depan supermarket segera bergerak, berdiri di belakangnya. Sontak saja suasana menjadi sangat menegangkan.

"Kamu mengenal pembunuh ini?" tanya Arnold pada Clara.

"Pem-Pembunuh?" ulang Clara dengan wajah syok.

"Kamu tidak tahu? dia memang begitu ... selalu bersembunyi dibalik topengnya yang cantik." Dingin dan tajam. Meskipun ia berbicara dengan Clara namun matanya tetap menatap Steven.

"Kamu pasti salah, Steven tidak seperti itu." kata Clara dengan suara gugup. Sedikit banyak ia mulai ketakutan berada disituasi yang siapapun bisa menduga bahwa kedua orang ini saling bermusuhan.

"Kemari Clara," perintah Steven dingin.

"Kenapa dia harus menuruti pembunuh sepertimu?" sergah Arnold. Namun Steven diam saja, matanya fokus pada Clara.

"Clara, bukankah aku tadi meminta nomor ponselmu?" lanjut Arnold lagi, kini ia mengulurkan ponselnya agar Clara mengetikkan nomornya di sana.

Sementara itu, kata pembunuh berputar di kepalanya. Membuat kakinya terasa goyah dan ia merasa takut.

Clara menatap Steven yang tidak bergeming. Clara ingin meminta pengakuan dari sorot matanya namun Steven diam saja. Sehingga dengan enggan ia meraih ponsel Arnold dan mengetikkan nomornya dengan cepat. Setelahnya, ia mengembalikan ponsel itu dan berlalu dari sana dengan perasaan campur aduk. Ia tidak tahu apa yang benar saat Steven hanya diam saja.

"Ayo pergi, tidak baik membuat onar di dekat sekolah elit ini. Apa lagi dengan anak-anak berseragam," sindir Arnold sebelum meninggalkan tempat itu ketika teman-temannya juga mulai berkumpul.

"Bagaimana mereka bisa saling kenal?" tanya Sam yang sedari tadi berdiri beberapa langkah dari Steven.

"Menurutmu Arnold tahu hubungan mereka?" tanya Bob dengan nada kawatir. Keduanya hanya mengangkat bahu.

Mereka bertiga tidak berani mengganggu Steven yang tidak bergeming dari tempatnya. Matanya terus tertuju ke arah Clara pergi. Bahkan saat kaki mereka cukup pegal menunggu, Steven tetap di tempatnya.

Hingga Clara dan temannya keluar dari supermarket dengan tentengan belanjaan. Steven dengan wajah datarnya menatap Clara yang tampak terkejut saat melihatnya masih disana. Tidak menyangka bahwa Steven menunggunya.

"Sin, kamu duluan saja," pinta Clara pelan. Temannya yang mengerti hanya mengangguk dan berlalu dari sana.

"Kenapa masih disini?"

"Menunggumu."

"Untuk apa? Ayo kembali ke sekolah," kata Clara dan mulai berjalan. Namun Steven meraih pergelangan tangannya. Mengambil belanjaannya dan menyerahkannya pada Sam. Kemudian menyeret Clara dari sana menaiki taksi.

"Kamu apa-apaan Steve! Ini masih jam sekolah dan aku sedang ditunggu!" sewot Clara.

"Berikan ponselmu," kata Steven dingin tampa memperdulikan omelannya.

"Tidak!" tolak Clara keras.

Steven menoleh dan menatapnya dengan tajam. Mengulurkan tangannya di depan wajah Clara.

"Berikan atau aku ambil paksa," pelan dan dingin, Steven sepertinya berada di ambang batas kesabarannya. Clara yang mulai takut akhirnya merogoh sakunya dan memberikan ponselnya.

"Apa yang ingin kamu lakukan dengan ... STEVEN!" teriak Clara di akhir saat melihat ponselnya di buang begitu saja sehingga menimbulkan bunyi pecah diatas aspal.

Tampa berkata apapun, Clara menunduk dan mulai menagis. Ia kesal namun Steven tidak mengatakan apapun lagi setelah membuang ponselnya. Bahkan wajahnya tetap datar dan dingin, tidak ada rasa bersalah sedikitpun.

Mereka sampai di sebuah taman kota. Steven keluar setelah membayar taksi. Clara masih sesegukan namun tetap mengikuti langkahnya.

Steven meraih ponselnya dan mengirim pesan kepada seseorang. Setelah itu ia baru mengalihkan atensinya pada Clara yang masih menangis di belakangnya.

Tampa berkata apapun, ia mengusap air mata Clara dan membawanya ke dalam pelukannya. Mengelus rambutnya dan mendekapnya erat meskipun Clara mulai memberontak dan memukul-mukul punggungnya. Mengeluarkan semua kekesalannya.

"Hikhik! Aku sangat lama menabung untuk ponsel itu. Hik hik hik!" kata Clara di akhir sesegukannya. Kepalanya masih tenggelam di dada Steven.

"Kenapa hanya diam! Kenapa kamu melakukan hal itu! Apa salahku!" kesal Clara dengan suara seraknya.

"Cemburu."

Akhirnya Steven berbicara meskipun hanya satu kata. Membuat Clara terdiam. Keduanya diam cukup lama sampai Steven kembali berbicara dengan nada lembut dan rendah.

"Karena aku tidak tahu cara cemburu yang benar," katanya.

"Kamu jenius yang bodoh!" umpat Clara penuh kekesalan. Steven terkekeh pelan. Ia akhirnya melepaskan pelukannya saat sebuah mobil berhenti di dekat mereka.

Seseorang keluar dari sana dan menghampiri Steven. Pria dewasa dengan setelan jas kantor. Ia menyerahkan sebuah paper bag kepada Steven dan membukakan pintu mobil untuk mereka. Clara yang bingung hanya mengikuti Steven yang lagi-lagi menyeretnya pergi.

"Kemana anda ingin pergi Tuan?" tanya pria itu.

"Kenapa kamu yang datang, mana Jun?" tanya Steven. Yang ia inginkan adalah Jun. Salah satu tangan kanannya yang lain. Namun yang datang malah temannya yang biasa menjadi asisten Jun dalam menjalankan perintahnya.

"Dia sakit Tuan, sedang dirawat di rumah sakit," jawabnya.

"Antarkan kami ke restoran korea, aku ingin makan kimci."

"Baik Tuan," jawab pria itu penuh hormat dan semangat.

Steven memberikan paper bag itu pada Clara dan menyuruhnya membukanya. Clara yang bingung sedari tadi hanya menurut. Saat mengambil isi tas itu, ia melotot dan menatap Steven dengan wajah syoknya.

"Itu ganti ponselmu yang aku rusakkan. Jangan berikan nomormu pada siapapun tampa izinku. Kecuali keluarga, atau aku akan lebih gila dari tadi."

"Ta-Tapi ini terlalu mahal! Bagaimana jika orang tuamu tahu kamu menghabiskan banyak uang untuk ini?"

"Tenang saja, mereka tidak akan tahu."

"Tapi ... Tapi itu namanya berbohong Steve! Itu tidak baik tahu! Aku tidak bisa menerima ini!" Steven meliriknya, tidak menyangka Clara akan menolak barang mahal darinya.

Steven sedikit bingung memberi penjelasan menyangkut hal ini. Fakta bahwa ia membeli dengan uang sendiri adalah rahasia. Clara dengan sifat baik hati sekaligus keras kepalanya jadi membuatnya pusing.

"Aku tidak membuang uang, orang tuaku tidak mempermasalahkan hal seperti ini. Jadi tenang saja. Cukup pakai dan ikuti perkataanku," kata Steven penuh kesabaran.

Clara menatapnya sangsi, namun Steven dengn sorot mata khas miliknya membuat Clara terpaksa menerimanya.

"Ingat jangan memberikan nomormu__"

"Aku mengerti, ish!" potong Clara. Ia mulai mengeluarkan ponsel itu dan menyalakannya. Mengotak atiknya sebentar sebelum menyimpannya lagi.

Clara meliriknya dengan wajah ragu, ada banyak hal di dalam kepalanya yang ingin ia tanyakan. Namun melihat reaksi Steven saat bertemu Arnold tadi membuatnya ragu.

"Aku tahu otak kecilmu penuh pertanyaan. Tapi bukan saatnya itu dibicarakan. Aku lapar dan ingin makan."

Lihat, Steven itu selalu menebak degan benar apa yang ingin ia lakukan dan pikirkan. Clara mengumpat dalam hati betapa ia sangat mudah di baca. Steven yang melihat wajah kesalnya hanya tersenyum sesaat sebelum mengalihkan pandangannya keluar jendela. Ada banyak hal juga di dalam kepalanya. Terutama Arnold yang sepertinya menaruh ketertarikan kepada kekasihnya. Arnold bukan masalah yang sulit, masalahnya hanyalah rumit. Karena Steven bukan orang yang asal tebang tampa lihat situasi.

Dia dan Arnold dulunya adalah rekan dan mereka cukup dekat satu sama lain. Bahkan Arnold pernah menyelamatkannya dari jebakan musuh. Arnold hanya salah paham, namun kesalah pahamannya membuat ia melakukan hal jahat. Steven tidak suka kotor-kotor. Itu prinsipnya sejak dulu. Dia suka main bersih dan hati-hati. Dia bukan tipe yang menghalalkan segala cara. Namun terkadang ia cukup gila dalam mengambil keputusan.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!